Manusia-Manusia Panik Di Dunia Media Sosial

oleh

Oleh: Husaini Muzakir Algayoni*

Manusia lugu memiliki banyak perasaan dan sedikit pengetahuan, kata Kahlil Gibran dalam karyanya Sang Pujaan. Dalam media sosial manusia panik memiliki banyak bicara dan sedikit pengetahuan (lidah tajam dan pikiran tumpul). Manusia panik ini sangat berisik dalam kehidupan dunia maya yang beralamat di media sosial dengan orasi-orasi provokator layaknya si perusak bernama Snouck Hurgronje yang merusak spirit kehidupan.

Kualitas kecerdasan Snouck tak perlu diragukan lagi, Snouck seorang antropolog dan orientalis berpengaruh di abad modern yang pakar dalam ilmu Islam, hanya saja Snouck adalah seorang perusak dari negeri Belanda untuk menghancurkan negeri jajahannya. Beda halnya dengan manusia-manusia panik di media sosial, manusia panik tersebut banyak bicara dan sedikit pengetahuan tapi merasa paling pintar, paling hebat sehingga mudah merendahkan orang lain dengan keminternya (so’/pura-pura pintar).

Manusia-manusia panik yang berisik ini membuat manusia disekitarnya terusik karena kepanikan yang ada dalam dirinya, kepanikan berasal dari hati yang gersang karena tidak disirami dengan spiritual atau akal yang sempit karena tidak diisi dengan pengetahuan-pengetahuan yang bergizi. Manusia panik tersebut lebih menyukai yang namanya pengetahuan-pengetahuan dengan nilai-nilai perusak seperti ilmu adu domba atau ilmu komunikasi dengan genre hoaks.

Dari manusia-manusia panik inilah lahir para penyebar hoaks untuk menenangkan hatinya yang sedang kacau, menyebarkan berita-berita bohong untuk mengelabui banyak orang. Apabila orang dalam posisi pikiran tumpul mudah sekali mempercayai yang namanya hoaks bahkan dia sendiri menyebarkan kembali informasi hoaks tersebut tanpa memverifikasi atau mencari kebenaran secara mendalam.

Manusia panik menshare informasi hoaks layaknya tukang sihir yang menipu. Asal kata , “hoax” diyakini ada sejak ratusan tahun sebelumnya, yakni “hocus” dari mantra “hocus pocus” yang artinya “ini adalah tubuh” frasa ini kerap disebut oleh pesulap, serupa “sim salabim.” Kata hocus awalnya digunakan oleh penyihir untuk mengklaim kebenaran padahal sebenarnya mereka sedang menipu. (Sahrul Mauludi: Socrates Cafe, 2018).

Kenapa manusia panik ini mudah mempercayai hoaks? Seperti yang penulis sebutkan di atas bahwa manusia panik ini sangat berisik dengan lidah-lidahnya yang tajam sementara akalnya tumpul, akal yang tumpul karena rendahnya budaya literasi, minat membaca tak diperkuat karena lebih mengutamakan gosip, bahan-bahan bacaan yang belum tentu benar adanya atau sebuah bacaan yang bersifat merusak dan memecah belah persatuan.

Selain mudah menshare informasi hoaks, manusia panik juga suka nyinyir di media sosial. Mengomentari sesuatu dengan bahasa-bahasa provokatif atau ujaran kebencian karena rasa iri hati atau dendam. Dengan nyinyir-nyinyir membuat suasana di  dunia media sosial begitu berisik dan sungguh berisik, keberisikan-keberisikan tersebut berubah saling menghina dan mencaci maki antar sesama hanya karena keegoisan yang ada dalam diri dan merasa paling benar sendiri.

Penulis pernah menginstrumen orang-orang yang suka nyinyir di dunia media sosial dengan memakai konsep dialektika Socrates yang berawal dari “rasa tidak tahu” seolah-oleh tidak tahu dengan mengajukan pertanyaan-pertanyaan hingga berujung pada debat. Apa yang terjadi? Orang yang suka nyinyir ini dengan lidah yang tajam dan akal yang tumpul dengan mati-matian menyalahkan orang tanpa rasa malu bahwa dirinya sendiri sedang berada dalam jalur yang salah dan penulis juga pernah membungkam beberapa orang yang menshare informasi hoax; tentu saja diawali dengan debat, hingga pada akhirnya dengan dialektika Socrates, orang yang menshare informasi hoax dengan seketika lansung menghapus apa yang disharenya.

Manusia-manusia panik ini juga sisusupi sifat-sifat fanatik aliran keras sehingga akalnya tumpul dengan pikiran-pikiran eksklusif fundamental aliran kanan, penulis menyebutnya dengan puritan (keras, kaku, kolot). Pikiran-pikiran seperti ini sungguh berisik di dunia media sosial karena akalnya yang tumpul hingga sulit dimasuki akal sehat. Maka tidak heran apa yang dikatakan Napoleon Bonaparte sungguh benar adanya, beliau mengatakan “Tidak ada ruang di kepala seorang fanatik yang bisa dimasuki akal sehat.”

Penulis menggunakan metode Socrates karena terinspirasi dari Socrates ketika membungkam orang-orang sofis, pada zaman Yunani Kuno atau 4 SM pernah lahir orang-orang sofis (Sofis adalah orang sombong yang merasa mengerti apa saja dan ahli dalam kemahiran berbahasa/pidato untuk melakukan maksud-maksud jahat). Ketika Socrates berhasil membungkam orang sofis, Socrates difitnah telah meracuni pikiran anak-anak muda Yunani hingga berujung pada kesyahidan atas ulah orang-orang sofis.

Praktik-praktik manusia panik yang telah disebutkan di atas bukanlah suatu perbuatan yang layak dijadikan sebagai contoh atau panutan, apabila sudah menjadi kebiasaan (perbuatan yang selalu diulang-ulang sehingga menjadi mudah dikerjakan). Oleh karena itu, perlu kiranya untuk dirubah dari kebiasaan-kebiasaan yang jelek kepada kebiasaan-kebiasaan yang baik sehingga bisa bermanfaat untuk diri sendiri dan pada khalayak ramai.

Mengobati manusia-manusia panik menjadi manusia-manusia sejuk dan damai dengan memperbanyak muhasabah atau instropeksi diri bahwa kita sendiri banyak melakukan kesalahan karena yang namanya manusia tidak ada yang sempurna, meningkatkan budaya membaca agar pikiran bisa tajam dan menumpulkan lidah karena diam kerap lebih terdengar daripada bicara serta menumbuhkan rasa cinta antar sesama sehingga mematikan keegoisan yang ada dalam diri.

Akhir dari tulisan ini, marilah sejenak merenungkan untaian kata mutiara dari Gus Mus agar tidak menjadi manusia-manusia panik. Gus Mus mengatakan bahwa “Manusia ditunjuk sebagai wakil Tuhan di muka bumi, semestinya harus mempunyai sifat-sifat ketuhanan, seperti pengasih dan penyayang, bukan malah saling memusuhi dan bertikai. Marilah kita selalu menjaga kemanusiaan dan kehambaan kita, agar kita tetap dimuliakan dan dikasihi Tuhan kita.” Nah!

*Penulis: Kolumnis LintasGAYO.co

Comments

comments

No More Posts Available.

No more pages to load.