Oleh : Fauzan Azima*
Menjelang maghrib pohon-pohon berzikir. Suaranya seperti kumpulan lebah. Waktu yang tepat bagi pemberontak turun ke kampung mencari perbekalan, tetapi demi keselamatan walau situasi aman mereka tidak melakukannya.
Suasana kampung seperti biasa. Masyarakat shalat maghrib berjama’ah lalu dilanjutkan dengan dzikir. Anak-anak belajar Iqro’ dan para pemuda mulai meramaikan pos ronda berbincang tentang apa yang terjadi tadi siang.
Di kampung sebelah baru saja terjadi pemberondongan terhadap pasukan tantara yang menyisir dengan tiba-tiba. Tidak diketahui persis apakah ada yang tewas karena mereka cepat melokalisir sehingga berita tentang keberadaan tantara di lokasi itu tidak ada yang mengetahui.
Pemberontak itu mengikuti kata hatinya. Sekali lagi memastikan tidak akan turun. Sayangnya, beberapa di antara mereka mulai marah dan saling hina, “Untuk apa menjadi pemberontak kalau trauma?” suara seorang pemberontak dalam kegelapan.
Kata “trauma” telah menjadi stikma negatif bagi harga diri pemberontak. Terjadi pertengkaran kecil, “Siapa yang trauma? Ayo turun ke kampung sekarang?” salah seorang pemberontak menantang.
Sikap represif tantara akhir-akhir ini, kerap terjadi perang tidak terduga. Tidak ada lagi tempat yang aman bagi pemberontak. Bahkan markas pemberontak yang “abeh gle” sekalipun telah dimasuki tantara. Wajar di antara pemberontak ada yang sakit perut saat mendengar pergerakan tantara.
Di tengah perdebatan itu, pimpinan pemberontak memutuskan untuk turun ke kampung. Meskipun ia sadar bahwa dipastikan akan terjadi kontak senjata. Kata “trauma” telah mengalahkan kata hatinya yang selama ini menjadi sahabatnya dalam berdialog.
Baru seratus meter mereka berjalan menuju kampung, tiba-tiba diberondong dengan rentetan senjata tantara yang mengepung mereka. Di luar dugaan mereka mendapat serangan mendadak yang menewaskan beberapa pemberontak. Sebagian pemberontak mundur menyelamatkan diri di tengah kegelapan malam.
Bagi pemberontak yang tidak bisa berdamai dengan haus dan lapar akan kehilangan akal sehat dan meninggalkan suara hatinya sebagai sahabat yang selama ini membimbingnya kepada jalan keselamatan. Syetan kata “trauma” telah menyesatkan pemberontak menuju kematian.
(Hari ini, 15 tahun lalu)