Oleh: Husaini Muzakir Algayoni*
Isra’ dan Mi’raj merupakan peristiwa tidak masuk akal atau benarkah peristiwa tersebut benar-benar terjadi seperti yang diyakini oleh kalangan umat Islam, bagaimana mungkin Nabi Muhammad naik ke langit hanya ditempuh dalam rentang waktu satu malam saja kemudian kembali lagi ke bumi pada malam itu juga. Argumen-argumen tersebut merupakan argumen dari kalangan orientalis yang meragukan adanya peristiwa penting dan bersejarah ini.
Dalam kalangan umat Islam ada dua upacara keagamaan yang selalu dirayakan oleh umat Islam, dua upacara keagamaan tersebut ialah peringatan Maulid Nabi Muhammad saw (Kelahiran Nabi Muhammad) dan Isra’ Mi’raj (Perjalanan Nabi Muhammad pada malam hari dari Masjidil Haram, Makkah ke Masjid Aqsha, Baitulmaqdis dan kemudian naik ke langit dan kembali ke Makkah pada malam itu juga). Upacara keagamaan ini merupakan peristiwa penting dan mempunyai kedudukan istimewa bagi kalangan umat Islam karena dalam peristiwa ini banyak intisari, hikmah dan kesan-kesan yang dapat diambil dari baginda Rasulullah saw kemudian dapat diimplementasikan dalam kehidupan umat Islam sehari-hari.
Dari dua upacara keagamaan diatas, penulis akan menulis peristiwa Isra’ dan Mi’raj secara ringkas dari sudut pandang teologi Islam untuk menjawab argumen-argumen orientalis yang meragukan adanya peristiwa bersejarah ini yang telah diabadikan dalam Q.S Al-Isra’ ayat 1: “Maha Suci Allah yang telah menjalankan hambanya pada malam hari dari Masjidil Haram ke Masjidil Aqsha yang Kami berkahi sekelilingnya, agar Kami memperlihatkan kepadanya sebagian dari tanda-tanda kebesaran Kami.
Sesungguhnya Allah Maha mendengar lagi Maha melihat.”
Peristiwa bersejarah ini terjadi pada malam 27 Rajab tahun 612 M. Rasulullah melakukan perjalanan malam (Isra’) bertolak dari Masjid Haram menuju Masjid Aqsha berkendaraan dengan buraq yang kecepatannnya seperti kilat dan dalam perjalanan tersebut dituntun oleh Jibril melalui lautan pasir yang luas. Lalu Rasulullah melakukan Mi’raj yang bertitik tolak dari Masjid Aqsha menuju Sidrat al-Muntaha menghadap Allah seru sekalian alam.
Penjelasan Nurchalis Madjid dalam tulisannya
“Pendekatan Sejarah dalam Memahami Isra’-Mi’raj” menerangkan bagaimana dapat terjadi bahwa Nabi Muhammad saw bertemu dengan para Nabi, sejak Nabi Adam sampai Nabi Isa as bahkan tentang bagaimana seluruh peristiwa perjalanan suci Isra’ dan Mi’raj itu terjadi, tentulah merupakan rahasia Allah, menjadi bagian dari perkara gaib yang kita harus beriman kepadanya.
Sementara itu, para ahli tafsir menuturkan tentang adanya pebedaan pendapat dikalangan umat Islam, apakah Nabi Muhammad saw mengalami peristiwa Isra’ dan Mi’raj itu secara ruhani-jasmani ataukah ruhani saja. Sebagian besar riwayat mengatakan bahwa Nabi Muhammad saw melakukan perjalanan suci itu secara ruhani-jasmani sekaligus. Tetapi ada beberapa riwayat, seperti Aisyah, Muawiyah dan al-Hasan (ibn Ali ibn Abi Thalib), sebagaimana dikutip oleh al-Zamakhsyari dalam kitab tafsirnya, al-Kasysyaf bahwa Isra’ dan Mi’raj itu dialami Nabi secara ruhani saja. Demikian penjelasan Nurchalis Madjid seorang pemikir Islam dari Indonesia yang banyak memberikan kontribusi terhadap peradaban kemajuan Islam khususnya di Indonesia.
Membaca kisah perjalanan Isra’ dan Mi’raj berada diluar nalar manusia dan merupakan sesuatu yang tidak masuk akal bahkan sudah melampaui batas-batas hukum alam materi, terlepas apakah Rasulullah berjalan dengan ruhani-jasmani sekaligus atau hanya dengan ruhaninya saja. Untuk menjawab argumen tersebut, perlulah menjelaskannya secara jelas agar tidak terjadi keraguan sehingga umat Islam tetap meyakini bahwa peristiwa tersebut benar-benar terjadi pada Nabi Muhammad saw. Nah, untuk meyakinkan peristiwa tersebut; penulis mengambil dari sudut pandang teologi Islam dalam menjelaskan peristiwa luar biasa ini.
Dalam kajian teologi Islam, khususnya dalam aliran Asy’ariah atau dikenal dengan Ahlussunnah wal Jama’ah; yang mana aliran ini adalah aliran resmi yang dianut oleh kalangan umat Islam di Indonesia dan khususnya di Aceh. Dalam doktrin Asy’ariah bahwa Allah mempunyai kemutlakan kekuasaan dan kehendak, Oleh karena itu; Allah bisa berbuat apa saja sesuai dengan kehendak-Nya. Misalnya, Allah bisa dilihat dengan mata telanjang tentu saja itu bukan di dunia tapi di akhirat kelak (Baca: Apakah Tuhan Bisa di Lihat?. Lintasgayo.co 24/09/2016). Begitu juga dengan peristiwa Isra’ dan Mi’raj, ketika Allah melakukan sesuatu maka apa yang diperbuat Allah bisa saja terjadi sesuai dengan kekuasaan dan kehendak Allah walaupun peristiwa tersebut tidak masuk akal bagi nalar manusia.
Harun Nasution dalam bukunya Teologi Islam menjelaskan kemutlakan kekuasaan dan kehendak Tuhan ini, al-Asy’ari menulis dalam Al-Ibanah bahwa Tuhan tidak tunduk kepada siapapun; di atas Tuhan tidak ada suatu dzat lain yang dapat membuat hukum dan dapat menentukan apa yang boleh dibuat dan apa yang tidak boleh dibuat Tuhan. Tuhan bersifat absolut, Tuhan adalah Maha Pemilik yang bersifat absolut dan berbuat apa saja yang dikehendaki-Nya. Yaitu, sungguhpun perbuatan-perbuatan itu oleh akal manusia dipandang bersifat tidak baik dan tidak adil.
Kemudian dengan adanya peristiwa Isra’ dan Mi’raj ini Allah memperlihatkan kepada Rasulnya apa yang dikehendaki-Nya dari tanda-tanda kekuasannya “Kami memperlihatkan kepadanya sebagian dari tanda-tanda kebesaran Kami.” Isra’ dan Mi’raj adalah peristiwa luar biasa oleh karena itu penulis berpendapat bahwa Nabi Muhammad saw melakukannya dengan roh-jasmani sekaligus, sendainya hanya dengan roh saja atau lewat mimpi maka peristiwa ini bukanlah hal yang luar biasa dan sekaligus lewat peristiwa luar biasa ini menunjukkan kemutlakan kekuasaan Allah, keajaiban ciptaan Allah untuk menenangkan hati dan menambah keyakinan.
Demikian sekilas penjelasan peristiwa Isra’ dan Mi’raj dari sudut pandang teologi Islam bahwasanya hal-hal yang tidak masuk akal dalam nalar manusia bisa saja terjadi jika Allah menghendaki itu terjadi untuk menunjukkan dan memperlihatkan tanda-tanda kekuasaan Allah. Oleh karena itu ketika mempunyai keyakinan/iman yang kuat serta mendalami ajaran Islam maka tidak ada keraguan lagi terhadap isi kitab suci al-Qur’an yang merupakan salah satu rukun iman yang wajib diyakini oleh umat Islam. Semoga bermanfaat.
*Penulis: Kolumnis LintasGAYO.co