Tsunami Menyadarkan Pentingnya Perdamaian Aceh

oleh
Fauzan Azima (jongkok, tengah)

Oleh : Fauzan Azima*

Keberadaan Muallim Muzakkir Manaf di Bukit Rebol, Kecamatan Bandar, Kabupaten Bener Meriah telah terendus oleh TNI/Polri. Sehingga terjadi penyerangan besar-besaran di daerah tersebut dari segala penjuru.

Tidak ada jalan lain, kecuali kami harus berpindah tempat. Sebelum menuju Wilayah Bateilek, kami bergeser dan menginap semalam di seputaran Kampung Gresek, Kecamatan Bukit.

Esok harinya pagi buta, kami mulai bergerak ke arah Bateileek sejumlah 8 orang; Muallim beserta pasukannya; Husaini Pranko, Ayah Ija Krung dan Aneuk Labu, serta pasukan saya beserta pasukan; Wakil Panglima wilayah Linge, Teungku Halidin Gayo, Teungku Sabri Bedel dan Teungku Yahya Nakir.

Selama tiga hari dalam perjalanan kami tidak melewati jalan biasa, tetapi kami rintis sendiri atas petunjuk Abu Ibrahim Woyla, Abu Tumin Blang Bladeh dan Apa Cut Lancuk yang selalu berhubungan dengan Muallim.

Setelah tiga hari dalam keadaan haus dan lapar karena kami hanya membawa beras dua liter dan dua bungkus roti Marie yang setiap istirahat dibagi oleh Muallim masing-masing satu lempeng. Meskipun Muallim membawa roti tersebut, tetapi beliau tidak pernah makan sendiri, kecuali makan bersama. Beras dua liter kami buat bubur.

Dalam perjalanan di tengah hutan belantara, kami makan buah rotan yang rasanya kelat dan asam. Saya melihat Muallim pun mengumpulkan buah rotan tersebut ke dalam tas ransel warna merahnya.

Syukurlah selama perjalanan kami selalu hujan deras sehingga bekas-bekas kami hilang oleh rintik air hujan sehingga kami tidak khawatir kalau ada musuh yang mengikuti jejak kami.

Pada hari kedua perjalanan kami diserang dan dibom dengan pesawat jenis Bronco, tetapi bomnya jatuh sekitar 200 meter dari kami. Kiranya itulah serangan terakhir melalui udara.

Pada hari ketiga, kami bertemu dengan pasukan Komandan Operasi Wilayah Bateileek, Teungku Syaiful Cage. Kami serahkan Muallim kepada beliau dengan penuh haru. Muallim memberikan senjata kesayangan AK 56 kepada Teungku Halidin Gayo.

Sejak saat itu kami berpisah dengan Muallim yang kemudian dalam pengawalan Pasukan Syaiful Cage, sedangkan kami menuju Alue Gatai, Matang Geulumpang Dua, pasukan GAM Daerah III, Wilayah Linge sudah lebih dulu berada di sana.

Sekitar satu minggu kami di Alue Gatai, terjadi lagi pengepungan besar-besaran oleh TNI/Polri yang semula di daerah Rebol, Bener Meriah mulai bergeser ke hutan-hutan antara Matang Geulumpang Dua dan Krueng Simpur karena mereka mencurigai bahwa Muallim berada di Wilayah tersebut.

Pagi hari Ahad, 26 Desember 2004, kami sadar keberadaan kami sedang dikepung, jarak TNI yang mengendap dari kami hanya berjarak 200 meter. Posisi kami semua tiarap menunggu letusan senjata.

Sejak pagi sudah beberapa tempat terjadi kontak senjata. Kami pun menunggu giliran kontak senjata dengan cemas. Bahkan kami sudah pasrah karena tidak mendiskusikan lagi kalau terjadi kontak ke araha mana akan lari karena hampir semua jalan keluar sudah dikepung.

Tiba-tiba terdengar seperti suara bom dan bumi mulai bergoncang dengan kuat sehingga batang kayu besar berayun-ayun sampai 45 derajat. Saya menatap wajah-wajah pasukan yang dekat dengan saya, semua pucat.

“Ama, dunia sudah kiamat,” kata Teungku Yahya Nakir.

Kami tidak peduli lagi dengan kepungan musuh, semakin kencang goncangan gempa, semakin keras kalimat tahlil “Lailahaillallah” dari masing-masing mulut kami.

Dari pematang bukit Alue Gatai kami melihat jelas arah gempa dari barat menuju ke arah timur. Hutan-hutan terlihat seperti gelombang dan di laut kami mendengar ledakan-ledakan kencang.

Setelah gempa berlalu, kami melihat TNI yang mengepung kami tidak jadi menyerang dan kembali pos-pos mereka di daerah Keude Matang.

Kami tidak tahu apa yang terjadi sesungguhnya karena Handphone tidak ada signal dan radio pun tidak ada siaran. Esoknya pada hari Senin baru kami tahu dari masyarakat kampung Blang Mane, kampung yang terdekat dengan Alue Gatai bahwa terjadi tsunami dan banyak korban meninggal di seluruh pantai Aceh.

Waktu demi waktu kami mengikuti perkembangan tsunami, tetapi kami tidak gegabah mengambil tindakan kecuali menunggu perintah dari Muallim Muzakkir Manaf.

Saya kira peristiwa tsunami Aceh yang dahsyat telah menyadarkan kita, seluruh rakyat indonesia, khususnya rakyat Aceh untuk berdamai.

(Mantan Panglima GAM Wilayah Linge, Mendale, 26 Desember 2018)

Comments

comments

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

No More Posts Available.

No more pages to load.