Martabat Seorang Dosen*

oleh

Oleh : Radensyah**

MENDIDIK manusia agar berakhlak mulia adalah salah satu tujuan pendidikan indonesia. Agar tercapai, negara memberi amanah kepada Dosen melalui kualifikasi akademik untuk mendidik berdasarkan Undang-undang.

Dosen adalah profesi yang bermartabat karena fungsi, peran dan kedudukannya sangat strategis dalam bidang pendidikan. Mudah-mudahan ALLAH SWT membalas budi-kebaikan para dosen di akhirat kelak. Seorang Dosen dapat dikatakan sosok yang telah berpendidikan karena telah menempuh jenjang pendidikan yang tinggi. Ini ditandai dengan bukti fisik berupa gelar yang diberi oleh negara. Namun, sebagaimana halnya jabatan banyak pula yang mengingkarinya.

Sangat besar harapan agama dan negara kepada para Dosen di perguruan tinggi untuk melahirkan mahasiswa/mahasiswi yang berakhlak dan berkualitas. Saat ini banyak dosen yang responsible terhadap dunia pendidikan sehingga mengadakan diskusi, mengupgrade pengetahuan, membuat kajian ilmiah, melaksanakan penelitian dan menulis buku yang bertujuan mewujudkan generasi berakhlak dan produktif.

Namun sayang, tidak sedikit juga dosen yang tipak dagu, perumpamaan di Gayo yang maksudnya membuang muka (penulis menyebutnya membelakangi pendidikan) serta kurang meresapi amanah yang diembankan kepunggungnya. Kenapa diatas penulis menggunakan kata tipak dagu karena belum muncul dari dosen itu rasa  terima kasih kepada negara yang telah menjadikannya sosok yang bergelar secara gratis.

Sekarang banyak dosen yang telah kehilangan martabatnya, alasannya karena tidak lagi mengindahkan atau menyadari fungsi, peran dan kedudukannya sebagai dosen. ini berdasarkan data yang penulis himpun dari pengalaman, wawancara dengan mahasiswa bimbingan, rekaman, selalu memprioritaskan data segar dan sebagai partisipan. Diskusi hasil berdasarkan dunia kualitatif dengan menggunakan pendekatan konteks dan psikologi pendidikan.

Salah satu fakta yang menarik untuk dikaji secara ilmiah adalah ketika dosen ditugaskan membimbing skripsi. Suatu hari seorang mahasiswi melakukan chat dengan dosen pembimbingnya melalui WA, mahasiswi ini menggunakan bahasa yang cukup santun, menggunakan salam karena pembimbingnya beragama islam, melibatkan tutur karena hendak memuliakan, dan konten pertanyaan yang baik. Balasan pembimbingnya baik juga, namun berisi kata-kata berikut ini “jangan dibawa urusan kampus kerumah *maksudnya kerumah saya*. 

Mari kita teliti mengapa si pemilik skripsi bertanya demikian sebelumnya, ternyata dia sudah menunggu pembimbing tersebut selama dua bulan dikampus tempat dosen tersebut mendidik. Setiap dihubungi dia menetapkan hari dan jam, kemudian dia menundanya. bahkan sering membatalkan keputusannya sendiri.

Dosen tersebut berkata jangan bawa urusan kampus kerumah, secara bersamaan  dia bawa urusan rumahnya kekampus, itu bagaimana? mungkin ini yang dimaksudkan oleh Bapak Anies Rasyid Baswedan “saat ini dalam pendidikan kita ada gap yang begitu besar” penulis sangat menyayangkan ternyata Gapnya ada di Perguruan Tinggi.

Tindakan pembimbing seperti diatas apabila disertai dengan alasan yang jelas maka akan diterima dengan berlapang dada, tetapi jika tidak disertai alasan, maka dosen tersebut sedang membatasi dunia pendidikan.

Kenapa penulis talkaktive sekali membahas bimbingan skripsi, karena saat terdekat mahasiswa dan dosen ada disini. Disini akan segera kita ketahui, kita dibimbing, diberitahu, diajak berfilsafat, dibiarkan, atau disalahkan. Ada yang ketika dijumpai garuk-garuk kepala, pura-pura sibuk, mukanya sangar dan tindakan-tindakan aneh sejenisnya. Disini pulalah martabat seorang dosen dipertanyakan. kita lebih sering mendengar kutukan saat seseorang bimbingan skripsi daripada saat belajar diruangan.

Penulis sendiri dulu pernah dibimbing. HP Nokia tiba-tiba berbunyi “Raden dimana, tunggu disana ya…” iya Buk Jawaban saya. Beliau mendatangi saya karena memaklumi saya yang tidak memiliki kendaraan waktu itu, dan pernah saya dibimbing disamping jalan sambil berdiri. penulis juga kaget ketika dikomentari tentang penggunaan kertas secara tidak hemat. Beliau berkata “buat bimbingan besok, print disebelahnya ya.. supaya hemat”, spontan penulis membalas “nanti ibu kesulitan bu, Beliaupun Spontan Membalas, “enggak apa-apa”.

Sekarang dosen-dosen banyak di warung kopi atau jadwal diluar, ada yang memang terkait pendidikan (administrasi kampus) dan ada pula yang tidak. padahal ratusan skripsi menunggu untuk ditela’ah dan disisipkan konsep islam dan nilai-nilai budaya.

Pada dasarnya dosen sangat didengar ucapannya (masen delahe) baik dalam dunia akademik maupun didalam masyarakat dan punya nilai lebih apabila memaparkan suatu ilmu pengetahuan. Namun sayang banyak dosen disibukkan oleh kehidupannya sendiri, dengan administrasi dan hal lain sehingga didalam pendidikan dia hanya jadi penonton. Padahal Kita mendambakan dosen yang bermartabat karena karyanya bukan karena gelarnya. “martabat seorang dosen”.[]

*Catatan dari kampung Inggris Pare, Kediri, Jawa Timur

**Penulis adalah Alumni STAI Gajah Putih 2010 Jurusan Tarbiyah.

Comments

comments

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

No More Posts Available.

No more pages to load.