Sufisme Cinta Rabi’ah al-Adawiyah

oleh

Oleh: Husaini Muzakir Algayoni*

Membicarakan sufi dan tasawuf tidak boleh lain, kecuali sedang membicarakan orang yang lebih mementingkan kebersihan batin dan kesucian jiwa, lebih mengutamakan perilaku untuk mendekatkan diri kepada Allah (taqarrub) agar lebih bisa untuk sampai kepada Sang Khalik sebagai tempat kembalinya. Seluruh dimensi hidupnya dipenuhi dengan kondisi dan keadaan jiwa yang selalu berzikir dari lisan, akal hingga hati.

Tasawuf atau sufisme ialah istilah yang khusus dipakai untuk menggambarkan mistisme dalam Islam. Tasawuf merupakan ajaran yang membicarakan kedekatan antara sufi dengan Allah dan hanya dirinya yang tahu perasaan kedekatan tersebut karena tasawuf berada dalam batin yang orang lain tidak tahu, yang mana tujuan dari tasawuf/mistisme ini untuk memperoleh hubungan langsung dan disadari dengan Tuhan dan intisarinya merupakan kesadaran akan adanya komunikasi dan dialog antara roh manusia dengan Tuhan.

Maka tidak heran, ada orang yang beranggapan bahwa beberapa sufi telah keluar dari Islam dan dituduh telah sesat serta karya-karyanya dibakar. Ajaran sufi tidak sanggup dicerna oleh orang awam atau orang-orang yang kurang memahami tasawuf secara mendalam, lihat saja sufi al-Hallaj dipancung dan karya-karya sufi besar Hamzah Fansuri dibakar.

Dalam Alquran terdapat beberapa ayat yang menunjukkan kedekatan manusia dengan Allah. Sebagaimana dalam surat al-Baqarah ayat 186, Allah berfirman: “Dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu tentang Aku, Maka (jawablah), bahwasanya aku adalah dekat. aku mengabulkan permohonan orang yang berdoa apabila ia memohon kepada-Ku, Maka hendaklah mereka itu memenuhi (segala perintah-Ku) dan hendaklah mereka beriman kepada-Ku, agar mereka selalu berada dalam kebenaran.”

Dengan tasawuf seorang sufi bisa bertaqarrub dengan Allah sesuai dengan ajaran tasawuf tersebut, maka setiap ajaran dalam tasawuf tidak terlepas dari tokoh (sufi) yang mengajarkannya baik dalam tasawuf beraliran sunni maupun falsafi. Salah satu sufi (zahid) tersebut adalah sufi Rabi’ah al-Adawiyah yang terkenal dengan ajaran tasawufnya al-mahabbah, mahabbah adalah cinta, maksudnya adalah cinta kepada Allah.

Menurut al-Sarraj, mahabbah mempunyai tiga tingkat. Pertama, cinta biasa. Cinta yang selalu mengingat Allah dengan zikir dan senantiasa memuji Allah. Kedua, cinta orang yang siddiq. Orang yang kenal kepada Allah, pada kebesaran-Nya, pada ilmu-Nya dan lain-lain. Cinta tingkat ketiga yaitu cinta orang arif, yaitu orang yang tahu betul pada Allah. Cinta seperti ini timbul karena telah tahu betul-betul pada Allah.

Tasawuf dengan paham mahabbah ini mempunyai dasar dalam Alquran, sebagaimana firman Allah dalam surat al-Maidah ayat 54 “Allah akan mendatangkan suatu umat yang dicintai-Nya dan yang mencintai-Nya”.

Rabi’ah bin Ismail al-Adawiyah al-Bashriyah al-Qaisiyah hidup pada abad kedua hijriyah, lahir di Bashrah (Irak) pada tahun 714 M dan wafat pada tahun 801 M, sumber lain menyebutkan wafat pada tahun 796 M di kota tersebut. Hidup pada tahun kedua hijriah, bisa dibilang ajaran tasawuf Rabi’ah berada dalam aliran sunni karena berada dalam periode sufi awal. Menurut Hamka pada abad ketiga dan keempat tasawuf sudah berkembang dan pembahasannya lebih bersifat filosofis. Oleh karena itu, tasawuf abad ketiga dan seterusnya lahir aliran tasawuf falsafi, sementara abad kedua ke bawah masih berada dalam tasawuf sunni.

Ajaran tasawuf al-mahabbah yang dibawa Rabi’ah merupakan kelanjutan dari tingkat kehidupan zuhud yang dikembangkan oleh Hasan al-Basri, yaitu takut dan pengharapan dinaikkan oleh Rabi’ah menjadi zuhud karena cinta. Cinta yang suci dan murni lebih tinggi daripada takut dan pengharapan, cinta yang suci murni tidaklah mengharapkan apa-apa. Rabi’ah betul-betul hidup dalam keadaan zuhud, beribadah, dan hanya ingin dekat dengan Tuhan.

Cinta murni kepada Allah merupakan puncak tasawuf Rabi’ah, kecintaan Rabi’ah kepada Allah terekam dalam bentuk dialog atau munajatnya dengan gaya bahasa sastra yang bernilai tinggi, sebagaimana terlihat dalam syair-syair berikut ini:

“Aku cinta pada-Mu dua macam cinta; cinta rindu dan cinta. Karena Engkau berhak menerima cintaku. Adapun cinta, karena Engkau, hanya Engkau yang aku kenang tiada lain. Adapun cinta, karena Engkau berhak menerimanya. Agar Engkau bukakan bagiku hijab, supaya aku dapat melihat Engkau. Pujian atas kedua perkara itu bukanlah bagiku, pujian atas kedua itu adalah bagi-Mu sendiri.”

“Kekasih hatiku hanya Engkaulah yang kucinta, beri ampunlah kepada pembuat dosa yang datang ke hadirat-Mu. Engkaulah harapan, kebahagiaan dan kesenanganku. Hati telah enggan mencintai selain dari diri-Mu.”

Pengertian cinta yang dipahami oleh Rabi’ah lebih mendalam dibandingkan dengan para sufi lain, kedalaman cinta inilah yang dapat memalingkan diri dari segala sesuatu yang selain Allah. Dalam do’anya tidak meminta tidak dijauhkan dari neraka dan tidak pula meminta dimasukkan ke dalam surga karena yang diminta Rabi’ah hanyalah dekat dengan Allah.

“Tuhanku, bila aku mengabdi pada-Mu karena takut dari siksaan api neraka-Mu, campakkanlah aku kesana. Andai kata aku mengabdi-Mu hanya karena mengejar masuk ke dalam surga-Mu, jangan beri aku surga. Tapi wahai Tuhanku, bila ternyata aku menyembah-Mu hanya karena kasihku pada-Mu, janganlah Kau tutup wajah-Mu dari pandanganku.”

Rabi’ah adalah sufi yang sangat mencintai Allah sehingga tidak ada ruang lagi untuk cinta kepada yang lain, untuk bisa mencapai maqam al-mahabbah seperti Rabi’ah butuh usaha, latihan, dan perjuangan untuk mendekatkan diri kepada Allah. Doris Lessing, seorang pengamat perjalanan hidup Rabi’ah mengatakan “Pengalaman orang suci yang sulit ditiru oleh orang awam, memahami Rabi’ah sangat sulit.”

Mengutip perkataan Hakim al-Ummat Hazrat Maulana Asyraf Ali Thanvi menyatakan bahwa “Makanan perut adalah makanan dan minuman, maka makanan bagi hati adalah cinta. Jadi hati memperoleh makanan dan kebahagiaan dari cinta.” Maka tidak heran, bagi Rabi’ah rasa cinta kepada Allah merupakan kebahagiaan bagi dirinya dan menjadi satu-satunya motivasi dalam setiap perilakunya dan sekaligus merupakan tujuan pengabdiannya kepada Allah. Oleh karena itu, dengan pahamnya al-mahabbah (cinta) Rabi’ah dikenang sebagai “Ibu para sufi besar (The Mother of the Grand Master).

Bahan Bacaan:
Ahmad Khalil. Narasi Cinta dan Keindahan. 2009.
Asmaran. Pengantar Studi Tasawuf. 2002.
Damanhuri. Akhlak Tasawuf. 2010.
Hamka. Perkembangan dan Pemurnian Tasawuf. 2016.
Harun Nasution. Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya Jilid II. 1985.
Harun Nasution. Falsafat dan Mistisme dalam Islam. 1998.
Muhammad Iqbal. Metode Sufi Meraih Cinta Ilahi. 2002.
Muhammad Sholikhin. Tradisi Sufi dari Nabi. 2009.

*Penulis: Kolumnis LintasGAYO.co

Comments

comments

No More Posts Available.

No more pages to load.