Mendidik Generasi Z, Sudah Siapkah?

oleh

Oleh: Qusthalani*

Secara etimologi generasi Z merupakan generasi zaman now. Namun, secara teori yang lebih mendalam generasi Z bisa diartikan sebagai generasi yang dekat dengan teknologi. Generasi ini begitu nyaman dan hidup berdampingan dengan teknologi atau biasa juga disebut dengan Let’s say technology.

Generasi Z sedikit berbeda dengan generasi milenial, dimana perbedaaan ini terletak pada kurun waktu kelahiran atau hidup seseorang. Berdasarkan teori generasi yang dikemukakan Graeme Codrington & Sue Grant-Marshall, Penguin, (2004), “Generasi Z, lahir 1995-2010 (disebut juga iGeneration, GenerasiNet, Generasi Internet) Generasi tersebut memiliki perbedaan pertumbuhkembangan kepribadian.

Life style dengan internet adalah ciri khasnya, abad 21 merupakan rumah bagi generaasi tersebut. Hal ini bisa dilihat dari data penggunan internet dari sebuah penelitian yang dilakukan Tetra Pak Index (2017) yang belum lama diluncurkan, mencatatkan ada sekitar 132 juta pengguna internet di Indonesia. Sementara hampir 90% atau 130 juta adalah penggila media sosial. Jumlah ini mengalami kenaikan dibandingkan tahun lalu sebesar 51% atau sekitar 45 juta pengguna, diikuti dengan pertumbuhan sebesar 34% pengguna aktif media sosial. Sementara pengguna yang mengakses sosial media pada medio 2018, melalui mobile berada di angka 39%. Setiap per 60 detik 571 chanel baru dibuka, 141 ribu postingan di facebook, 271 ribu mentwit dan lebih dari 2 juta membukan search engine (www.qmee.com).

Tidak dapat dipungkiri gen Z adalah generasi paling aktif internet, yang sudah menjadikan dunia maya menjadi dunianya saat ini. Kehidupan abad 21 yang menjadikan penghuni bumi semakin pasif, karena semua ketersediaan sudah ada dalam satu genggaman. Dunia mau tidak mau harus menghadapi generasi ini. Saat generasi milenial menua dan generasi Z mulai dewasa.

Internet sudah menjadi sesuatu (internet of things) atau bisa disebut dengan IoT. Konsep perangkat yang mampu mentransfer data tanpa perlu terhubung dengan manusia, melainkan internet sebagai medianya. Sederhananya manusia tidak perlu mengontrol benda/perangkat IoT tersebut secara langsung, melainkan manusia bisa mengontrol benda tersebut dari jarak jauh dengan gawe masing masing.

Revolusi tatanan dunia tersebut disebut juga dengan Revolusi industri 4.0, dimana jaringan tanpa batas menjadi obyek utama dalam melakukan aktivitas sehari-hari.

Salah satu konsep dalam revolusi industri 4.0 yaitu data setiap benda disajikan secara digital dan bisa diakses kapanpun. Misal, barang-barang retail yang discan kode QR-nya tak hanya menunjukkan harga seperti yang ada sekarang ini, tapi juga kandungan, proses pembuatan, jumlah kalori untuk makanan, dan semua informasi lain.

Prinsip dasarnya, semua benda disajikan dalam bentuk data digital. Lalu data itu diproses untuk membuat suatu pola kerja atau rencana bisnis dan pada akhirnya akan digunakan untuk mengubah pola manusia dalam melakukan suatu hal.

Dampak Generasi Z 

Perubahan aktivitas yang lebih efektif dan efisien sudah terjadi tanpa disadari. Manusia bahkan memuja perubahan ini sebagai liberator yang akan membebaskan mereka dari kungkungan kefanaan dunia. Iptek diyakini akan memberi umat manusia kesehatan, kebahagiaan dan imortalitas. Sumbangan tersebut terhadap peradaban dan kesejahteraan manusia tidaklah dapat dipungkiri.

Dampak yang akan terjadi akibat revolusi industri tersebut diatantara, Mari Elta Pangestu (2018) menyatakan bahwa keberadaan “Industri 4.0” dapat mengubah rantai nilai perusahaan untuk menghasilkan produk atau jasa, menghasilkan alternatif berdagang melalui perdagangan elektronik (electronic commerce/e-commerce), menyediakan cara pembayaran baru melalui uang elektronik, serta mempengaruhi pelayanan publik melalui “e-government”.

Diprediksikan 40-60 persen pekerjaan akan hilang di Asia Tenggara, kawasan yang masih memiliki keunggulan komparatif dalam jumlah demografi dan upah buruh.

Itu sudah terjadi di Indonesia, dimana puluhan ribu buruh terancam pecat dengan aktifnya e-toll (www.cnnindonesia.com, 2018). Pengusaha mall gelisah dengan menjamurnya toko online (detik.com, 2018). 48.000 kantor bank di Uni Eropa tutup karena nasabah sudah beralih ke transaksi online (kompas.com, 2017).
Lalu bagaimana dampak terhadap pendidikan ?.

Tejadinya transformasi dunia kerja, juga berpengaruh terhadap sistem pendidikan. Lapangan kerja yang sudah digantikan oleh mesin dan teknologi, transformasi pendidikan pun tak bisa di hindari.

Pendidikan sudah dimaknai lebih luas dan lebih esensial. Pendidikan tak lagi hanya sebatas didalam kelas, berceramah dan mendikte siswa. Pembelajaran sekarang bisa dimana saja, kapan saja dan dengan siapa saja. Sekolah hanya sebagai tempat formal untuk meraih sebuah pengakuan. Namun harus dipahami, sebuah materi dan sebuah teori tak lagi hanya dalam ruang kelas saja.

Kurikulum pendidikan juga mengalami pergeseran, semua berbasis education techonology di mana proses belajar mengajar sudah terintegrasi satu sama lain. Baik dari siswa, guru, sekolah, orangtua, dan stakeholder lainnya. Media pembelajaran yang digunakan sudah lebih modern.

Peran Digital Edu Dalam Pendidikan 

Kita telah mengetahui bersama, sistem pendidikan kita telah mengalami perubahan beberapa kali. Namun, belum juga mampu mendobrak sistem tatanan dunia ketika menghadapi Revolusi Industri 4.0. Pendidikan yang terlalu banyak bersifat teoritis, tanpa mengajak anak didik berpikir menyelesaikan suatu permasalahan secara nyata. Padahal pemerintah dalam hal ini Kemdikbud telah mengeluarkan Permen No 23 Tahun 2016, tentang Standar Penilaian. Artinya ketika standar penilaian pendidikan telah diarakan ke arah High Order Thinking Skill (HOTS), secara tidak langsung pembelajaran yang dilaksanakan oleh pendidik pun harus sesuai dengan HOTS skill tersebut.

Kenapa itu penting ?. Mari kita perhatikan, dua tahun sudah aturan tersebut dikeluarkan, lalu sejauhmana sudah perubahan yang terjadi pada anak bangsa ini. Bagaimana dengan pendidikan di negeri Aceh itu sendiri.

Penulis mau memberikan sedikit data terkait hal itu. Olimpiade Sains Nasional, Indonesia malah Aceh tak pernah absen mendapatkan medali ditingkat Nasional maupun Internasional. Lalu, sejauhmana mereka mampu menyelesaikan permasalahan bangsa ini.

Berapa banyak industri kreatif yang telah mereka ciptakan. Berapa banyak sudah ilmuan yang telah lahir dari rahim negara tercinta ini. Jauh dari suatu harapan pendiri bangsa.

Belum lagi kita berbicara terhadap generasi Z, harus mampu berkompetisi secara global. Kita tak menyadari bahwa telah terjadi perubahan cara pandang terhadap pendidikan. Tak hanya mengajar, tetapi lebih esensial yaitu menyiapkan pendidikan yang berkualitas dan siap menghadapi persaingan yang lebih kompetitif. Disinilah peran teknologi untuk mengimbangi cara pandang generasi Z dalam setiap lini kehidupan untuk selalu belajar.

Cara pandang sekolah sebagai pabrik bukan cara pandang yang sesuai untuk pendidikan saat ini. Di dalam sistem produksi, tidak mengenal peran emosi.

Mesin, sistem produksi, dan produk adalah hal-hal aktif, sedangkan emosi adalah sesuatu yang pasif. Sedangkan dalam dunia pendidikan kedua hal ini harus seimbang dan setara untuk selalu disejajarkan.

Indonesia secara umum telah menggunakan smarphone maupun teknologi digital lainnya dalam sistem pendidikan. Namun, Aceh teknologi seperti sesuatu hal yang tabu. Hape seakan barang haram, tak boleh disentuh sedikitpun. Ketika pelbagai penjuru dunia berlomba-lomba mengembangkan dan bekerjasama dengan lembaga teknologi, negeri kita masih vakum mengarahkan pendidikan ke arah yang masih abu-abu. Kurikulum pendidikan masih uji coba, pelatihan yang dilaksanakan masih sebatas pemantapan kurikulum, kurikulum dan terus saja kurikulkum yang sama. Tanpa ada perubahan yang signifikan.

Teknologi harus bisa diarahkan ke yang lebih sehat, bukan malah menghindar. Perkembangan teknologi tak bisa dibendung. Dalam pendidikan, teknologi sudah bisa di integrasikan dalam pembelajaran yang seutuhnya. Teknologi bukan hanya sebagai media dalam kelas saja, tetapi lebih dari itu.

Pembelajaran dalam pendidikan 4.0 saat in ibisa dilakukan secara maya. Mulai menyampaikan materi secara video conference, sampai dengan evaluasi bisa dilakukan tanpa harus tatap muka.

Implementasi model pembelajaran berbasis web dan internet, mendukung penerapan regulasi (baru) terkait model dan strategi pembelajaran yang sesuai dengan revolusi industri 4,0, mengelola sistem informasi pendidikan terbaru dan termutakhir, melakukan evaluasi dan analisis masalah proses dan hasil pembelajaran. Disinilah peran digital edu dalam sistem pendidikan untuk menghadapi revolusi industri 4.0

Menyiapkan Guru Generasi Z 

Lalu apa yang harus dilakukan oleh pendidik bangsa ini diera revolusi industri 4.0 !. Pendidik harus mampu menyiapkan anak didik berkompetisi secara global pada abad 21 ini. Oleh karena itu, profesi guru juga semakin kompetitif. Jangan sampai anak didik kita nantinya menjadi “Buya krueng teudeung-deung, dan buya tameung meuraseki”.

Setidaknya terdapat lima kualifikasi dan kompetensi guru yang dibutuhkan di era 4.0. Kelimanya meliputi:
1. Educational competence, kompetensi mendidik/pembelajaran berbasis internet of thing sebagai basic skill di era ini;
2. Competence for technological commercialization, punya kompetensi membawa siswa memiliki sikap entrepreneurship (kewirausahaan) dengan teknologi atas hasil karya inovasi siswa;
3. Competence in globalization, dunia tanpa sekat, tidak gagap terhadap berbagai budaya, kompetensi hybrid, yaitu global competence dan keunggulan memecahkan problem nasional;
4. Competence in future strategies, dunia mudah berubah dan berjalan cepat, sehingga punya kompetensi memprediksi dengan tepat apa yang akan terjadi di masa depan dan strateginya, dengan cara joint-lecture, joint-research, joint-resources, staff mobility dan rotasi, paham arah SDG’s, dan lain sebagainya.
5. Conselor competence, mengingat ke depan masalah anak bukan pada kesulitan memahami materi ajar, tapi lebih terkait masalah psikologis, stres akibat tekanan keadaan yang makin komplek dan berat.

Pendidik juga setidaknya harus mampu menyiapkan anak didiknya menghadapi empat hal:
1. Menyiapkan anak untuk bisa bekerja dalam dunia ekonomi kreatif;
2. Menyiapkan anak untuk bisa menyelesaikan masalah dalam lingkungan sekitarnya;
3. Menyiapkan anak untuk bisa menggunakan teknologi yang selalu mengalami perkembangan;
4. Menyiapkan karakter anak didik untuk dapat menggunakan teknologi secara sehat.

Penyelenggara pendidikan setidaknya dapat menempuh beberapa kebijakan dalam menghadapi hal ini, yaitu:
1. Pendidikan dan pelatihan yang diselenggarakan diarahkan ke pemanfaatan IT dalam pembelajaran;
2. Menyediakan sarana dan prasarana untuk mendukung pendidikan 4.0;
3. Mengadakan sosialisasi internet sehat bagi peserta didik.
4. Menyelenggaraka pelatihan secara efektif, efisien dan kreati demi menyongsong pendidikan 4.0

Pekerjaan rumah yang sangat berat bagi pendidik dan stakeholder lainnya. Tugas yang harus terus dilakukan untuk menyiapkan generasi masa depan yang memiliki daya saing dan kompetitif. Ketika pendidik dan pengambil kebijakan sudah paham akan revolusi industri 4.0, maka mendidik generasi Z bukanlah hal yang mustahil.Semoga!

*Qusthalani, S.Pd, M.Pd, Ketua Ikatan Guru (IGI) Kabupaten Aceh Utara, Guru SMAN 1 Matangkuli Aceh Utara.

Comments

comments

No More Posts Available.

No more pages to load.