Beban Administrasi Guru Abad 21

oleh

Oleh : Nurul Yaqin, S.Pd.I*

Laju perkembangan pendidikan bersifat dinamis, tidak statis. Sistem pendidikan selalu beradaptasi sesuai zamannya. Hal ini ditandai dengan adanya revisi kurikulum dari beberapa periode. Van Manen (1977) memberikan deskripsi menarik untuk menyikapi perubahan kurikulum “It is assumed that every educational choice is based on a value commitment to some interpretive framework by those who involved in the curriculum process”. Karena itu, tenaga kependidikan harus memahami inti pendidikan melalui latihan (training) secara komprehensif.

Eveline Wittmann dalam Align:Don’t Necesarely Follow (2008) dengan gamblang menegaskan bahwa perubahan kebijakan dalam dunia pendidikan merupakan kebutuhan instrinsik dunia pendikan yang tidak bisa dihindarkan oleh negara mana pun di dunia. Apalagi jika hal ini dikaitkan dengan isu global seperti kualitas, profesionalisme dan persaingan, dunia pendidikan jelas harus mengubah cara pandang mereka, baik terhadap desain dan rangkaian kurikulum, instructional strategies, serta sistem pendidikan yang dikehendaki masyarakat.

Namun, perubahan kebijakan dalam pendidikan merupakan beban baru bagi para guru. Kurikulum berubah, administrasi juga bertambah. Maka tak salah ketika acara HUT Ke-72 PGRI dan Hari Guru Nasional 2 Desember 2017 di Bekasi kemarin, Presiden Joko Widodo menyinggung “Jangan lagi ruwet-ruwet, jangan lagi mbulet-mbulet. Saya mau persoalan administrasi guru segera disederhanakan”. Pernyataan presiden tersebut merupakan sindiran satir akan sistem pendidikan di negeri ini. Masih ada PR (pekerjaan rumah) yang perlu dikaji ulang untuk mencapai tujuan pendidikan yang berintegritas.

Tanpa administrasi, pendidikan ibarat rumah tanpa penghuni dan peralatan (funiture), seonggok bangunan tanpa aktivitas dan nihil tujuan. Artinya, adimintrasi menempati titik sentral dalam menentukan arah dan tujuan pendidikan. Karena adiminstrasi memuat segala rangkaian akitivitas dan sarana dan prasarana menuju terpenuhnya kegiatan pendidikan yang ideal.

Menurut Departemen Pendidikan Nasional RI (Depdiknas RI) administrasi pendidikan adalah suatu proses keseluruhan kegiatan bersama dalam bidang pendidikan yang meliputi perencanaan, pengorganisasian, pengarahan, pengkoordinasiaan, pengawasan, pembiayaan, dan pelaporan dengan menggunakan atau memanfaatkan fasilitas yang tersedia, baik operasional, material maupun spiritual untuk mencapai tujuan pendidikan secara efesien dan efektif.

Dari definisi di atas kita dapat menyimpulkan bahwa administrasi pendidikan memiliki cakupan yang sangat luas. Namun, sebagian kita masih berasumsi bahwa administrasi pendidikan hanya berkutat pada kegiatan tulis-menulis (tangan maupun komputer) dan pembukuan. Hal ini perlu diluruskan agar tidak berpandangan sempit terhadap esensi administrasi pendidikan itu sendiri.

Moral yang Terabaikan

Administrasi pendidikan mutlak dipenuhi oleh seorang pendidik. Namun, semakin tua usia pendidikan di negeri ini semakin konkret pula permasalahan administrasi yang harus ditunaikan. Bertambah banyaknya administrasi guru saat ini ternyata bukan solusi, justru menjadi beban tambahan yang menguras energi. Administrasi guru dirasa terlalu melimpah, mulai dari kegiatan harian, mingguan, bulanan, semesteran, hingga tahunan.

Beban administrasi guru saat ini tidak hanya berupa silabus dan turunannya semisal, prota (program tahunan), promes (program semester), RPP, KKM, analisa KD, dan sistem penilaian (kognitif), akan tetapi ditambah dengan administrasi tambahan berupa penilaian afektif dan psikomotorik. Dan setiap aspek terdiri dari berbagai indikator penilain yang bejibun. Begitu banyak beban tugas guru yang harus dipenuhi karena perubahan sistem.
Belum lagi peraturan guru yang sangat ketat. Guru saat ini tak lebih seperti halnya buruh pabrik. Tolok ukur hanya berpacu pada presensi dengan sidik jari (finger print).

Dengan jargon profesionalitas seorang guru harus berada di sekolah mulai dari pagi hingga sore, jika izin sudah pasti dipotong gaji. Manajemen baru telah mereduksi fungsi guru hanya dengan kehadiran fisik belaka. Sungguh ini merupakan kemerosotan dalam menghargai profesi guru.

Penilaian guru tidak lagi berdasarkan peranannya di dalam kelas, ketika mempersiapkan pembelajaran, dan mengoreksi hasil belajar siswa. Celakanya, para guru hanya tunduk dan menerima tanpa adanya protes terhadap kebijakan tersebut. PGRI (Persatuan Guru Republik Indonesia) sebagai organisasi yang menaunginya pun juga legowo. Padahal, jika diamati lebih jeli guru selalu bekerja sepanjang waktu, baik di rumah – pembuatan RPP, melayani pertanyaan siswa dan orangtua via media sosial, mengoreksi hasi tes, dan membuat proposal kegiatan- maupun di sekolah (Darmaningtyas: 2015).

Namun, di balik padatnya peraturan administrasi guru, ada aspek yang terlupakan. Aspek ini merupakan pangkal sukses tidaknya pendidikan di negeri ini, yaitu aspek moral. Kesibukan guru dalam menunaikan administrasi membuat mereka lupa terhadap perkembangan moral dan akhlak para muridnya. Maka benar jika presiden Jokowi berujar “Guru seyogianya lebih banyak berinteraksi dengan siswa daripada menghabiskan lebih banyak waktu untuk urusan laporan administratif yang serba formal dan ruwet”.

Esensi pendidikan adalah untuk menjadikan anak didik pribadi lebih baik. Baik di sini bukan sekadar yang awalnya tidak bisa pelajaran matematika kemudian mahir menyelesaikan soal teorema pythagoras. Itu hanya cabang. Muaranya, mencetak anak agar lebih baik moral atau akhlaknya, yang kemudian akan disusul dengan kompetensi (skills) lainnya. Menurut Kosasih Djahiri (1980: 3) pendidikan merupakan upaya yang terorganisir, berencana, dan berlangsung kontinyu (terus-menerus sepanjang hayat) ke arah membina manusia/anak didik menjadi insan paripurna, dewasa, dan berbudaya (civilized).

Akhlak merupakan ruh dalam pendidikan. Jika terlepas, maka pendidikan akan kehilangan eksistensinya, hanya tinggal jasad atau raga, kemudian mati. Contoh konkrit, aparatur pemerintah yang mayoritas jebolan universitas terbaik dalam atau luar negeri, jika tidak dibarengi moral atau akhlak, maka mudah melahirkan tikus-tikus berdasi. Ustad atau kiyai pun tanpa akhlak tak lebih hanya seperti sales markating yang menawarkan ayat-ayat ilahi.

Administrasi yang Humanis

Guru memang top model bagi anak didik, tapi guru bukanlah malaikat. Penuturan presiden Jokowi di atas merupakan bentuk pengakuan bahwa administrasi guru masih belum humanis. Harapannya, administrasi guru harus lebih dilangsingkan lagi, agar mereka lebih fokus kepada program pembelajaran dan bimbingan.

Pelangsingan administrasi guru di sini bukan berarti bentuk ketidakmampuan guru, hanya saja menghindari hal-hal yang tidak diinginkan semisal, pembuatan berkas administrasi yang asal-asalan karena mengejar deadline. Dengan demikian, guru bisa lebih konsentrasi dalam menanamkan nilai-nilai luhur (moral). Karena moral adalah goal setting yang harus dipenuhi oleh anak didik.

Guru bukanlah buruh. Menjadi buruh tidak memerlukan syarat pendidikan khusus, ritme kerjanya sama, objek yang dihadapi benda mati, bekerja demi memperoleh keuntungan yang sebesar-besarnya, dan terikat dengan upah semata. Lain halnya guru, diperlukan persyaratan pendidikan khusus, pola kerjanya harus kreatif, variatif, dan inovatif, objeknya adalah benda hidup, prinsip kerjanya agar siswa dapat belajar menyenangkan, komunikatif, dan kreatif, serta diikat oleh tanggung jawab moral dan sosial.

*Guru SMPIT ANNUR Cikarang Timur Bekasi

Comments

comments

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

No More Posts Available.

No more pages to load.