Kepuasan : Antara Logika, Rasa dan Keyakinan

oleh

Oleh : Drs. Jamhuri Ungel, MA*

Logika dan Rasa
Banyak ungkapan sederhana terucap dari kawan-kawan “ini kesenangan kita”, artinya apa yang dilakukan tidak bisa dinilai dengan materi dan pada saat itu apa yang kita anggap selama ini mempunyai nilai tinggi tetapi pada saat ia mengucapkan kata itu tidak ada nilainya. Sebagai contoh mereka yang mengisi hari liburnya dengan mencari ikan yang jauh dari keramaian kota dan terhindar dari aktivitas keseharian yang menjenuhkan.

Pada saat itu uang yang banyak tidak ada nilainya, karena memang tidak ada sarana untuk melakukan transaksi, juga pada saat itu tidak berfungsi alat komunikasi modern karena jangkauan modernisasi alat komunikasi tidak sampai.

Mereka merasa puas dan senang dengan apa yang mereka lakukan, pada saat menghadapi rutinitas mereka lakukan dengan sepenuh hati, demikian juga ketika melakukan pekerjaan yang bukan menjadi rutinitas, mereka juga melakukan dengan benar sesuai dengan aturan.

Sebagian orang menganggap melakukan kegiatan yang bukan rutinitas itu rugi karena tidak menguntungkan secara materil dan juga tidak memiliki korelasi dan tidak menunjang aktivitas keseharian mereka, terlebih lagi bila menggunakan pola berpikir semata dengan akal. Dengan dasar pertimbangan bahwa aktivitas seperti itu sama dengan membawa diri dan pemikiran mundur jauh ke belakang.

Anggapan itu akan berlanjut dengan pemikiran seharusnya hal seperti itu dilakukan oleh masyarakat tradisional yang memang kehidupannya di situ. Bila berpikir seperti ini memberi arti kepada pemahaman bahwa berpikir dengan menggunakan pola logika mempersempit rasa, karenanya mereka yang menggunakan logika lebih banyak berotientasi kedepan, dan orang yang menggunakan rasa lebih banyak berorientasi kebelakang. Padahal keduanya boleh digabung untuk melahirkan sebuah pemikiran yang padu.

Logika dan Keyakinan
Seorang ilmuan mencoba menggunakan pola bacaan dengan menggabung antara logika atau akal dengan keyakinan yang dimiliki, karena dalam pengetahun seorang ilmuan muslim kesemuanya baik itu akal juga keyakinan berasal dari Tuhan.

Akal diberikan oleh Tuhan untuk dapat berpikir sehingga mengetaui keberadaan Tuhan selanjutnya juga akal berfungsi untuk mengetahui segala sesuatu itu adalah ciptaan Tuhan.

Ketika akal tidak mampu mengetahui kebenaran hakiki maka seorang ilmuan harus meyakini bahwa kebenaran yang dimiliki manusia adalah kebenaran yang nisbi, dan kebenaran yang hakiki itu ada pada Tuhan.

Banyak ilmuan hukum Islam mengatakan kalau ayat al-Qur’an yang tertulis bukanlah akal, karena itu adalah firman Tuhan langsung kepada Nabi Muhammad melalui malaikat Jibril, para ilmuan mengatakan bahwa pemahaman atau pengetahuan tentang apa yang tertulis adalah hasil kemampuan akal dalam memaknai apa yang dikehendaki Allah dalam firman-Nya.

Untuk itu semua kita paham dan meyakininya, tetapi ada firman lain selain yang pernah di ucapkan oleh Tuhan yaitu semua ciptaan-Nya atau sering disebut dengan ayat-ayat kauniyah.

Firman yang kauniyah ini tidak melalui perantara malaikat maupun nabi, tetapi diciptakan secara langsung dengan jumlah yang tidak terhingga dan juga dengan sejarah yang belum diketahui secara jelas sejak kapan adanya.

Kendati telah banyak penelitian yang dilakukan ilmuan tentang sejarang ayat-ayat kauniyah. Untuk itu berani kita katakan bahwa semua adalah ciptaan Allah yang mempunya awal dan akhir kecuali diri-Nya.

Manusia diciptakan Allah dengan bentuk yang paling sempurna berbanding makhluk lain, artinya bagi manusia yang lebih sempurna mempunyai kemampuan mengetahui makhluk lain dengan menggunakan ilmunya tentang kesempurnaan dan kelemahannya, demikian juga dengan pengetahuan yang dimiliki manusia mampu mengetahui dirinya dalam batas sesempurna sebagai ciptaan Allah.

Mengetahui bahwa alam dan manusia sebagai ciptaan Allah yang berbanding dalam kesempurnaan adalah merupakan keyakinan, dan menemukan kelebihan dan kekurangan antara makhluk lain dengan manusia adalah kemampuan akal manusia, sehingga akal mengatakan memang benar adanya.

Pengalaman Logika dan Keyakinan
Seseorang yang mengidap penyakit, apakah penyakit yang dialaminya berat atau ringan, maka ia selalu mencari penyebab datangnya penyakit. Sehingga ia meyakini bahwa penyakit yang dialaminya mempunyai sebab. Pengetahuan untuk mengetahui sebab dari penyakit adalah kemampuan akal (logika) atau pengetahuan, karena itu semakin tinggi ilmu manusia maka semakin mampu ia menggali dan mengetahui sebab dari penyakit. Ketika tidak mampu mengetahui sebab dari penyakit maka seorang ilmuan akan mengatakan secara yakin bahwa sebab dari sakit itu datangnya dari Tuhan.

Ketidak mampuan dalam menggali sebab itulah yang disebut dengan batasan akal dan berakhir dengan mengembalikan keyakinan dan juga ketika mampu memnemukan sebab adanya penyakit ilmuan muslim juga mengembalikan pengetahuannya kepada sumber adanya sebab yakni Tuhan.

Tuhan mengatakan dalam al-Qur’an : Dengan memnggunakan ilmu pengetahuan kamu akan mampu menembus alam yang belum pernah kamu lalui.

Ketika seorang ilmuan menjelaskan dengan ilmunya kepada kita tentang sebab suatu penyakit atau penyakitnya sendiri, maka kita sebagai orang awam percaya dan yakin bahwa sebab dan penyakit itu ada, karena itu apapun yang dilakukan sebagai tindakan untuk mengetahui sebab dan menghilangkan penyakit itu kita terima dengan rasa puas walaupun hasilnya tidak seperti diharapkan karena kita mempunyai keyakinan apalagi hasilnya sesuai dengan analisis dan sesuai harapan, maka lahirlah yang disebut dengan rasa syukur dan penuh keyakinan.

*penulis merupakan dosen Fakuktas Syari’ah di UIN Ar-Raniry

 

Comments

comments

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

No More Posts Available.

No more pages to load.