Merajut Entitas Gayo; Upaya Perlindungan Budaya Gayo dari Kepunahan

oleh

Oleh: Darmawansyah*

Berbicara gayo, tidak semua orang akan mengetahui tentang gayo walaupun sebagain peneliti baik luar ataupun dalam telah mencatat dan menulis tentang gayo. Sebagai suku bangsa yang mendiami pedalaman Provinsi Aceh merupakan suku yang masih menjadi misteri dikalangan umat manusia tentang kapan dan dari mana asal mereka, walaupun penelitian arkeologi beberapa tahun terakhir sedikit memberikan gambaran tentang asal-muasal suku Gayo.

Peningkatan minat akan pencarian jati diri suku Gayo telah menjadi term yang patut untuk diacungi jempol dan diberikan motivasi agar pencarian jati diri ini tidak putus di tengah jalan. Dasar motivasi dalam melakukan pengkajian dan penelitian tentang Gayo tersebut berasal dari keilmuan dan keahlian yang berbeda, hingga menghasilkan output dan outcome yang berbeda pula.

Sebagai salah satu suku bangsa, Gayo telah banyak memberikan sumbangsih atas perjuangan Islam di Aceh sebagai upaya perlawanan atas pemerintahan asing yang berkeinginan menduduki Aceh dan Negara Kesatuan Republik Indonesia dari kolonialisme penjajah Belanda dan sekutunya. Perjuangan masyarakat gayo tidak terbilang akan peran dan upayanya membantu menegakkan Negara Kesatuan Republik Indonesia dari penjajah, hingga peran penting Radio Rimba Raya dalam mempertahankan Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Seiring berjalannya waktu, kehidupan sosial masyarakat terus berubah dan mengikuti perkembangan zaman. Sepanjang itu pula terkikisnya entitas budaya suatu suku bangsa menjadi hal yang tidak dipungkiri akibat dari pengaruh kolonilisme serta perkembangan pengetahuan dan teknologi, kehidupan masyarakat heterongen dengan berbagai latar belakang budaya yang berbeda juga mempengaruhi budaya lokal. Hal ini juga terimbas pada Suku Gayo sebagai suku yang mendiami dataran tinggi di Provinsi Aceh.

Bencampurnya latar belakang budaya masyarakat di gayo khusunya di Kabupaten Aceh Tengah menunjukkan pergeseran budaya yang terlihat dengan nyata. Sebagian budaya masih dipertahankan namun sebagian yang lainnya hilang dan tidak berfungsi lagi dikalangan masyarakat gayo. Budaya besinte terutama sinte murip masih dipertahankan di beberapa wilayah dengan aktivitas-aktivitas ritual budayanya, namun disebagian tempat lainnya hanya tersebut nama saja namun aktivitas dari budaya tersebut tidak terlihat dengan jelas. Alasan-alasan tertentu menjadi dasar ‘dihilangkannya’ aktivitas budaya tersebut (alasan agama dan alasan sosial lainnya).

Tidak hanya budaya sinte murip yang terpengaruh akan perubahan budaya yang mencolok, budaya yang terikat akan kehidupan akhlak sosial merupakan budaya yang hilang sama sekali dari peredarannya. Sumang merupakan salah satu budaya gayo yang telah hilang dari masyarakat. Pola pendidikan akhlak ini tidak lagi diketahui masyarakat apalagi dijalankan sebagai sistem budaya yang mengikat hubungan antar masyarakat dari prilaku maksiat dan tercela sebagai penganut agama Islam yang taat.

Dari dua budaya gayo tersebut yang terkikis oleh perubahan kehidupan sosial masyarakat gayo dewasa ini, masih terdapat beberapa budaya yang hilang tak berwujud dari lingkungan masyarakat gayo. Hilangnya beberapa budaya yang menjadi identitas kesukuan mengakibatkan hilangnya jati diri suatu suku bangsa, karena indentitas suatu suku bangsa terletak pada identitas kesukuannya yang tidak lain adalah budaya itu sendiri.

Upaya pelestarian budaya menjadi salah satu program yang perlu dicanangkan dalam rangka melindungi budaya dari kepunahannya, berbagai macam cara dapat dilakukan baik oleh Pemerintah Daerah maupun oleh masyarakat. Pemerintah Republik Indonesia telah memberikan lampu hijau kepada Pemerintah Aceh untuk melestarikan nilai budaya sebagai salah satu keistimewaan Provinsi Aceh melalui Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 44 tahun 1999 Tentang Keistimewaan Aceh.

Pelestarian budaya ini tidak hanya terpaku pada satu suku saja di wilayah Aceh namun mencakup nilai budaya seluruh suku bangsa yang mendiami Provinsi Aceh secara keseluruhan.

Selain dari pada itu, lembaga pendidikan juga telah diberikan peluang untuk melestarikan nilai budaya suatu suku bangsa sebagai upaya pelestarian nilai kearifan lokal dan keunikan suatu suku bangsa. Lahirnya Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 79 Tahun 2014 Tentang Muatan Lokal Kurikulum 2013 adalah salah satu upaya dalam melestarikan budaya tersebut.

Terbitnya dua peraturan Pemerintah di atas dapat menjadi rujukan bagi masyarakat Kabupaten Aceh Tengah baik pemerintah maupun masyarakatnya dalam melestarikan budaya Gayo sebagai warisan nenek moyang yang patut untuk dilindungi dan dipertahankan. Melihat terkikisnya nilai budaya dari masyarakat gayo adalah sesuatu yang patut untuk diperhatikan bersama baik dari kalangan pemerintah dan juga masyarakat Gayo sebagai pemilik sah budaya Gayo tersebut. Berbagai macam cara dapat dilakukan dalam melestarikan budaya gayo sebagai warisan nenek moyang yang memiliki nilai estetika dan filosofis dan juga sebagai entitas sebuah suku bangsa.

Pembentukan desa budaya adalah salah satu upaya dalam melestarikan nilai budaya tersebut, dimana desa budaya ini sebagai icon masyarakat budaya yang menjalankan nilai-nilai budaya gayo dengan segala aktivitas-aktivitasnya. Penetapan desa budaya juga harus melihat kondisi lingkungan yang mendukung sebagaimana layaknya sebuah wilayah adat yang menjunjung tinggi nilai-nilai budaya. Sudah barang tentu, desa budaya adalah desa dan bukan perkotaan sebagaimana desa-desa adat yang terdapat di provinsi Nusa Tenggara Timur dan beberapa Provinsi lainnya yang tetap menjalankan kehidupan budaya sebagaimana laiknya masyarakat adat suatu daerah.

Penyesuain masa (kondisi) merupakan salah satu yang patut untuk diperhatikan. Tidak mungkin di zaman modern saat ini kondisi desa budaya kembali pada zaman purba sebagaimana dahulu nenek moyang masyarakat Gayo menjalankan kehidupan adat istiadatnya. Desa budaya adalah desa yang menjalankan aktivitas budaya terutama budaya Gayo seperti budaya saat anak lahir (turun mani/i jule ku wih), pendidikan (i serahen ku tengku guru), menikah (mungerje dengan berbagai aktivitas budayanya), hubungan sosial (penerapan nilai-nilai budaya sumang), menjalankan fungsi sarak opat sebagaimana mestinya dan budaya-budaya lainnya.

Sebagai wilayah syari’at penyesuaian nilai-nilai budaya terhadap nilai syari’at adalah sesuatu yang patut untuk dilakukan agar tidak menjadi momok dikalangan masyarakat (terutama pemahaman agama) yang berpikiran bahwa ini syirik dan itu bid’ah. Sebagai landasan dari pelaksanaan budaya yang berkait dengan syari’at almarhum DR. H. Mahmud Ibrahim, MA dan AR Hakim Aman Pinan telah memberikan landasan teori dalam mengaplikasikan nilai-nilai budaya tersebut dalam bukunya Syari’at dan adat Istiadat.

Pada ranah pendidikan, dua perguruan tinggi yang berada di wilayah tengah provinsi Aceh (STAIN Gajah Putih Takengon dan Universitas Gajah Putih Takengon) selayaknya memiliki peran aktif dalam mensosialisasikan budaya melalui jalur pendidikan. Dua perguruan tinggi ini memiliki spesialisai keilmuan yang berbeda dan dimungkinkan untuk disatukan. Dimana STAIN Gajah Putih Takengon Membidangi Pendidikan dan Syari’at sedangkan Universitas Gajah Putih Takengon membidangi ekonomi, pertanian, politik dan sosial. Penyatuan keilmuan ini dapat diterapkan dalam kurikulum budaya yang dimasukkan dalam kurikulum muatan lokal pada jenjang pendidikan dasar (SD/MI), menengah pertama (SMP/MTs) dan menengah atas (SMA/MA/SMK).

Kombinasi keilmuan civitas akademika dapat menyusun kerangka kurikulum yang spesific dengan keuniversalan materi ajar yang akan diterapkan dalam kurikulum muatan lokal sebagaimana cakupan materi muatan lokal seperti lingkungan, sosial, budaya, dan spiritual serta keunggulan kearifan lokal sebagai jati diri suatu suku bangsa. Oleh karenanya, perlunya pelestarian budaya dengan mentransfer pengetahuan budaya melalui lembaga pendidikan adalah hal yang sangat mungkin untuk dilakukan mengingat elemen masyarakat saat ini sangat tidak peduli akan budaya dan nilai-nilai budaya Gayo.

Perwujudan dari dua ide dasar tersebut adalah upaya untuk merajut kembali entitas suku Gayo yang hari demi hari mulai melangkah meninggalkan pemiliknya, dan dikhawatirkan suatu saat nanti identitas ini menjadi milik suku bangsa lain sebagaimana yang terjadi pada pengakuan sebagian budaya Indonesia oleh negara lain beberapa tahun yang lalu. Oleh karena itu berbagai upaya perlu dilakukan untuk menjaga budaya Gayo dari kepunahannya diantaranya adalah dengan ide yang penulis tawarkan di atas. Wallahu ‘a’lam bishshawab.

*Penulis adalah Pegawai Staf Administrasi pada MTsN 7 Aceh Tengah dan Mahasiswa PPs STAIN Gajah Putih Takengon tahun 2018.

Comments

comments

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

No More Posts Available.

No more pages to load.