Antara Bujang Pane, Nyamuk, Alexander dan Iskandar

oleh
ilustrasi

Oleh : Fauzan Azima*

Bujang Pane adalah anak petani miskin dan pendosa. Hampir seluruh dosa besar dan kecil sudah pernah dilakukan dari membunuh, berbuat asusila, merampok dan mabuk-mabukan. Sempurnalah kejahatannya, kecuali korupsi, prilaku syirik dan kebencian.

Secara umum, tidak ada kebaikan pada dirinya, kecuali hanya tidak pernah dengan sengaja membunuh nyamuk. Bagaimanapun jeleknya suara nyamuk yang bergiang-ngiang di telinganya, dia tidak pernah berusaha mengusirnya dan tidak pula berusaha memakai kelambu. Bujang Pane “pendonor yang baik” bagi nyamuk.

Sungguh mulia hatinya kepada nyamuk. Jangankan sengaja untuk membunuhnya, berniat mengelabui nyamukpun dia tidak tega. Kalau mau, bisa saja dia menggantung baju kotornya yang direndam air sebagai alih perhatian sehingga nyamuk tidak menyerang dirinya.

Bermula Bujang Pane pernah mendengar ceramah seorang ustadz bahwa pada Al-Qur’an Surat Al-Baqaroh ayat 26 menyebut, “Sesungguhnya Allah tidak malu membuat perumpamaan berupa nyamuk, bahkan lebih rendah dari itu.” Sejak itulah dia tidak pernah mau lagi membunuh nyamuk walau dengan tujuan program nasional, “bebas DBD.”

Sadar atau tidak dia telah melakukan perbuatan yang mulia walau kadarnya dianggap sangat rendah. Kemuliaan atau kekeramatan seseorang belum tentu lahir dari hal-hal yang besar. Al-Ghazali penulis kitab “Ihya Ulumuddin” menjadi keramat bukan karena rajin beribadah, tetapi karena membiarkan lalat hinggap di penanya ketika sedang menulis dan tidak menggoyangkan penanya sebelum lalat itu terbang.

Seorang wanita terpaksa menjadi “watusi” dan masyarakat menganggapnya hina, tetapi karena kebaikannya memberi minum anjing yang kehausan dimasukan ke dalam surga, sebaliknya seorang ahli ibadah masuk neraka karena menyiksa kucing.

Bujang Pane-pun sakit! Karena kebaikannya terhadap nyamuk, menjelang kematiannya, Tuhan memberi pilihan kepadanya, apakah ingin lahir menjadi anak syariat Raja Jawa, Raja Jepang atau sebagai anak Presiden Amerika?

“Ya Tuhan Yang Maha Agung, ampuni hamba yang memilih ibu negara Presiden Amerika sebagai ibu yang mengandung hamba” pinta Bujang Pane dengan pasti.

Dia memilih menjadi anak presiden Amerika karena tertarik dengan “Uncle Sam” atau “Paman Sam” yang jika “Sam” dibalik menjadi “Mas” dan jika “Sam” “m” nya dibalik ke atas menjadi “Saw”. Mengapa harus membenci Amerika? Maha Suci Allah yang telah mewariskan bumi ini kepada Baginda Nabi Besar Muhammad SAW.

Akhirnya pada waktunya, Bujang Pane terlahir sebagai anak Presiden Amerika dengan nama Alexander. Sungguh beruntung Bujang Pane hanya dengan satu kebaikan kepada bangsa nyamuk yang dianggap hina, kini hidupnya sangat terhormat. Berlakulah falsafah, “Kalau ingin mulia dan terhormat, tunggulah di pintu hina.”

Betapa tidak, sebagai keluarga Presiden Amerika, pemerintah menyediakan pelayanan kelas satu selama tinggal di istana dan mendapat perlindungan dan pengamanan ekstra kemanapun Alexander pergi. Lebih dari itu, sebagai keluarga presiden diharuskan menggunakan pesawat Air Force One kemanapun pergi dan tidak diperbolehkan mengendarai mobil seorang diri.

Kapan, di mana, dan kemanapun Alexander pergi selalu dipuja seperti “sinterklas,” juru foto tidak pernah bosan mengabadikannya, wartawanpun selalu memberitakan sekecil apapun kegiatannya, bangsawan, petani, orang miskin, pejabat negara selalu menyambutnya dengan senyum mengembang.

Waktu demi waktu kesadaran “bertauhid” Alexander mampu mengingat masa lalunya yang terlahir dari keluarga yang kurang beruntung akibat kemaksiatan di masa sebelumnya. Kemaksiatan telah mengaburkan ingatan, sedangkan kebaikan akan membuka tabir masa lalu dan yang akan datang.

Alexander ingin merasakan kembali kehidupan masa lalunya yang serba sulit. Dia mendapat petunjuk ada seorang tuna wisma bernama Iskandar yang mirip dengannya. Dia ingin mengulang kisah Syech Abdul Qadir Jailani seorang ulama sufi yang dihormati, sedangkan Kadir adalah seorang yang sangat miskin di kota Baghdad, Iraq.

Alexander dan Iskandar bersepakat saling menukar identitas dan pakaian. Para pengawal keluarga kepresidenan sedikitpun tidak curiga karena mereka seperti kembar identik. Alexander menjalani hari-harinya sebagai Iskandar yang menjalani hidup kerja keras untuk dapat makan satu waktu, sebaliknya Iskandar juga menjalani kesehariannya sebagai Alexander yang semua kebutuhannya terpenuhi dalam waktu seketika.

Di perkampungan kumuh Alexander kerap mengalami kekerasan hanya untuk uang $ 1 USD. Dia merasa seperti hidup dalam neraka. Sehari di pemukiman kumuh serasa setahun. Alexander tidak sanggup dengan kehidupan masyarakat bawah yang segala sesuatu didapat dengan kekerasan dan amarah.

Sampailah pada waktu yang sudah disepakati antara Alexander dan Iskandar untuk kembali kepada kehidupan mereka masing-masing. Dari rangkaian perjalanan panjang itu mereka mendapat ilmu pengetahuan.

Manusia diciptakan dengan karakter peran masing-masing; peran watak seseorang tidak bisa dipaksakan kepada orang lain, demikian juga sebaliknya. Kita harus menghormati peran orang lain dan berdamai dengan perbedaan peran.

(Mendale, 2 Agustus 2019)

Comments

comments

No More Posts Available.

No more pages to load.