Catatan : Ismar Ramadani*
Berkunjung ke Samar Kilang bukanlah sesuatu yang pernah saya rencanakan sebelumnya. Tapi demi mendapat info bahwa Khalisuddin baru dilantik menjadi Camat baru di wilayah ini, itu benar benar sebuah kabar gembira.
Sampai pada teman saya, Zuhra Ruhmi membuat sebuah ide perjalanan ke sana. Menunggu seminggu sampai rencana ini terlaksana. Pak Camat baru menerima kami sebagai tamu dan berbaik hati memberikan tumpangan. Jadilah saya, Zuhra dan Misna menjadi pengunjung pertama di 10 hari kerja, pak Camat. Kami melakukan perjalanan ke Samar Kilang.
Rasa penasaran adalah teman di sepanjang perjalan yang kami lalui. Sebagai orang yang baru bekerja 10 hari, Khalis tidak banyak memberikan gambaran tentang wilayah terluar dari Kabupaten Bener Meriah ini.
Kami diberi keleluasaan menerawang daerah yang belum pernah kami kunjungi. Tentu saja beberapa hari sebelum keberangkatan saya sudah melakukan pencarian di google dan hanya menemukan pemberitaan tentang jalan yang berlumpur dan illegal logging. Saya bisa memaafkan jalan berlumpur tapi tidak untuk illegal logging.
Begitu sampai Samar Kilang kami tidak menemukan tata kota yang mengesankan. Bahkan jalan dua jalur di depan Kantor Kecamatan tidak mampu memberi gambaran ideal tentang ibukota Kecamatan.
Tempat ini memang sedang ditampilkan sebagai beranda rumah dari Bener Meriah. Kondisinya sama dengan kebanyakan wilayah perbatasan lain. Sepi! Terlihat terabaikan.
Melewati pusat kota kami menuju ke sungai, saya pernah melihat beberapa foto teman-teman di spot ini. Sungai dan jembatan gantung memang ikon Samar Kilang yang layak happening (baca:terkenal).
Kebalikan dari penerimaan pusat kota yang sepi, sungai justru lebih ramai dengan riak air mengenai batuan dan anak-anak yang mandi berhanyut hanyutan di atas ban. Satu hal tentang Samar Kilang yang saya suka: sungai!
Hari kedua, pak Camat mendapat undangan ke acara kenduri kelahiran. Kami ikut serta meramaikan. Banyak hal menarik yang kami temukan di sini.
Sebagian besar tentang tradisi kelahiran dan betapa masyarakat saling membantu dalam hajatan sesama warga. Namun ada hal yang paling mencuri perhatian saya, yaitu keberadaan anak anak balita yang sangat ramai di antara para ibu yang duduk bersama sama.

Dugaan saya, Zuhra dan Misna, 8 di antara 10 perempuan yang duduk datang bersama anak balita dengan rentang usia 2-4 tahun, bahkan ada seorang ibu dengan usia sekitar 40-50 tahun mengaku sudah punya cicit atau dia sudah menjadi datu.
Ini mengejutkan bagi kami karena di Takengon atau wilayah Gayo yang lain sulit bisa menemukan datu yang semuda ibu ini. Bersama si ibu duduk seorang balita yang berusia sekitar 3 tahun dan ternyata itu adalah cucu yang tinggal bersamanya karena orang tuanya sudah bercerai dan sang ibu bekerja di daerah Pondok. Pernikahan dini dan perceraian di usia pernikahan yang masih muda merupakan fenomena umum di Samar Kilang
Gambaran di atas menunjukkan bahwa Samar Kilang mengalami surplus angka kelahiran bayi. Itu artinya keberadaan Sumber Daya Manusia tersedia dengan cukup baik meski pembangunan manusia terlihat belum maksimal.
Setelah menghadiri acara kenduri kami kembali menuju sungai yang damai untuk tempat ngopi dan menikmati air yang dingin. Linda dan Tri menemani kami. Keduanya adalah remaja yang masih bersekolah. Linda kelas 2 SMP dan Tri kelas 3 SMA. Kami sempat bercerita dan bertanya tentang sekolah dan generasi muda di Samar Kilang.

Menurut Tri, banyak orang muda di sini yang menganggur. Tidak bisa melanjutkan kuliah karena kondisi ekonomi. Ini dibenarkan oleh apa yang disampaikan Sadra, seorang mahasiswa antropologi, Universitas Malikussaleh, Aceh Utara.
Dia adalah satu di antara 8 orang anak muda yang bisa melanjutkan kuliah dari 10 temannya yang tinggal di kampung ini. 6 dari 10 yang tidak melanjutkan kuliah itu menganggur dan 4 diantara perempuannya sudah menikah dan hanya tinggal 1 lagi dari perempuan yang tidak melanjutkan kuliah yang belum menikah.
Menurut Sadra, sebagian besar dari yang kuliah itu adalah mereka yang melanjutkan sekolah di Takengon atau Kota di Bener Meriah.
“Kami ujian Kelulusan SMA menggunakan komputer, sementara di sekolah SMA Samar Kilang komputer tidak tersedi,” jelas Sadra.
Penjelasan Sadra menggambarkan bagaimana kesulitan yang dihadapi oleh siswa sekolah di kecamatan ini untuk menyesuaikan diri dengan standar nasional. Belum lagi guru sekolah yang langka dan mengajar bidang yang tidak sesuai dengan keahliannya yang berdampak pada proses belajar mengajar yang tidak maksimal.
Selain kondisi sekolah yang tidak mendukung siswa untuk melanjutkan studi, Tri mengatakan bahwa faktor ekonomi keluarga juga menjadi kendala.
“Ada yang ingin kuliah tapi ndak ada biaya,” kata Tri. Menurut Tri beberapa kakak letingnya mengalami masalah ini. Akhirnya mereka tidak melanjutkan kuliah, tanpa keahlian khusus. Kadang mereka mencoba peruntungan bekerja di Pondok atau daerah lain di Bener Meriah bekerja sebagai penjaga toko. “Daripada ke sana ke mari gak jelas, ada yang datang melamar, ya sudah menikah saja,” ujar Tri.
Dorongan keluarga juga menjadi catatan bagi, Sadra. Menurutnya beberapa orang teman yang melanjutkan kuliah biasa memang memiliki anggota keluarga yang pernah kuliah tinggi dan keluar dari Samar Kilang.
Angkatan Kerja Tanpa Keahlian
Tri begitu kaget saat mendengar bahwa teman saya, Zuhra adalah lulusan Magister Pendidikan Matematika, seorang wartawan dan bisa menjahit pakaian. Dia juga terkejut saat tahu, Misna adalah guru Bimbingan Konseling yang juga bergelut di bisnis kopi. Terlihat bahwa keterampilan masih menjadi barang langka di sini.
Sejatinya Sumber Daya Manusia merupakan proses peningkatan pengetahuan, keterampilan dan kapasitas dari semua penduduk di suatu masyarakat. Maka pengetahuan dan keterampilan merupakan poin penting yang harus dimiliki oleh semua anggota masyarakat, terutama generasi muda yang siap kerja.
Keterampilan sendiri dapat disesuaikan dengan potensi daerah yang ada. Sejauh ini yang saya amati banyak anak muda yang bekerja melangsir papan menggunakan sepeda motor. Namun tidak terlihat ada galeri atau bengkel kerja kriya dengan hasil karya seperti halnya ukiran Jepara yang begitu terkenal.
Samar Kilang juga tidak memiliki produk unggulan yang dapat menjadi oleh oleh atau sumber pendapatan warga meskipun semua jenis tanaman buah buahan tumbuh subur di daerah ini. Jika pun ada ikan Gegaring yang merupakan ikan khas perairan sungai dengan aliran deras namun ikan tidak selalu tersedia sehingga tidak ada jaminan orang yang datang ke Samar kilang dapat membawa pulang ikan ini sebagai oleh oleh.
Begitu juga dengan gula aren, hanya ada dua orang yang produksi dan ternyata tersisa satu orang lagi yang produksi. Saat kami akan membeli untuk dibawa pulang ternyata produk gula aren sudah habis.
Persoalan di atas merupakan sebuah gambaran dari rendahnya pembangunan sumber daya manusia yang menyebabkan tidak tersedia barang atau jasa yang dapat digunakan untuk meningkatkan perekonomian dan kualitas hidup.
Akan sangat baik jika pemerintah bisa memberikan intervensi untuk menyelesaikan persoalan ini. Misal dengan memberikan pelatihan keterampilan bagi warga terutama generasi muda. Memberikan bantuan dalam bentuk memfasilitasi antar warga dan pelaku usaha.
Pemerintah juga bisa membantu warga memastikan produk yang mereka hasilkan dapat dipasarkan. Dana desa dapat dijadikan sumber pendanaan untuk kebutuhan ini.
Menurut saya, Pembangunan Manusia di Samar Kilang dapat dilakukan dengan kerjasama antar semua pihak. Saya membayangkan anak muda yang menganggur ini akan menjadi mesin penggerak perekonomian dan pembangunan Samar Kilang di masa yang akan datang.
Ada dua pilihan yang bisa dilakukan sekaligus, Samar Kilang dengan produk unggulan yang dihasilkan dan Samar Kilang menjadi tujuan wisata yang berkelanjutan. Kedua hal ini dapat diwujudkan dengan Pembangunan Manusia yang juga berkelanjutan. Sudah saatnya Samar Kilang menjadi yang terdepan bukan hanya dari sisi wilayah tapi juga dari kualitas pembangunan manusianya.
Semangat ini yang saya temukan pada sosok Linda, Tri, Sadra dan semua generasi muda Samar Kilang yang siap membuat perubahan.
*Penulis merupakan dosen Hubungan Internasional di Universitas Al-Muslim Bireuen