[Kisah] Putri Burung Mergah Dan Gelingang Raya Bagian. 2

oleh

Diceritakan kembali oleh:
Aman Renggali

KEYAKINAN serta pilihan Basyar dan Hayya telah bulat. Menikah. Meski dengan pengorbanan yang tidak biasa seperti layaknya sepasang pengantin baru yang diriuhkan oleh pesta, hidangan makanan, ucapan selamat dan bingkisan kado.

Setidaknya mereka menganggap bahwa hukuman Parak itu sebagai “bulan madu” panjang. Sehingga keduanya mempunyai banyak kesempatan untuk bercermin pada pepatah Gayo yang menyatakan “mulewen reje sempit denie, mununung até lapang kekire” (melawan raja sempit dunia, mengikuti kata hati ikhtiar/pikiran menjadi terbuka).

Tidak cukup sampai disitu, Basyar dan Hayya menyadari sepenuhnya akan ada lanjutan hukum Parak yang mereka jalani dalam berumah tangga. Sebagaimana yang mereka dengar dari para petua adat sesaat sebelum ijab kabul dilangsungkan.
“Bentuknya bisa berupa apa saja, atau sesuatu peristiwa yang kejadiannya diluar akal manusia”, kata seorang lelaki tua dalam majlis munakahat itu.

“Bisa berupa kebaikan dan juga dapat berupa keburukan. Dari itu cucu-cucuku yang akan menjadi pengantin, baik-baiklah dalam menjalani hidup berkeluarga. Semoga hukum lanjutan dari hukum adat ini akan juga menjadi kebaikan bagi kalian dan kita semua”.

Seisi ruangan yang turut menjadi saksi dalam acara ijab kabul itu serentak mengucapkan kata “amin”, sebagai pengharapan semoga Allah SWT akan mengabulkan doa terakhir dari petua adat itu.

Masing-masing mereka yang hadir seolah sudah faham dan maklum hukum lanjutan apa yang sudah pernah terjadi bagi mereka yang melanggar adat Parak. Mereka juga saling merahasiakan satu sama yang lainnya, karena kisah ini adalah mitos, segala sesuatu dapat terjadi, pohon dan batupun dapat berbicara layaknya manusia. Inti pesan adat itu adalah bahwa perbuatan baik yang dilakukan dengan tulus akan membuahkan sebuah kebaikan baru, dan itu dapat menutup keburukan lama.

Oleh ibunya, Hayya dibekali “tempah” berupa sehelai tikar pandan yang dianyam dengan tangannya sendiri, seperangkat kebutuhan dapur, periuk, panci, piring, sendok, gelas, kuali, belanga. Selimut bantal sebuah Alquran serta mukena dan kain sarung. “Tempah” adalah pemberian dari orang tua kepada anaknya yang baru menikah sebagai bekal dalam membangun rumah tangga.

Dalam adat dan budaya Gayo bentuk pemberian “tempah” terkadang berupa uang, tanah sawah, tanah perkebunan dapat juga berupa binatang ternak jika berasal dari keluarga yang berada. Tidak jarang juga berupa alat-alat pertanian seperti parang, cangkul dan lain-lain.
Bagi Hayya “tempah” pemberian ibunya untuk memulai hidup baru lebih dari cukup. Kedua orang tuanya bukanlah orang berada. Hayya dibesarkan diantara pelataran sawah dan dua petak kolam ikan.

Sejak kecil sudah disuguhi arti dan konsekwensi sebuah pilihan, kekayaan kasih sayang dan tanggungjawab. “bierpé kaya emas gere musampé, ike kaya até bewené ara” (meski kaya emas/ harta tidak tergapai, tetapi dengan kekayaan hati semua kebutuhan akan tersedia), filsafatnya.

“Terima takdir dan pilihan hidupmu, jangan mengeluh !”, nasehat ibu Hayya sesaat sebelum anaknya meninggalkan rumah ke “pengasingan”.

Hayya menangis sejadi-jadinya. Bahkan terkadang terdengar seperti sebuah nyayian elegi. Menangis sambil berucap dengan kata-kata perpisahan. “Sebuku”.
Cinta telah mengalahkan hukum manusia. Hukum adat yang dipatuhi dan diagungkan oleh seisi kampung. Ditegakkan turun temurun berpuluh-puluh tahun, dari kisah asmara ke riwayat rumah tangga.

Kemudian keduanya saling berpelukan menumpahkan tangis, mengalirkan air mata. Bahu kiri Hayya dan bahu kanan ibunya basah. Mata keduanya lembab kecoklat-coklatan. Saling mengikhlaskan, karena sebuah pilihan telah ditetapkan dan sebuah hukuman telah diputuskan.

Bukit Gentala menjadi pilihan, lalu villa cintapun berdiri mengadaptasikan arsitektur bangunan dengan alam sekitar yang asri.

Pada tahun-tahun pertama dan kedua, dari dalam bangunan rumah panggung itu setiap malam terdengar suara lelaki dewasa melantunkan kitab suci dengan khusuknya. Pada tahun ketiga hingga seterusnya suara pengajian ayat-ayat Alquran terdengar saling bersahut antara dua orang yang berbeda. Bahkan terkadang seperti sebuah koor dengan dua jenis suara dari kelamin yang berbeda. Suara suami istri Basyar dan Hayya.

Pada kegelapan malam, rumah itu tak pernah sepi dari bacaan-bacaan yang meneduhkan Bukit Gentala. Sayup menyusup ke lingkungan hutan dan lembah, flora dan fauna seolah menyimak dan mengamini setiap huruf yang dilafalkan hingga nyaris tak terdengar ada suara hewan malam yang menyelanya.

Memasuki tahun keempat, dari dalam rumah panggung itu suara pengajian terdengar bertambah menjadi tiga jenis suara. Suara lelaki dan perempuan dewasa serta suara seorang bocah yang masih terbata-bata mengeja “kul ‘auzdu birabbinnaas-malikinnas-illahinnas-minsyarril waswisu fisu durinnasi-minal jinnati wannas”. Suara dari mulut bocah sang jantung hati belahan jiwa, Gelingang Raya.

“Ayo dibaca !”
“ul azu binnas….!”
“Emmm, ulang lagi yang benar. Ini kan ada huruf kaf-nya pertama, terus huruf ra huruf ain kan, coba dibaca lagi Win !”
“kul ‘auzdu birabbinnaas…!”
“Nah itu baru benar, pintar. Sekarang diulang lagi bacaannya hingga lancar dan selesai ya !”, ucap Basyar sang ayah memuji anaknya.

Kehadiran suara ketiga dalam pengajian setelah magrib itu cukup membuat Basyar dan Hayya melupakan hukuman Parak yang mereka jalani. Yang telah menjauhkan mereka dari ramainya kota Tampon dan kampung tanah kelahiran. Mereka justru merasa tidak sedang menjalani hukuman adat, melainkan sedang membangun sebuah peradaban baru dalam keterasingan yang damai.

* * *
Di sekeliling rumah panggung itu ditanami dengan berbagai macam jenis tanaman. Mulai dari sayur-mayur hingga pohon-pohon yang menghasilkan buah-buahan seperti alpukat, kewe (kopi), pepaya, nangka, kesemak, petai cina dan berbagai jenis bunga yang tidak tumbuh di banyak tempat dan sembarang tanah.

Sebagai anak petani, Gelingang Raya sangat suka menanam sayur-mayur dan tumbuhan lain, juga memetik kewe yang sudah memerah seperti kedua orang tuanya lakukan pada setip musim panen tiba.

Ketika berumur empat tahun ia sudah mahir menanam tanaman dengan baik, termasuk menanam satu batang pohon tidak jauh dari halaman rumahnya yang menghadap ke sebelah barat. Batang pohon itu namanya pohon Geluni.

Seiring berjalannya waktu, pohon Geluni dan Gelingang Raya-pun tumbuh dan besar di atas bukit Gentala. Pohon Geluni tumbuh lebih cepat dari usia dan badan Gelingang Raya, daun ranting dan batangnya kian subur dan meninggi melampaui sang penanamnya.

Pohon Geluni tumbuh dengan daun yang sangat lebat sehingga kita dapat berteduh di bawahnya jika matahari sedang terik. Ada sepasang kursi antik dari potongan akar kayu gerupel disana. Posisi kedua kursi tersebut saling berhadap-hadapan dengan meja dari cabang Geluni yang melengkung ke bawah, dua bilah bambu melintang pada bagian belakang atasnya sebagai tempat bersandar, diikat segi tiga dengan belahan rotan hutan berwarna hijau tua. Sementara pada bagian bawahnya terdapat susunan tak beraturan batu kali berwarna kebiru-biruan menutupi permukaan tanah sebagai tempat kaki menjejak.

Inilah tempat terpavorit bagi Basyar dan Hayya menikmati gorengan pisang dan kewe hitamnya pada setiap senja hari, sebuah tempat di Bukit Gentala yang tak mungking mereka lupakan hingga mati. Tempat menyemai dan memupuk cinta sejati.

Dari bawah pohon Geluni yang ditanam sang buah hati ini tampak hamparan persawahan penduduk terlihat luas membentang, yang di sisi timurnya mengalir air sungai berkelok-kelok dan memanjang.

Keduanya duduk santai di kelilingi rekah warna-warni bunga disiram bias warna oranye pantulan matahari tenggelam, sesekali tersenyum dan tertawa-tawa geli menyaksikan kelucuan dan keluguan anaknya Gelingang Raya bermain dengan menggelindingkan serta melempar butiran-butiran buah kemiri tua.

Burung-burung penyuka buah dan biji Geluni tak ada yang mendekat, satwa bersayap itu hinggap dan bertengger di dahan kayu yang berjauhan. Seolah sedang menunggu antrian dari sang pemilik taman. [SY] Bersambung…

Baca Juga : [Kisah] Putri Burung Mergah Dan Gelingang Raya Bagian. 1

Comments

comments

No More Posts Available.

No more pages to load.