Tadarus

oleh

Oleh : Drs. Jamhuri Ungel, MA

Kata tadarus lebih popular di dalam masyarakat ketika tibanya bulan Ramadhan, kegiatan ini dilakukan di masjid-masjid atau di mushallah dan tidak jarang juga kaum muslimin melakukannya di rumah masing-masing. Sebenarnya tadarus tidak harus dilakukan di bulan Ramadhan, tapi dapat dilakukan sepanjang tahun atau sepanjang masa. Namun seperti yang telah disebutkan kalau istilah ini lebih popular digunakan dalam bulan Ramadhan.

Tadarus dalam makna tekstual makna berbeda dengan kontekstual makna. Dalam makna bahasa tadarus berarti mempelajari, meneliti, menelaah, mengkaji dan mengambil pelajaran. Sedang dalam makna kontekstualnya tadarus dimaknai dengan membaca al-Qur’an di masjid, mushalla, atau di rumah dalam bentuk majelis dengan sistem bergantian. Satu orang membaca dan yang lainnya mendengar sebelum sampai gilirannya.

Perkembangan kata yang berasal dari kata darasa – yadrusu, yang artinya seperti disebutkan di atas menjadi tadaarasa-yatadaarasu, maka maknanya bertambah menjadi saling belajar atau mempelajari secara mendalam.

Kegiatan tadarus seperti terlihat sekarang ini tidak ada lagi berbentuk kajian ayat perayat dari al-Qur’an, yang ada hanya sekedar membaca saja, bahkan untuk sebagian tempat tidak ada pembetulan bacaan bila dibaca salah. Karena mereka yang ahli membaca sendiri di rumah, sementara mereka yang sudah berkeluarga menganggap tadarus adalah tugas anak muda sambil menunggu datangnya sahur.

Dari dulu saya tidak pernah melihat dan mengikuti adanya pengkajian yang mendalam terhadap al-Qur’an untuk memaknai tadarus yang membahas ayat-ayat atau kandungan al-Qur’an, kalaupun ada penyampaian makna al-Qur’an disampaikan melalui ceramah Ramadhan. Bahkan yang memprihatinkan sekarang ini banyak masjid dan mushalla tidak lagi mengadakan ceramah agama setelah shalat isya atau setelah shalat tarawih. Kalau kita bisa menduga inilah salah satu penyebab lemahnya pengetahuan agama masyarakat. Karena hanya pada bulan ramadhanlah banyak waktu masyarakat untuk mendengarkan pelajaran-pelajaran tentang agama, sedangkan ketika di luar bulan Ramadhan kebanyakan masyarakat tidak punya waktu untuk belajar agama.

Ada pemahaman dari sebagian ahli agama sekarang ini, mereka lebih mempersempit pemahaman ibadah. Sebagian Imam mengatakan, Ramadhan dalah bulan untuk fokus ibadah (shalat isya, tarawih dan witir) karenanya di mesjid kita tidak ada ceramah ba’da isya. Untuk kepentingan masyarakat secara umum pendapat seperti ini tidak begitu tepat, karena banyak anggota masyarakat yang tidak pernah punya waktu untuk mendengar pelajaran agama, apalagi orang perempuan yang hari-harinya disibukkan dengan pekerjaan rumah dan pemenuhan kebutuhan keluarga. Berbeda halnya dengan bapak-bapak yang mempunyai kewajiban mendengarkan khutbah setiap melaksanakan shalat jum’at, walaupun hanya seminggu sekali.

Muncul lagi fenomena baru di dalam masyarakat dalam menyikapi tadarus yang sebenarnya belum menemukan makna yang sebenarnya, yaitu tidak bolehnya bertadarus dengan menggunakan pengeras suara melebihi jam 23.00 WIB, karena jam tersebut adalah jam tidur bagi mereka yang siangnya lelah bekerja, mengganggu anak-anak masih kecil yang perlu banyak istirahat, ibu-ibu yang nantinya harus menyiapkan makan sahur.

Memahami fenomena itu tidak salah karena memang itu realita masyarakat yang hidup dalam aktivitas agraris. Tetapi permasalahn yang ada dan menjadi bukti yang menghawatirkan seperti disebutkan di atas, masyarakat mulai enggan melakukan tadarus di malam hari karena terlalu dibatasi dari sisi sarana dan waktu, ada juga kemungkinan yang sebenarnya mereka yang muda sudah mulai malas untuk beribadah ditambah lagi dengan adanya larangan yang dapat mengganggu orang lian.

Jadi apa yang menjadi syiar secara tradisi di dalam bulan Ramadhan mulai hilang, seperti menjadi mushalla sebagai tempat berlatih shalawat sebelum shalat isya, menjadikan mushalla sebagai tempat bermain sembari menunggu sahur, membaca Al-Qur’an dengan menggunakan pengeras suara sebagai penarik generasi muda untuk bertadarus. Sehingga akhirnya mushalla dan masjid nampak sepi dari anak-anak dan anak muda, yang sebelumnya mereka setiap malam menghabiskan waktu mereka di mushalla dan masjid sembari secara serentak membangunkan orang tua mereka di rumah dengan menggunakan pengeras suara.

Drs Jamhuri (foto:tarina)

 

*Penulis adalah dosen Fakultas Syari’ah UIN Ar-Raniry Banda Aceh

Comments

comments

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

No More Posts Available.

No more pages to load.