Fenomena Nalar Tanpa Nurani (Ketidaksadaran)

oleh
Radensyah

Oleh : Radensyah, S.Pd*

Radensyah

Cara bernalar yang kita gunakan saat ini adalah cara bernalar yang lepas dari hati nurani. Sehingga dalam menentukan substansi dari suatu hal kita mengalami kesulitan. Konsep dan teori kita tidak lain hanyalah kelengkapan administrasi saja bila tidak didorong oleh nurani dan kesadaran, hal inilah yang membuat sifat dan tindakan kita menjadi tidak matang dan sangat jauh dari kebijaksanaan. Berbeda dengan praktek berkehidupan orang tua kita dimasa dulu yang, selalu mengembangkan nalar dari nurani, sehingga mereka dapat menghasilkan keberkahan dan kebermanfaatan.

Dalam berkehidupan, manusia yang senantiasa dalam kesadaran akan mendapatkan hasil dari kesadaranya itu yakni berupa ketertiban, keharmonisan dan kebaikan. Sebaliknya kurang atau tanpa kesadaran maka manusia tersebut akan memperoleh hasil juga yakni tidak tenangnya jiwa serta terjerat dalam permasalahan-permasalahan hidup. Kata “sadar” berkaitan dengan “insaf” hal ini dapat dimaknai sebagai upaya untuk berubah dari kekeliruan kearah kebenaran. Saat ini kita atau pemerintah masih belum memperbaiki hal-hal yang keliru, akhirnya kita selalu diselimuti oleh ketidakpastian.

Saat ini kita sedang hidup berdampingan dengan banyak hal menarik tapi sebenarnya palsu. Inilah masa dimana kulit lebih utama dari pada isi. Tanpa adanya sikaf objektif dan kesadaran maka harapan untuk kehidupan yang lebih baik akan sulit tercapai. Masa depan kita adalah tergantung kematangan sudut pandang kita saat ini. Penalaran secara jujur yang bersumber dari jiwa akan membantu tercapainya kebaikan kehidupan kita, baik untuk diri sendiri, masyarakat dan untuk negara.

Nalar yang tidak berdasar pada nurani adalah sumber penyakit kita saat ini. Dan inilah wujud ketidaksadaran. Ditambah dengan ketertarikan yang berlebihan kepada paradigma barat telah merusak dan membingungkan kita akan hakikat diri dan kedudukan akal. Kita tidak akan mampu menjadi masyarakat yang peka, disiplin, teratur, serta menjaga kedamaian apabila mengabaikan sisi penting pada diri kita yakni hati nurani. Aturan akan kita langgar, undang-undang akan kita belakangi, nasehatpun akan kita abaikan bila kita tidak berada pada kesadaran. Seseorang yang tidak sadar adalah sedang tertidur. Juga dapat dikatakan sedang “tidak sadar dalam intervensi tertentu dilabeli dengan “tidak sehat”. Tidak sadar dalam hal ini adalah tidak mempergunakan nilai-nilai nurani dalam diri.

Nalar yang bersandar pada nurani adalah penalaran yang baik. Ia tidak akan menjadi teori dan konsep semata tapi akan berupa pembuktian. Nalar yang lahir dari nurani inilah yang disebut nalar yang tajam. Masa depan kita, daerah kita, masyarakat, dan negara kita tergantung jenis penalaran apa yang kita terapkan, jika ianya lepas dari nurani maka sulit mencapai tujuan yang kita harapkan. Nasib kita ditangan kita sendiri karena kitalah pelakunya.
Agama memerintahkan kita untuk selalu melibatkan hati nurani dalam bersikap dan bertindak sebagai realisasi keimanan. Sebagai manusia yang beragama dan berbudaya sebaiknya kita tidak sekedar bernalar. Sebab jika hanya bernalar, Charles darwinpun bernalar. Bernalarlah dengan melibatkan nurani, agar kita tidak membangun peradaban dan kehidupan palsu di zaman yang sudah tua ini. Tingkis ulak ku bide, sesat ulak ku dene, lalu dimanakah letak kesadaran itu?

*Penulis Alumni Prodi Bahasa Inggris STAI GP takengon, tinggal di Takengon, Aceh Tengah

Comments

comments

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

No More Posts Available.

No more pages to load.