Implementasi Nilai “I serahen ku guru”dalam Sistem Pendidikan

oleh

Oleh : Dr. Abdiansyah Linge, MA*

Sejak tahun 1950 sampai dengan 2006. Kurikulum pendidikan sudah dirubah sembilan kali: Tahun 1950 dikembangkan kurikulum Sekolah Dasar (SD) yang disebut “Rencana Pelajaran Terurai”. Pada tahun 1960 muncul ”Kurikulum Belajar Sekolah Dasar”. Tahun 1968 dikenal “Kurikulum 1968 Pengganti Kurikulum 1960”. Tahun 1970 muncul “Kurikulum Berhitung diganti dengan pelajaran matematika modern”.

Tahun 1975 disebut “Kurikulum 1975 yang mempukuskan pelajaran matematika dan Pendidikan Moral Pancasila serta Pendidikan Kewarganegaraan”. Pada tahun 1984, kurikulum 1975 disempurnakan dengan Cara Belajar Siswa Aktif (CBSA).

Tahun 1991, CBSA dihentikan lalu muncul “Kurikulum 1994”. Pada tahun 2004 muncul “Kurikulum Berbasis Kompetensi” (KBK) dan pada tahun 2006 muncul “Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan” (KTSP), selanjutnya beberapa kali KTSP revisi dan terakhir adalah Kurikulum 2013 (K13), sampai saat ini kurikulum ini masih disempurnakan.

Pemerintah terus menerus berusaha melakukan inovasi sebagai upaya meningkatkan kualitas pendidikan di Indonesia, antara lain: Menetapkan Peraturan Pemerintah (Permen) Nomor 22 Tahun 2006 tentang Standar Isi Pendidikan dan Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2006 tentang Standar Lulusan (SKL). Untuk melaksanakan Peraturan Pemerintah tersebut, Pemerintah membantuk Badan Standar Pendidikan Nasional (BSPN/BAN-PT). Usaha-usaha tersebut dilakukan bagaimana cara agar kualitas pendidikan Indonesia dapat meningkat dan sejajar dengan negara-negara lain.

Inovasi kebijakan pendidikan dilakukan agar system pendidikan lebih adaptif terhadap perkembangan. Namun, seperti mengejar “bayangan sendiri”, kebijakan-kebijakan tersebut seumpama “menggarami laut”. System pendidikan belum dapat menciptakan anak didik yang terampil dan berakhlak secara massif sebagai sebuah system. Bahkan kekhawatiran orang tua pada saat ini lebih besar pada prilaku anak yang menyimpang dari norma agama dan sosial, sehingga lembaga pendidikan yang “independen” dengan karakteristik tersendiri yang telah melembaga menjadi pilihan sekolah rujukan, seperti pesantren/Dayah, sekolah tahfidz dan bentuk sekolah lain yang memiliki ciri dan keunikan tersendiri.

Merujuk pada kearifan lokal budaya Gayo, system pendidikan lebih mengedepankan nilai yang tertanam dalam masing-masing stakeholder pendidikan. Salah satunya adalah proses Iserahen ku guru, artinya orang tua menyerahkan anaknya kepada guru untuk dididik, merupakan norma adat Gayo yang memiliki nilai kerja sama antara orang tua dan guru atau antara keluarga dan sekolah.

Penyerahan itu dilakukan seacara hidmat dengan penuh rasa tanggung jawab, dimana orang tua – yang diserahkan oleh ibu/bapak atau bapak saja- mengantarkan anaknya ke sekolah atau tempat pengajian, dengan pakaian muslim/muslimah membawa makanan ringan berupa ketan, ayam goreng dan minuman kopi.

Setelah minum bersama, orang tua menyerahkan kepada guru/tengku, sambil berjabatan tangan sebagai ijab kabul mengucapkan kata-kata yang intinya : Guru si meliye, Tuhen munekediren kami melahirkan anak ni, memutihen diriye kami serahen ku guru/tengku, artinya, guru yang mulia, Allah mentaqdirkan kami melahirkan anak ini, untuk mensucikan kehidupannya, kami serahkan kepada guru. Guru menerima penyerahan itu dengan ucapan yang intinya : Penyerahan anakme urum ate lapang nge kami terime, kami gere lepas mudidikke kesiken gere murum-urum kite mudidik anak teni kati muhasil, buge luwah utangkte ku Tuhen, ke siken ku bengesi enti kam berues ate, artinya, saya menerima penyerahan pendidikan anak ini dengan ikhlas, kami tidak mungkin mendidik sendiri tanpa bersama-sama mendidiknya supaya berhasil, agar kita tidak berhutang kepada Allah, bila saya memarahi anak kita ini dalam proses pembelajaran hendaknya saudara tidak kecewa.

Adat Gayo menentukan bahwa iserahan ku guru bukan berarti orang tua melepaskan tanggung jawab untuk mendidik mereka, tetapi untuk mempererat dan lebih mengharmonisasikan hubungan kerja sama antara orang tua dan guru atau antara keluarga dan sekolah, guru atau sekolah bersifat asistensi (bantuan) terhadap orang tua atau keluarga dalam mendidik anak. Hasilnya banyak peserta didik selama hayatnya menghormati guru sebagai ayah bunda kedua setelah ayah bunda kandungnya.

Nilai-nilai adat Gayo sebagaimana diuraikan di atas merupakan motivator dan sistem pendidikan dalam adat Gayo menuju tujuan pendidikan yaitu kati makal urum murasa, artinya supaya seseorang berakal cerdas dan berperasaan halus dalam hubungannya dengan Allah dan sesama manusia yang tidak lepas dari penalaran dan perasaan terhadap tanda-tanda keagungan Allah berupa firman dan ciptaan-Nya termasuk manusia indvidual dan sosial.

Kerjasama orang tua dan sekolah dengan menerapkan norma tingok sino Peran Tingok sino yang dilakukan oleh orang tua selama pendidikan bukan hanya diterapkan dengan ceremonial saja. Namun lebih pada memahami hak dan kewajiban orang tua terhadap guru dengan memahami makna dan nilai I serahen ku guru yang telah dilakukan.

Kerjasama orang tua dan sekolah didasari penghormatan terhadap guru dengan memberikan kepercayaan terhadap guru dalam mendidik anak, bukan orang tua mendikte apa yang harus dilakukan oleh guru.

Penerapan nilai adat Gayo I serahen ku guru InsyaAllah akan meningkatkan kualitas pendidikan disebabkan orang tua hanya akan menyerahkan anaknya kepada guru atau sekolah yang dipercaya orang tua untuk mendidik anaknya, serta akan membangun keharmonisan dalam proses pendidikan yang akhirnya akan membangun suatu system pendidikan yang lebih baik.

*Pimpinan Pesanteren Modern Maqamam Mahmuda, Takengon

Comments

comments

No More Posts Available.

No more pages to load.