Menyongsong Tahun Politik di Negeri Seribu Bukit

oleh
Riki Try Kurniawan (Ist)

Oleh: Riki Try Kurniawan*

Memasuki pertengahan Tahun 2018, dimana kita memasuki tahun yang hampir semua kalangan di daerah mulai banyak membahas mengenai politik tidak terkecuali di negeri seribu bukit yakni Kabupaten Gayo Lues. Karena itu juga, tahun menjelang dan tahun pelaksanaan sebuah pesta rakyat itu sendiri kerap disebut sebagai tahun politik.

Sayangnya, tidak jarang pula kita lihat, kelas menengah ke bawah yang secara teoritis merupakan kunci tegaknya sistem demokrasi dan pada saat sekarang kondisinya sudah cukup mengkhawatirkan. Mereka kini sudah terfragmentasi dan terpolarisasi ke dalam berbagai macam kubu yang masih terus saling menghujat dan menyalahkan satu sama lain.

Dalam kasus tahun politik di negeri seribu bukit ini, kita tidak boleh tutup mata. Semua isu politik, momen politik, dan agenda politik, selalu membelah opini masyarakat ke berbagai kubu yang konfrontatif. Bahkan kini yang sama masih terus bereskalasi, dan membentuk konfigurasi yang sama di setiap isu politik yang muncul di negeri yang kita cintai.

Banyak pihak memilih tidak percaya dan sebagian cukup fanatik adanya mitos politik, termasuk dalam perhelatan pileg yang akan datang. Mitos politik muncul sebagai produk politik tradisional. Menurut Karen Armstrong, mitos memiliki fungsi khusus, yaitu menjelaskan sesuatu yang belum mampu disentuh oleh logos (nalar, akal). Seiring perjalanan waktu, mitos mengalami komodifikasi, yakni dirancang sebagai komoditas guna memenuhi berbagai jenis tujuan.

Adanya mitos sulit mengalahkan yang sudah menduduki kursi di DPRK. Yang mana menjabat sekali periode hampir pasti maju kembali, diyakini memiliki modal lebih kuat dibanding kontestan pesaingnya. Modal politik tersebut antara lain popularitas dan elektabilitas, jaringan birokrasi, kemudahan memanfaatkan anggaran daerah untuk kampanye, kemudahan mendapatkan cukong, dan lainnya. Hal tersebut memang ilegal dalam kondisi wajib cuti selama kampanye, namun sudah menjadi rahasia umum.

Banyak analis mengemukakan bahwa faktor personal calon dalam pileg lebih menentukan dibandingkan parpol pengusungnya. Pileg diyakini sebagai pertarungan figur. Popularitas menjadi modal awal yang harus dipenuhi sebelum menganjak ke elektabilitas. Tidak mengherankan jika dalam pileg di negeri seribu bukit ini banyak figur publik yang berlaga untuk menduduki kursi parlemen dan sebagainya.

Konflik pada skala tertentu merupakan sesuatu yang pasti akan terjadi. Bukan sebagai bentuk seleksi alam, melainkan sebagai satu mekanisme pertukaran nilai dalam masyarakat. Untuk itu, kompetisi politik di negeri yang kita cintai ini, harus dilandasi oleh semangat untuk menemukan satu sintesa baru kepemimpinan yang adaptif.

Pada saat ini banyak Partisipasi Politik dari Pemilih Pemula di negeri seribu bukit ini, Kabupaten Gayo lues baru saja memilih sosok bupati pada tahun 2017 kemaren sangat menarik untuk dilakukan karena seperti kita ketahui bahwa, pemilih pemula sebagai objek dalam kegiatan politik, yaitu mereka yang masih memerlukan pembinaan dalam orientasi ke arah pertumbuhan potensi dan kemampuannya ke depan dapat berperan dalam bidang politik.

Keberadaan pemilih pemula di negeri seribu bukit ini, menjadi incaran bagi partai politik untuk mendulang suara dalam pileg yang akan di laksanakan pada tahun depan. Para pemilih pemula ini umumnya belum terinformasikan serta tidak memiliki pendidikan politik memadai. Dengan asumsi ini, partai politik berupaya memengaruhi pilihan politik pemilih pemula melalui berbagai upaya dalam kenyataannya partai politik lebih banyak memberdayakan pemilih pemula melalui kampanye politik sehat.

Ada beberapa alasan mengapa para pemilih pemula berpartisipasi dalam pilkada yaitu sebagian besar pemilih pemula masi menaruh kepercayaan kepada pemerintah untuk mengubah bangsa ini kearah lebih baik, pemilih pemula berpartisipasi karena diiming-imingi honor yang besar, dan bahkan ada pemilih pemula yang hanya sekedar ikut-ikutan. Maka sangat wajar bila rangkaian event ini dikhawatirkan akan menguras lebih banyak lagi energi kebangsaan kita.

Pertanyaannya, masih seberapa kuat modal sosial kita sebagai sebuah bangsa? Belum lagi bila kita menambahkan variabel lain seperti masalah ekonomi, masalah hukum (keadilan), keamanan nasional, dan dinamika lingkungan strategis global yang tidak menentu.

Kita semua, dan khususnya pemerintah, tentu menyadari kegentingan ini. Tapi kita tetap berharap sesuatu yang terbaik terjadi di tahun depan. Supaya tetap optimistis, agar event politik tahun depan akan melahirkan pemimpin-pemimpin daerah yang otentik, yang mampu membangun daya tahan daerahnya. Agar negeri yang kita cintai ini kuat menapaki puncak pertarungan politik selanjutnya di tahun 2019.

Penulis merupakan mahasiswa asal Blangkejeren, Gayo Lues di Banda Aceh.

Comments

comments

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

No More Posts Available.

No more pages to load.