Oleh : Nanda Winar Sagita
KETIKA masih menjabat sebagai Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Anies Baswedan pernah berpidato pada acara Kongres Peradaban Aceh di AAC Dayan Dawood Banda Aceh pada tanggal 9 Desember 2015 silam. Dalam pidatonya tersebut beliau sempat mengatakan bahwa dari 13 bahasa daerah yang terdapat di Aceh, ada 187 kosa kata yang sudah masuk ke dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI). [baca : Rajab Bahri masukkan Kosakata Gayo jadi Bahasa Indonesia]
Adapun klasifikasi dari ke-187 kosa kata tersebut meliputi: 112 kosa kata dalam Bahasa Aceh, 45 kosa kata Bahasa Gayo, dan 30 kosa kata Bahasa Alas. Sebenarnya selain 3 bahasa tersebut, masih ada kata-kata dari bahasa daerah lain yang sudah pantas untuk dimasukkan ke dalam KBBI, misalnya kata smong dari bahasa Simeulue yang artinya merujuk pada peristiwa tsunami.
Meskipun demikian, dalam tulisan kali ini penulis hanya akan membahas tentang kosa kata dalam KBBI yang berasal dari bahasa Gayo saja. Hal ini bukan bermaksud untuk mendiskreditkan bahasa lain, akan tetapi hanya untuk sekadar berbagi informasi yang kiranya masih belum banyak diketahui, khususnya oleh orang Gayo sendiri.
Menurut Domenyk Eades, bahasa Gayo masuk ke dalam kelompok Melayu Polinesia, yakni bagian dari bahasa Austronesia yang mempunyai kedekatan dengan beberapa bahasa di Taiwan, Filipina, dan beberapa bahasa lain di kawasan Asia Tenggara. Adapun penutur bahasa Gayo bisa ditemukan paling banyak di daerah Aceh Tengah, Gayo Lues, Bener Meriah, dan beberapa daerah yang ruang lingkupnya lebih kecil seperti daerah Lokop Serbejadi (Aceh Timur) dan Gayo Kalul (Aceh Tamiang).
Seperti yang bisa kita telusuri dalam Kamus KBBI Edisi V, sebenarnya kosa kata dalam bahasa Gayo yang memiliki kode Gy terdapat lebih dari 45 kosa kata, lebih tepatnya 51 kosa kata. Untuk lebih jelasnya, dapat dilihat sebagaimana daftar berikut ini:
- Ais, artinya bola menyentuh tangan (pemain bola kaki)
- Ampang, artinya tikar kecil khas Gayo berbentuk persegi empat, dihiasi sulaman, biasanya digunakan sebagai pelaspis tempat duduk pada acara adat
- Ampar, artinya padi yang sudah menguning
- Amung, artinya tempat pembawa barang yang terbuat dari kulit atau kain, diletakkan di punggung
- Angkap, artinya menetap di sekitar kediaman orang tua istri dalam adat perkawinan suku Gayo
- Awis, artinya tempat membawa barang, biasanya terbuat dari kain, digantungkan di bahu
- Bantut, artinya mengobati penyakit dengan cara memindahkannya ke tempat atau ke benda lain
- Baso[h], artinya terendam atau terkena air
- Batur, artinya tumpukan batu yang dibuat agar ikan berkumpul di tempat itu
- Bebalun, artinya anyaman khas Gayo, terbuat dari pandan berbentuk wadah, biasanya dengan hiasan
- Bebeke, artinya anyaman khas Gayo, dibuat dari pandan tanpa hiasan
- Belegong, artinya kalung yang terbuat dari untaian manik-manik
- Cengkude, artinya durian yang hampir matang
- Cengkung, artinya duduk dengan posisi kaki dilipat serta diangkat sambil bermenung
- Cepera, artinya lauk sangrai khas Gayo, dibuat dari jamur dan beras, disajikan pada perayaan perkawinan
- Cerap, artinya mencangkul bersama dengan posisi berderet ke samping
- Dedango, artinya cabang kayu yang sudah mati dan membusuk
- Degos, artinya bekas luka di bawah bibir
- Gading, artinya biji kemiri yang sudah tertanam atau tertimbun lama dan tempurungnya sudah memutih
- Gecik, artinya kepala desa adat pada suku Gayo
- Genuren, artinya peranti memasak manisan, terbuat dari tanah liat
- Getih, artinya tali di sawah untuk mengusir burung
- Keri, artinya serat daun nenas
- Kerot, artinya ketepatan pengucapan kata (terutama dalam mengaji)
- Kici, artinya menunjuk orang dengan jari tengah, jari yang lain dibengkokkan untuk mengejek atau menghina
- Langus, artinya penganyam terbuat dari bambu untuk melembutkan daun pandan yang mulai dianyam
- Lingke, artinya kerak di sekitar luka yang mulai sembuh
- Maji, artinya hampir busuk (tentang padi atau ubi)
- Mukenel, artinya prinsip hidup orang Gayo yang membuat mereka berani berkompetisi di dalam dan luar masyarakatnya
- Mukim, artinya kumpulan beberapa kampung dalam suku Gayo
- Pedi, artinya susunan atau tumpukan daun sirih
- Peluk, artinya wadah dibuat dari bambu, dan sebagainya berbentuk bulat memanjang digunakan untuk menampung belalang tangkapan
- Pemue, artinya hipnosis untuk binatang (terutama binatang bias, seperti harimau)
- Ramal, artinya mengembunkan agar lebih lembut (misalnya tembakau, daun pandan yang sudah dikeringkan)
- Reluh, artinya mencuci sambil dikocok (benda berongga berbentuk bulat panjang atau bermulut kecil, seperti botol atau tabung yang panjang)
- Rise, artinya daging mengeras karena tertusuk duri (paling sering di telapak kaki)
- Rusip, artinya bunga yang keluar dari jantung pisang berbentuk seperti buah pisang dan berisi air yang rasanya manis
- Sangral, artinya memasak telur (seperti menggoreng) tanpa minyak tetapi menggunakan daun pisang
- Sarang, artinya ilmu penahan atau penunda turunnya hujan
- Saur, artinya nyanyian bersama dalam kesenian Saman
- Selensung, artinya sirih dengan ramuannya berbentuk seperti kerucut, digunakan dalam acara yang berbau mistik
- Seliwen, artinya bakal kuku yang keras di ujung jari
- Seroh, artinya mulai keluar buahnya (tentang padi)
- Sige, artinya tangga untuk memanjat pohon terbuat dari sebatang bambu bercabang
- Sisip, artinya jeruji pada sangkar burung, terbuat dari bambu atau lidi
- Sugul, artinya pertanda alam berupa hujan pada waktu hari panas (yang menyiratkan orang meninggal)
- Temuluk, artinya lapisan paling bawah dalam kelas sosial suku Gayo, biasanya dahulu diisi kaum budak
- Tenenik, artinya bakal telur yang terdapat dalam perut unggas
- Teniron, artinya permintaan selain mahar yang harus dipenuhi pihak pengantin laki-laki dalam adat perkawinan suku Gayo
- Terlok, artinya tunas yang tumbuh dalam tanah (bukan dari batang yang terpotong)
- Timuk, artinya memukul dengan kepalan tangan mengarah ke ulu hati
Dari ke 51 kata tersebut, kita dapat melihat adanya kosa kata yang berasal dari bahasa Gayo yang hanya dipahami di satu daerah tertentu (seperti cengkudu di Gayo Lues), bahasa Gayo lama yang bahkan banyak tidak diketahui lagi oleh generasi muda (seperti belegong), serta beberapa kosa kata yang merupakan bentuk serapan dari bahasa lain akan tetapi tetap ditulis dengan kode Gy (seperti mukim dan gecik dari bahasa Aceh). Selain itu, jika dikategorikan berdasarkan bentuk kelas kata, maka secara keseluruhan didominasi oleh nominal (kata benda) yakni 33 kosa kata, dan disusul oleh verbal (kata kerja) yakni 13 kosa kata, sedangkan adjektiva (kata sifat) hanya ada 4 kosa kata.
Sebenarnya selain ke 51 kosa kata tersebut, masih ada 2 kosa kata lagi yang berasal dari bahasa Gayo, tetapi tanpa diberi kode Gy, yaitu belah (nama klan pada suku bangsa Gayo) dan didong (kesenian tradisional Gayo). Namun untuk kosa kata saman, pengertian dalam KBBI justru dilakukan generalisasi dengan definisi sebagai berikut: “tari ritmik di Aceh, dilakukan oleh lebih dari sepuluh pemain sambil duduk berlutut dan berjajar, mereka membuat gerak pukulan telapak tangan ke dada dan paha secara berirama, diiringi dengan nyanyian pantun yang dimulai oleh syekh selaku pimpinan.”
Sebagai penutup, kita berharap Pemerintah Indonesia bisa merevisi kekeliruan tersebut dan memasukkan lebih banyak lagi kosa kata daerah ke dalam KBBI. Bukan hanya dari bahasa Gayo saja, tetapi berlaku juga untuk bahasa daerah lain di daerah Aceh, yang notabenenya sama sekali belum menyumbang kosa kata dalam khazanah linguistik Nusantara.[]
Nanda Winar Sagita, Penulis adalah alumnus FKIP Sejarah Unsyiah kelahiran Kampung Wih Nareh Kecamatan Pegasing.