[Kisah] Putri Burung Mergah Dan Gelingang Raya Bagian. 4

oleh

Diceritakan kembali oleh : Aman Renggali

SEPULANGNYA dari pasar Gelingang Raya dan Basyar ayahnya selalu membawa kebutuhan sehari-hari mereka. Seperti beras, garam, gula, minyak goreng dan sedikit oleh-oleh untuk ibunya. Karena seringnya Gelingang Raya menemani sang ayah pergi dan pulang ke pasar kerajaan, ia menjadi sangat hafal setiap tikungan jalan dan pohon-pohon yang mereka lalui. Petak persawahan bahkan atap dan halaman rumah-rumah penduduk. Tak jarang mereka juga singgah sekedar bertukar kabar sambil menikmati segelas kewe hitam yang ditawari oleh kenalan ayahnya sepanjang jalan. Begitulah yang dilakukan Gelingang Raya dan Basyar pada setiap pekan.

Satu hari menjelang bulan Ramadhan. Megang. Gelingang Raya dan ayahnya membawa kebutuhan sehari-sehari seperti biasanya. Mereka seolah hanya membutuhkan sedikit dari keperluan untuk menyambut bulan puasa. Mereka tidak perlu untuk membeli semua kebutuhan, karena sebahagian besarnya telah ada di Bukit Gentala.

Persiapan ibunya di rumah sudah lengkap layaknya masyarakat Gayo mengisi hari-hari Megang dengan menu-menu makanan yang khas dan istimewa. Lepat, mereka hanya membutuhkan gula dan buah kelapa tua dari pasar. Selebihnya telah tersedia, mulai dari daun pisang dan tepung yang ditumbuk dengan alu.

Demikian juga dengan daging sengeral. Mereka tinggal memilih ayam yang dihendaki untuk disembelih, belum lagi bumbu-bumbu yang menyertainya semuanya telah ada di sekililing rumah panggung Bukit Gentala. Bawang merah, bawang daun, ketumbar, cabe, kunir, kapulaga, sere, lengkuas tinggal memetik dari pohonnya langsung. Kesegarannya melebihi bening air tawar dalam dahaga terik matahari. Belum lagi menu cecah dan pecal, kolak untuk berbuka puasa semuanya bahan-bahannya telah tersedia dan tinggal petik saja.

Siang ini perjalan pulang Gelingang Raya dan ayahnya dari pasar kerajaan ke Bukit Gentala terhenti disuatu simpang jalan, dan mereka sempat tertegun saling berpandangan menyaksikan dua orang anak yang sedang duduk berjongkok di tepi jalan. Keduanya menghentikan langkah kaki karena pemandangan kali ini sungguh menarik perhatian mereka.

“Siapa mereka ayah, dan mengapa mereka berada disana?”, tanya Gelingang Raya pada ayahnya yang sedang tertegun dengan pandangan mengarah kepada kedua anak itu.

“Ayah juga tidak tau, tidak biasanya di simpang jalan ini mereka duduk berjongkok seolah menunggu sesuatu”, jawabnya.

“Apakah kau tidak mengenal keduanya ?”, tanya ayah kepada Gelingang Raya.

“Barangkali keduanya adalah sahabatmu di pasar kerajaan”, lanjut ayah lagi.

Sejenak Gelingang Raya mengamati kedua anak itu dengan penuh perhatian, namun beberapa saat kemudia ia menggelengkan kepalanya.

“Ya, aku pernah melihat mereka berjualan di pasar kerajaan tadi pagi. Tetapi aku tidak mengenalnya ayah”, jawab Gelingang Raya.

Dari kejauhan kedua anak itu terlihat sangat murung, tanpaknya abang beradik. Salah satunya berusaha menghibur dan menenangkan dengan mengelus-elus kepala yang lebih kecil.

Gelingang Raya dan ayahnya mengamati dari kejauhan. Kedua anak itu duduk berjongkok sambil memegangi dua ekor ayam jantan berwarna merah. Keduanya berusaha menawarkan ayamnya untuk dijual kepada siapa saja yang lewat. Tetapi satupun dari para pejalan kaki di simpang jalan itu yang bersedia menawar apalagi membelinya.

Setelah melihat itu semua Gelingang Raya dan ayahnya mendekati kedua anak tersebut lalu mencoba bertanya.
“Sedang apa kalian berdua di simpang jalan ini nak ?”, tanya Basyar ayah Gelingang Raya.

Kedua anak itu sempat menoleh dengan mata berkaca-kaca seakan sedang didatangi oleh calon pembeli ayam yang ia jajakan.

“Anu, anu pak saya dan adik saya sedang menjual ayam ini pak”, jawab anak yang tertua.

“Apa bapak mau membelinya?”

Wajah anak itu sangat polos dan kata-katanya sangat bersahaja. Raut mukanya sangat dewasa juga terkesan menyimpan sebuah penderitaan yang ia coba sembunyikan. Sementara adiknya tidak berusaha berdiri dari tempatnya berjongkok sambil memegangi ayam jualannya.

“Kenapa tidak berjualan di pasar kerajaan saja, disana pasti banyak yang akan membeli ayammu”, tanya ayah Gelingang Raya lagi sambil menunjuk jalan arah ke pasar kerajaan.

“Kami tidak berani menjual ayam-ayam ini di pasar kerajaan karena tidak punya lapak. Tadi pagi sempat disana sebentar, lalu diusir oleh petugas pasar karena kami tidak dapat memberikan pajak pasar”, jelas anak itu.

Mendengar itu ayah Gelingang Raya terlihat mengangguk-anggukkan kepala, sementara matanya mengamati anak satunya lagi yang memegangi dan memeluk ayam jualannya dengan lembut.
“Kenapa kalian berdua yang berjualan, ayah kalian kemana?, tanya Basyar.

Belum lagi sempat menjawab pertanyaan itu ayah Gelingang Raya kembali bertaya,
“Asal kalian berdua dari mana?”
Mendengar pertanyaan itu anak yang paling tua sempat menundukkan kepala sesaat seolah mengembalikan ingatan sambil menahan kesedihannnya. Beberapa saat suasana hening. Semua terdiam.

Namun kemudian anak terkecil yang memegangi ayam itu bangun dari jongkoknya lalu memeluk abangnya dari arah samping, dan mukanya melongok ke atas memandangi muka abangnya yang menahan air mata.

Basyar dan Gelingang Raya tertegun menyaksikan adegan abang beradik yang mengharukan itu. Basyar sempat merasa bersalah atas pertanyaannya yang memicu kesedihan kedua anak penjual ayama itu.

“Maaf nak, jika pertanyaan bapak menyinggung perasaan kalian”, cetus Basyar.

“Tidak apa-apa pak !”, jawab anak yang paling tua dengan suara bergetar sambil mengusap matanya.

“Ayah kami sudah tiga tahun meninggal dunia karena sakit, kami berasal dari kampung di sebelah bukit itu”, jawab anak itu dengan menunjuk salah satu gunung di bagian utara ibu kota kerajaan.

Suasana kembali hening. Sejumlah orang yang melintas di persimpangan jalan itu sempat melihat mereka berempat dengan tatapan penuh tanda tanya. Sementara itu anak tertua penjual ayam itu kembali melanjutkan ceritanya.

“Kami tinggal bertiga dengan ibu. Adikku ini sangat ingin menikmati makanan lepat dalam Megang menjelang bulan puasa ini sementara ibu kami tidak punya uang untuk membeli gula, tepung dan kelapa.

Itulah sebabnya saya berniat untuk menjual ayam kesayangan adik saya ini ke kota kerajaan”, jelasnya menahan isak.

Mendengar penjelasan itu Gelingang Raya sempat melirik kepada Basyar ayahnya. Matanya berkaca-kaca turut larut dalam kesedihan anak penjual ayam. Lalu kemudian ia mengambil seekor ayam jantan dari pelukan adik penjual ayak itu.

Basyar maklum arah dan maksud Gelingang Raya.

“Begini saja nak, kami akan membeli kedua ayam kalian ya”, kata Basyar.

Seketika kedua anak abang beradik penjual ayam itu sumringah. Keduanya terlihat kegirangan karena ayam yang mereka jajakan akhirnya terjual juga. Setelah harga disepakati dan Basyar menyerahkan uang anak tertua sempat berucap terimakasih berulang kali sambil mencium tangan Basyar. Beberapa saat kemudian keduanya pamitan dan berjalan menuju ke aras pasar kerajaan untuk membeli bahan-bahan untuk membuat lepat.

Bagi Gelingang Raya dan ayahnya kedua ekor ayam itu tidaklah sesuatu yang istimewa dalam Megang dan menyambut bulan puasa, karena di Bukit Gentala mereka punya ungas yang sama melebihi dari jumlah jemari sepuluh tangan.

Istimewanya ayam itu adalah mampu membuat anak manusia lain yang kurang beruntung turut bergembira menyambut bulan suci Ramadhan. [SY] Bersambung…

Baca Juga :

[Kisah] Putri Burung Mergah Dan Gelingang RayaBagian. 1

[Kisah] Putri Burung Mergah Dan Gelingang RayaBagian. 2

[Kisah] Putri Burung Mergah Dan Gelingang RayaBagian. 3

Comments

comments

No More Posts Available.

No more pages to load.