Aceh Green dan Paradigma Hutan Pengundang Hujan

oleh

Oleh : Yopi Ilhamsyah*

Visi Aceh Green yang diusung Pemerintah Aceh terutama suksesi hutan sangat strategis saat kekeringan dan paceklik air melanda tidak hanya Aceh namun juga Indonesia. Sebuah State of the art dalam Sains Cuaca mengungkapkan peran penting hutan yang tidak hanya sebagai penyokong kehidupan terestrial di Bumi namun juga sebagai pengatur sistem regulasi keseimbangan Bumi melalui hukum-hukum alam yang dijelaskan dalam konsep dasar Fisika.

Jika hipotesis ini benar, maka konsep ini akan mentransformasikan pandangan kita menuju pergeseran paradigma dalam Sains Fisika yang selalu diawali dari konsep abiotik menuju pendekatan biotik melalui teori pompa biotik sekaligus mengubah pandangan kita mengenai sangat pentingnya pelestarian dan konservasi hutan serta krusialnya peran hutan dalam kaitannya dengan perubahan iklim yang sedang terjadi di Bumi ini.

Teori Pompa Biotik (TPB) yang diusulkan oleh dua ilmuwan Rusia yaitu Makarieva dan Gorshkov pada tahun 2007 dilanjutkan dengan paper-paper mereka hingga 2017 telah menarik perhatian tidak hanya di kalangan ilmuwan fundamentalis namun juga oleh para ahli lingkungan.

Apa yang membuat TPB menjadi fenomenal adalah bahwa hipotesis ini berupaya mengubah pemahaman mendasar tentang bagaimana alam ini bekerja?, apa penggerak utama alam ini?, apakah hukum-hukum Fisika Klasik (terkait Mekanika Newton) masih relevan serta masih dapat digunakan untuk menjelaskan sistem dan kerja alam ini? Dengan kata lain, TPB berusaha merevolusi hukum-hukum dasar alam yang telah mapan seperti sering dijelaskan dalam Fisika. Konsekuensinya, teori ini ditolak!.

Sebaliknya, para pelestari dan pemerhati lingkungan menyambut baik TPB dan sangat mengapresiasi hipotesis ini sebagai “temuan” yang sangat bermanfaat untuk meningkatkan nilai tambah dari kampanye hijau mereka dan sebisa mungkin hipotesis ini diadopsi oleh para penentu kebijakan (terutama terkait dengan pengelolaan hutan).

Kembali ke pemahaman Fisika, Para ahli telah lama meyakini bahwa satu-satunya penggerak utama sirkulasi atmosfer Bumi berasal dari selisih panas, sebagaimana yang umum diformulasikan dalam konsep dasar Fisika serta selalu dijustifikasi bahwa gerak massa udara diawali dengan perbedaan suhu yang selanjutnya membentuk kemiringan tekanan secara horisontal.

Kita pasti mengetahui bahwa siklus air (hidrologi) di mana pergerakan uap air yang telah terkondensasi (perubahan wujud uap menjadi air) membentuk awan di atas lautan digerakkan oleh perbedaan tinggi dan rendahnya tekanan di atas lautan dan daratan. Namun, tidak ada yang memperhatikan bahwa turunnya tekanan di daratan sebagian besar disebabkan udara yang lebih lembab karena kondensasi uap air tinggi.

Dari manakah uap air ini berasal?, tentunya berasal dari tanaman melalui proses transpirasi (penguapan) dan diyakini melebihi penguapan dari lautan. Untuk mendapatkan uap air dalam jumlah besar maka dibutuhkan suplai berkelanjutan dari hutan alam yaitu hutan yang masih dipenuhi oleh keragaman ekosistem sepertihalnya hutan hujan tropis Indonesia dan bukan sebuah perkebunan monokultur yang telah mengalami perubahan sifat ekologis. Kenapa harus hutan alam?, ini karena indeks luas daunnya yang tinggi.

Jadi apa maksud TPB?, TPB ingin mengatakan bahwa siklus hidrologi akan dapat tetap terjaga dengan baik dengan mengusulkan pelestarian hutan alam, sehingga dengan kelimpahan uap air proses kondensasi akan terus berlangsung dan tetap menciptakan daerah bertekanan rendah di atas hutan yang berguna untuk menarik angin yang mengandung udara lembab dari lautan untuk bergabung dan menurunkan hujan di kawasan hutan, inilah yang disebut dengan “pompa biotik” sebagaimana dipahami melalui kearifan lokal bahwa hutan pengundang hujan.

Untuk membuktikan teori ini, sebagai contoh berikut diberikan informasi curah hujan tahunan antara pantai timur Aceh dan Aceh Tengah yaitu: Lhokseumawe, Sigli dan Bireuen masing-masing berjumlah 1.520, 1.636 dan 1.407 milimeter sementara Geumpang, Tangse, Takengon, Kutacane, Lokop masing-masing 4.000, 2.283, 2.696, 2.559, 4.013 milimeter. Jika kita tarik garis dari beberapa titik di pantai timur menuju wilayah Aceh Tengah, maka akan diperoleh peningkatan curah hujan yang membuktikan bahwa TPB tergambarkan dengan baik di wilayah Aceh.

Namun, saat perubahan iklim seperti sekarang ini, studi kami mendapati penurunan curah hujan sebesar 20 persen selama tiga dekade terakhir di Aceh Tengah, dan ini disebabkan oleh berkurangnya luasan hutan!. Melalui skenario tanpa mitigasi diproyeksikan (menggunakan model) hujan akan hilang mencapai 40 persen di tahun 2040.

Dengan demikian, penulis sungguh mendorong agar TPB menjadi konsep yang powerful tidak hanya untuk tujuan pendidikan tapi juga penentu kebijakan dan boleh jadi menjadi rujukan dalam perwujudan cita-cita Aceh Green. Semoga!

*Dosen Meteorologi Universitas Syiah Kuala Banda Aceh sedang menyelesaikan Doktoral di Klimatologi Terapan IPB

Comments

comments

No More Posts Available.

No more pages to load.