Oleh: Ahmad Dardiri*
Saat masih sekolah dasar sekitar tahun 1985 Saya yang berusia 15 tahun pernah ingin menjadi santri, terbayang usai tamat SD terus melanjutkan belajar di pesantren. Salah satu dorongan untuk menjadi santri itu timbul saat Saya membaca buku cerita yang Saya pinjam dari perpusatkaan sekolah, namun Saya lupa judul buku itu. Dalam buku itu diceritakan sebuah peristiwa di desa pada hari Jumat umat muslim hendak melaksanakan shalat Jumat, jamaah di masjid sudah penuh, waktu shalat Jumat sudah tiba, namun sang Khatib dan Imam belum/tidak hadir. Kemudian salah seorang pengurus masjid mengumumkan kepada jamaah, siapa diantara jamaah yang berkenan menggantikan menjadi khatib dan imam, para jamaah saling berpandang-pandangan, kebingungan. Tiba-tiba, ada seorang anak muda asing yang bangkit dari duduknya dan berkenan menjadi khatib dan imam. Para jamaah terkagum-kagum dengan khutbah yang disampaikan, lancar, mengalir dan bacaan ayat-ayat Alquranya fasih. Salat Jumat usai dan berjalan lancar. Lalu diantara jamaah menanyakan asal-usul pemuda asing tadi, ternyata ia adalah santri dari sebuah pondok pesantren moderen yang tidak asing lagi di Indonesia bahkan dunia.
Dari cerita di atas kita dapat melihat bagaimana kesiapan seorang santri, mereka mampu memberikan solusi terhadap problematka umat, karena memang para santri itu dilatih untuk hidup bertanggung jawab, mandiri, membentengi diri dari perilaku buruk, sederhana, mampu mengatasi berbagai kesulitan, rajin beribadah dan belajar, taat pada jadwal yang ketat, dan tidak bermanja-manja, dan pembinaanya 24 jam. Di pesantren para santri belajar Alquran dan Hadis yang merupakan petunjuk bagi manusia untuk mengatasi problematika hidup manusia yang lebih kompleks.
Maka wajar, seperti yang Saya saksikan dari teman-teman para santri, mereka para alumni pondok pesantren seperti tidak mempunyai beban ketika ia usai belajar dari pesantrennya, mereka melenggang berbaur bersama masyarakat, tidak pusing dengan pekerjaan apa yang harus dilakukan yang penting halal. Biasanya mereka mengadakan kegiatan pengajian untuk anak-anak di masjid atau musalla bahkan ada yang membuka pengajian di rumahnya, bagi yang orang tuanya yang tani maka akan melanjutkan pekerjaan orang tuanya bertani, yang punya kemauan berdagang membuka usaha dagang, mereka ternyata mampu untuk menjadi toke kopi, buka pangkalan gas dan bahan bakar minyak, membuka bengkel, penjahit, jualan sembako, pupuk dan bahkan membuat dan memimpin pesantren dan mencetak generasi yang membanggakan.
Sekarang banyak anak-anak yang memilih menjadi santri untuk belajar di pesantren, mereka ada yang mendapat dukungan orang tua dan ada yang tidak. Memilih masuk ke pesantren tentu dengan alasan masing-masing, ada faktor eksternal dan ada faktor internal. Faktor eksternal misalnya karena dipaksa, tidak diterima di sekolah favorit, dapat beasiswa, dapat rekomendasi dari organisasi, dan ikut-ikutan. Faktor internal seperti ingin mendalami agama, ingin menguasai bahasa inggris atau hafalan Alquran dan Hadis, ingin banyak teman, ingin hidup berdisiplin dan insyaf. Yang jelas minat belajar di pondok pesantren semakin tinggi.
Menurut Prof. Dr. Phil. Kamaruddin Amin, M.A., Direktur Jenderal Pendidikan Islam Kementerian Agama, bahwa tingginya kesadaran masyarakat atas pentingnya pendidikan sebagai pembentuk akhlak menjadi salah satu pendorong mereka menyekolahkan anak di pondok pesantren. Mereka menilai, ilmu agama dapat menjadi fondasi keimanan yang kuat untuk membentuk akhlak yang baik, sehingga ketika terjadi masalah saat dewasa kelak, anak memiliki pegangan dan dapat mencari solusi sesuai dengan kaidah agama Islam.
Di sisi lain orang tua sekarang merasakan bahwa kehidupan anak-anak penuh dengan serba kecukupan, instan, dan apa-apa dibantu orang tua, berangkat sekolah menggunakan sepeda motor padahal masih anak-anak, smartphone, android dan gadget jadi pegangan sehari-hari, sinetron dan cerita picisan di televisi jadi makanan siang dan malam, sehingga mereka melupakan waktu makan apalagi ibadah, teknologi telah memanjakan mereka. Dengan tinggal di pondok pesantren, mereka belajar menggantungkan hidup mereka sendiri, harus taat dengan aturan yang ketat, ketahuan membawa handphone disita dan dimusnakan, berpacaran dikenakan hukuman, hidup terbiasa dengan keterbatasan karena harus berbagi dengan para santri lainnya, kemandirian akan menjadi tantangan yang harus diwujudkan, karena mereka berpisah dari orang tua, suasana seperti ini tentu sudah menjadi menu harian para santri.
Memang, ada juga kekhawatiran orang tua mengantarkan ke pondok pesantren, takut nanti jadi teroris, atau jadi korban seksual ustadz cabul, tapi itu tidak banyak dan ini perlu selektif dalam memilih pesantren sebagai tempat belajar, karena masih banyak pondok pesantren yang nyaman untuk mendidik generasi muda yang berlian.
Menjadi santri nampak membanggakan, bangsa ini lahir juga berkat perjuangan para santri, mereka siap berjuang melawan penjajah, mereka menolak ajaran sesat komunis, mereka merebut, mempertahaankan dan mengisi kemerdekaan. Bangsa ini terselamatkan. Dan wajar jika Presiden Joko Widodo menetapkan tangggal 22 Oktober menjadi Hari Santri Nasional sebagaimana yang ia tuangkan dalam Keputusan Presiden Nomor 22 Tahun 2015. Para santri akan mewarnai kehidupan, dalam keluarga, masyarakat, dan negara.
Sekali pun Saya tak pernah jadi santri setidaknya pernah dididk oleh laki-laki perkasa yang pernah menjadi santri, beliau begitu keras mendidik Saya untuk istiqamah menunaikan salat (jika subuh tak bangun disiram dengan air), gemar mengaji, hidup mandiri dengan motivasi yang selalu dikatakan berulang “Tak akan kuberikan ikan kepadamu, yang kuberikan adalah kail untukmu”, mintalah kepada Allah, kamu sudah sekolah dan memiliki sedikit ilmu, hiduplah sederhana, jangan mengada-ada, jangan cengeng, bangkit dan bekerjalah.
Saya mengenal santri hanya dari cerita, dari bacaan, dari teman pergaulan, dan tak pernah merasakan, jadi tak sempurna memang bila menuliskan tentang santri. Dan sekarang pola-pola santri yang mendidik Saya ingin terus dijalankan dalam menitii sisa kehidupan selama itu benar dan diridhai Allah subhanahu wata’ala.
Keinginan saya memang pupus, maklum finansial tidak mendukung waktu itu, tapi nampaknya anak-anak Saya juga ingin menjadi santri. Hal ini Saya ketahui ketika Saya katakan kepada anak keempat dari lima bersaudara yang masih belajari di Taman Kanak-Kanak, “Kamu, tamat TK, lanjut ke MIN terus lanjut ke MTs atau SMP ya!” Anak Saya menjawab: “Tidak mau, Aku maunya kek (seperti) Kakak.” Memang, anak sulung Saya sudah menjadi santri di sebuah pondok pesantren Indrapuri Aceh Besar. Demikian juga anak kakak dan adik Saya ada yang semangat menjadi santri pada pesantern yang berbeda dan mereka adalah cucu dari laki-laki perkasa yang pernah mendidik Saya dan sebelas saudara Saya, semoga Allah mengampuni dosa-dosanya, menyayangi, dan memaafkan kesalahan-kesalahnnya. Selamat Hari Santri….
*Kepala MTsN 7 Aceh Tengah domisili di Jagong Jeget