Meugang dan Timphan Ramadan

oleh

 

Catatan Muhammad Nasril, Lc MA

Sebelum memasuki bulan Ramadhan, ada satu tradisi yang sering dilakukan oleh masyarakat Aceh dan berbeda dengan daerah lain yaitu tradisi Meugang, sampai hari ini tradisi itu masih tetap dilestarikan masyarakat Aceh.

Hampir seluruh masyarakat Aceh melaksanakan tradisi turun temurun ini, dapur akan berasap memaska daging, ayam, bebek atau lainnya.

Diungkapkan oleh salah seorang antropolog Aceh Muhajir Al- Fairusi bahwa Meugang ini adalah isyarat untuk kemakmuran. Makmu Gang (tiap gang, atau jurong harus makmur di hari tersebut). Para Sultan Aceh, memastikan semua rakyatnya dapat makan daging, memastikan rakyatnya siap menyambut Ramadhan dengan makmur dan suka cita. Makmu Gang, gang-gang dan jurong harus makmur dan sejahtera dengan laku Filantropi Sultan Aceh. Hari ini (Hana) Makmu Gang, karena para pejabat ramai ramai menonaktifkan seluler, ramai-ramai menghilang dari hadapan rakyat yang berharap Makmu di tiap gang, dan jurong dengan setumpuk daging. Baru kembali ke hadapan rakyat dengan wajah “saleh” dan penuh filantropi saat musim Pemilukada dan Pilkada.

Selain itu ia juga menambahkan tentang kondisi  masyarakat pada saat Meugang “mulai hari ini dan esok di Aceh, daging bukan hanya sekedar ikan dan lauk, ia melampaui sekat-sekat simbol kebudayaan. Setumpuk daging, ditafsirkan sebagai laku hormat, harga diri, dan tanggug jawab menantu laki-laki pada istri. Tabu dan aib memalukan, jika seorang menantu laki-laki tak menenteng setumpuk daging di hadapan mertua (Yah/Ma Tuan). Jika hari-hari lain “sah” nenteng ikan dan telur, hari ini tradisi mengharuskan membawa setumpuk daging. Hari Meugang, setumpuk daging menjadi simbol sakral, dan harga diri seorang laki laki dihadapkan pada keluarga batih perempuan.

Walau ada yang mencoba mengaburi tradisi Meugang ini dengan berbagai argumen modernnya tapi itu akan sulit dilakukan, karena selain tradisi turun temurun juga isyarat kegembiraan masyarakat Aceh dalam menyambut hari-hari besar seperti Ramadhan dan hari raya.

Juga dari sisi sosial, keberadaan meugang ini sebagai moment tepat berkumpulnya sanak saudara di rumah orang tua atau di kampung halaman, sehingga banyak masyarakat yang tinggal di kota, memilih pulang kampung untuk Meugang bersama keluarga dan saudara di kampung. Meugang telah melahirkan nilai ukhwah apalagi saat bisa berbagi dengan tetangga dan mereka yang tidak ada daging pada hari itu.

Kalau kita katakan Meugang itu hanya sebatas makan daging saja, itu tidak terlalu berharga bagi mereka yang sering makan daging, tapi esensi meugang lebih dari itu, ia menjadi moment untuk berbagi kepada fakir miskin, ikut membantu mereka gembira menyambut bulan suci Ramadhan. Apalagi hari ini, juga banyak diantara kita yang jarang makan daging, sehingga moment Meugang ini kesempatan untuk mereka, kalaupun belum sanggup membeli, ini menjadi ladang amal bagi sang penderma.

Selain itu, tradisi Meugang ini rasanya akan tabeu (tawar) kalau tidak  ada pendampingnya, yaitu Timphan yang merupakan salah satu penganan kecil yang aslinya berasal dari Aceh, yang mengandung nilai filosofis ke uletan kesabaran dan cita rasa khas yang menggoyang lidah, walau cara buatnya tidak terlalu rumit tapi tidak semua orang bisa membuatnya, salah-salah bukan Timphan jadinya, tapi tepung rebus atau lem.

Kini Timphan menjadi salah satu makanan kesukaan masyarakat Aceh. Timphan ini juga bervariasi, ada Timphan asoe kaya, isi kelapa dan lain-lainnya.  Untuk melengkapi suasana Meugang ini sehingga selain masak-masak daging di Aceh hari ini juga ada Timphan, perbaikan gizi dalam menyambut Ramadhan.

Comments

comments

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

No More Posts Available.

No more pages to load.