Timnas U16, Harapan Baru Indonesia

oleh

Oleh : Win Wan Nur*

Tahun 1993 adalah awal ketertarikan saya pada timnas Indonesia usia dini. Saat itu Indonesia timnas usia dini Indonesia berlatih dan ikut kompetisi usia muda Liga Italia yang saat itu merupakan liga terbaik di kolong langit. Timnas Indonesia saat itu menumpang pada klub Sampdoria, klub papan atas sekaligus mantan juara Serie – A yang bermarkas di kota Genoa.

Timnas Primavera saat itu mengundang decak kagum karena teknik bermain mereka yang ala eropa, berbeda dengan timnas senior yang bermain di sini. Di kompetisi Primavera ini mereka lumayan bergigi, sebagai contoh Juventus yang diperkuat Del Piero, mereka hajar dengan skor 2 – 1. Di Asia Tenggara mereka begitu ditakuti, tapi sayangnya meski secara teknik tim ini bagus sekali, tapi dalam perjalanannya, tim ini sama sekali tak pernah mendapat gelar juara dan membuat kecewa para pecinta bola Indonesia.

Pemain-pemain terbaik jebolan tim usia dini ini di kemudian hari memperkuat timnas senior, tapi entah kenapa tim dan pemain dari tim ini seperti tak punya mental yang cukup kuat untuk memenangkan pertandingan final.

Ketiadaan prestasi membuat banyak kritik menghinggapi tim ini termasuk kritik terhadap program Primavera sendiri, tapi ketika dibuat program lain pun tetap tak ada yang memuaskan. Setelah itu, sempat ada Barretti yang menjadi Primavera II lalu bertahun-tahun kemudian pembinaan usia dini terus berlanjut, pelatihan beralih dari Eropa ke Amerika Selatan dengan mengirim tim SAD di Uruguay, tapi hasilnya tak pernah memuaskan. Yang terjadi, pemain yang dihasilkan biasa-biasa saja yang menonjol justru gaya selebritisnya dan pacaran dengan artis-artis.

Belakangan, seiring dengan maraknya kompetisi Liga Indonesia, sekolah sepakbola dan pemain muda berteknik tinggi pun mulai bermunculan. Ledakan ini diawali oleh Timnas U – 19 asuhan Indra Syafri yang berhasil menjadi juara AFF U -19 edisi 2013 di Sidoarjo. Ini seolah menjadi awal kebangkitan tim usia dini. Berbeda dengan pemain tim usia dini sebelumnya yang biasanya layu sebelum usia 23, para pemain Timnas U -19 yang menjadi juara di Sidoarjo tetap menunjukkan taji di usia yang mulai beranjak dewasa. Evan Dimas, Ilham Udin, Zulfiandi, David Maulana, Hansamu sampai Putu Gede kini telah menjelma menjadi pemain papan atas Indonesia.

Jejak tim ini diikuti oleh Timnas U -19 generasi Egy Maulana yang sekilas terlihat lebih menjanjikan, tapi nasib baik tak menaungi mereka karena tim ini tak pernah berhasil mendapat gelar juara.

Kemilau U – 19 generasi Egy Maulana belum pudar kini sudah muncul generasi yang lebih menjanjikan di bawahnya. Timnas U – 16 yang diasuh oleh pelatih sekaligus pemain legenda asal Aceh, Fachri Husaini.

Tim ini mulai dikenal khalayak saat melawan Northern Mariana pada pertandingan pertama Pra Piala Asia U -16 pada 16 september tahun lalu. Saat itu mereka memperkenalkan diri dengan gaya, lawan pertamanya ini digasak habis 18 – 0, layaknya skor badminton saja. Sayang saat itu tim ini belum juara. Tapi meski tak juara, penampilan gemilang tim ini memberi harapan. Teknik bermain mereka saat itu memang masih mentah, tapi yang menggembirakan, tim ini punya striker tajam di diri Sutan Diego Armando Zico, komponen utama yang sudah sangat lama hilang dari timnas Indonesia pasca menuanya Kurniawan Dwi Julianto dan Bambang Pamungkas. Bahkan dua edisi timnas U – 19 asuhan Indra Syafri pun tak punya komponen ini.

2018, timnas U – 16 yang sama kembali hadir saat bertarung di Piala AFF U – 16 yang berlangsung di Sidoarjo, tempat yang sama dengan kakak mereka U -19 era Evan Dimas dulu meraih juara.

Kemunculan kembali anak-anak muda ini mengagetkan dan sekaligus mengundang antusias pecinta bola Indonesia. Bagaimana tidak, hanya dalam waktu kurang setahun, Timnas asuhan Fachri Husaini ini berkembang begitu pesat baik secara teknik maupun mental. Dalam waktu kurang dari setahun, tim ini jadi bermain begitu dewasa. Melihat permainan mereka, kita layaknya menyaksikan tim-tim muda dari negara eropa.

Penguasaan bola mereka begitu ganas, selalu di atas 60% tak peduli siapapun lawannya, mulai dari tim ecek-ecek semacam Kamboja dan Filipina sampai sekelas Myanmar, Vietnam, Malaysia sampai Thailand, penguasaan bola mereka tetap tinggi.

Menariknya, penguasaan bola dengan persentase setinggi itu bukan didapat dengan cara membosankan, mempermainkan bola, bolak balik dari depan ke belakang. Cattenaccio alias negative football gaya baru sebagaimana yang biasa kita saksikan ditampilkan oleh klub Barcelona atau Timnas Spanyol saat melawan Rusia di Piala Dunia kemarin. Penguasaan bola, Edi Tansil.

Timnas U -16 sebaliknya, persentase penguasaan bola sebesar itu diikuti dengan determinasi tinggi dengan tusukan-tusukan berbahaya yang membuat kocar-kacir pertahanan lawan, sebagaimana sering ditampilkan oleh Real Madrid, juara Liga Champions Eropa tiga kali beruntun. Tak heran kalau kemudian semua lawan yang dihadapi Timnas U -16 dibuat babak belur.

Determinasi ini bisa dilihat pada jumlah 23 gol yang mereka bukukan hanya dari 7 pertandingan saja, sejak penyisihan sampai final. Hebatnya, determinasi ini juga diiringi dengan kokohnya lini pertahanan. Dari jumlah pertandingan yang sama Timnas U -16 hanya kebobolan 4 gol, tapi dari jumlah 4 gol kebobolan itupun bisa dikatakan hanya satu, gol melawan Thailand di final yang tercipta karena kehebatan lawan. Sisanya karena buruknya keputusan wasit dan kesalahan yang tidak perlu.
Yang lebih menggembirakan lagi, Timnas ini sekali lagi menghasilkan kejutan manis. Munculnya satu lagi striker haus gol dan mematikan, Amiruddin Bagus Kahfi yang menjadi top skorer turnamen setelah mencetak 12 gol, yang artinya lebih dari separuh jumlah gol yang dicetak tim ini.

Seperti mantan striker legendaris Persiraja dan PSSI Irwansyah, Bagus Kahfi aslinya adalah pemain belakang. Seperti Irwansyah, dia menjadi striker atas permintaan pelatih, bedanya Bagus menjadi striker bukan karena disengaja oleh Fahri tapi karena sang pelatih menyangka dirinya adalah Bagas Kaffa, kembarannya yang justru dijadikan full back yang ajaibnya, ternyata juga bermain luar biasa bagus di posisi barunya.

Setelah semua kabar baik itu, masih ada satu hal paling krusial pada tim ini yang sudah lama sekali kita tunggu dari timnas-timnas sebelumnya. MENTAL JUARA. Tidak seperti timnas-timnas sebelumnya yang sering gugup ketika sudah ketinggalan atau seperti kehilangan akal dan gampang frustasi ketika gagal menjebol gawang lawan. Timnas U -16 ini berbeda, mereka begitu tenang dan sabar, meski sempat terpancing saat lawan Vietnam, tapi secara umum mereka bermain sangat tenang.

Ini bisa kita lihat saat pertandingan melawan Vietnam, menyerang bertubi-tubi tapi justru gawang mereka yang kebobolan, tak membuat mental anak-anak ini jatuh, tapi mereka tetap menyerang bertubi-tubi sampai akhirnya gol demi gol menghujani gawang lawan. Ketika wasit memberi hadiah pinalti untuk lawan, mereka juga tak gentar terus menyerang sampai akhirnya mencetak gol lagi.

Puncak pameran ketenangan tim ini ketika melawan Malaysia di semi final. Tim negeri jiran yang di segala kelompok umur sebenarnya biasa-biasa saja tapi selalu gagal kita taklukkan karena pemain kita selalu merasa terbebani sejak timnas senior kalah di final AFF 2010 dan kemudian Timnas U – 23 kalah di Sea Games. Sejak saat itu, timnas Indonesia di kelompok umur apapun, tak pernah lagi bisa mengalahkan Malaysia. Terakhir, Timnas U – 19, kalah adu pinalti melawan mereka di semi final.

Panasnya suasana di luar lapangan akibat provokasi pemain Malaysia yang memasang bendera Indonesia secara terbalik di Instagram tak membuat mereka membawa suasana panas ke dalam lapangan. Segala provokasi yang dilakukan pemain Malaysia, sebagaimana biasa mereka lakukan sebagai strategi menghadapi kita, tak diladeni tim ini. Mereka terus mengurung pertahanan Malaysia dan melepaskan tendangan bertubi-tubi.

Mereka tak menjadi frustasi meski Gawang Malaysia tak juga bisa dijebol, seolah di tiangnya ditanami jeruk purut alias mungkur. Kesabaran itu akhirnya membuahkan hasil, Supriadi yang bermain luar biasa di pertandingan ini diganjal di kotak pinalti. Wasit menunjuk titik putih dan bola dieksekusi oleh Bagus dengan sangat bagus. Skor 1 – 0, sudah cukup untuk menghantarkan Indonesia ke final. Semoga apa yang mereka tampilkan ini bisa menjadi inspirasi bagi Timnas lain di kelompok umur di atas mereka.

Kemudian, di final yang baru kita saksikan bersama-sama, bahkan Thailand pun mereka bully habis-habisan. Tim Gajah Putih muda ini mereka buat tak tenang sampai salah tingkah saat menguasai bola, sesuatu yang nyaris tak pernah kita saksikan saat Indonesia melawan raja Asia Tenggara ini di kelompok umur apapun. Hanya kesialan yang membuat mereka gagal memenangkan pertandingan di waktu normal.

Tapi ketika pertandingan harus diakhiri dengan penalti pun, tak ada tanda-tanda jatuhnya mental pada anak-anak ini. Semua penendang yang ditugaskan Fachri, sukses mengkonversi tendangannya menjadi gol. Sebaliknya, dua tendangan pemain Thailand berhasil digagalkan kiper kita. Dan Indonesia pun juara.

Dengan pencapaian ini, semoga tim ini dan pemain-pemainnya tidak cepat puas dan terus menempa diri. Tidak meniru senior-seniornya yang mabok dengan popularitas yang didapat dan akhirnya berakhir menjadi selebritis tanggung tanpa prestasi. Kita harapkan pemain-pemain tim ini bisa terus berkembang menjadi pesepakbola yang lebih baik sebagaimana senior-seniornya di timnas U – 19 era Evan Dimas.

Comments

comments

No More Posts Available.

No more pages to load.