Oleh: Johansyah*
Umat Islam memiliki dua hari raya besar; idul fitri dan idul adha. Keduanya saling berkelindan. Idul fitri merupakan upaya orang-orang yang beriman untuk meraih takwa setelah satu bulan menjalankan ibadah puasa. Mereka menempa diri melalui diklat ruhaniah dengan aturan-aturan yang demikian ketat. Sedangkan idul adha merupakan pembuktian takwa. Berkurban merupakan salah satu implementasi dari nilai takwa. Dengan ungkapan lain takwa tidak hanya diwujudkan secara vertikal dengan taqarrub kepada Allah. Takwa harus diwujudkan dalam konteks horizontal antar sesama manusia.
Allah menegaskan dalam alqur’an; ‘shalatlah karena Tuhanmu dan berkurbanlah’ (QS. Al-Kautsar: 2). Dalam banyak ayat, biasanya Allah menyandingkan kata shalat dengan zakat. Namun dalam surah al-Kautsar kata ini disandingkan dengan perintah berqurban. Shalat merupakan wujud pengabdian kepada Allah, sedangkan berqurban adalah wujud solidaritas terhadap manusia. Takwa merupakan paket yang tidak terpisahkan antara pengabdian kepada Allah dengan solidaritas kepada sesama manusia. Kalau hanya salah satunya yang kuat, sementara yang lemah, maka orang belum dikatakan takwa. Dengan kata lain, takwa itu adalah baik dengan Allah dan baik juga dengan manusia.
Untuk selanjutnya, beberapa catatan penting akan diuraikan sebagai berikut; pertama, landasan utama untuk menjalankan perintah kurban adalah keikhlasan karena Allah. Ikhlas merupakan salah satu indikator utama takwa. Allah akan melihat keikhlasan hambanya dalam menunaikan perintah ini. Makanya Allah menegaskan; ”Daging-daging unta dan darahnya itu sekali-kali tidak dapat mencapai (keridhaan) Allah, tetapi ketakwaan dari kamulah yang dapat mencapainya. Demikianlah Allah Telah menundukkannya untuk kamu supaya kamu mengagungkan Allah terhadap hidayah-Nya kepada kamu. dan berilah kabar gembira kepada orang-orang yang berbuat baik” (Q.S. Al-Hajj: 77). Hal ini sesuai dengan perintah dalam surah al-Kautsar di atas; fashalli lirabbika wanhar (shalat dan berkurbanlah karena Tuhanmu), bukan karena motivasi lain.
Kedua, kurban adalah ungkapan rasa sukur atas nikmat yang diberikan Allah. Nikmat Allah tidak dapat dihitung. Maka sebaik-baik hamba adalah hamba yang pandai bersukur. Allah berfirman; jika kalian bersukur, maka akan Kutambah nikmat-Ku atas kalian. Sebaliknya, jika kalian kufur, maka sesungguhnya azab-Ku sangat pedih (QS. Ibrahim: 7). Secara lisan, orang berucap alhamdulillah, sedangkan secara perbuatan orang yang mendapat nikmat memberikan sebagian yang diperolehnya kepada orang lain.
Ketiga, makna lain menyembelih kurban yang lebih terbuka adalah menyembelih (membunuh) karakter kebinatangan seseorang. Manusia memiliki sifat ini dan itu dijinakkan melalui pendekatan (qurban) kepada Allah. Semakin tersingkir sifat kebinatangan dari diri manusia, maka semakin dekatlah dia dengan karakter manusia sesungguhnya. Sebaliknya, semakin banyak sifat kebinatangan yang mendominasi dirinya, maka semakin jauhlah seseorang dari karakter kemanusiaan sejatinya. Dalam ungkapan lain, manusia harus membunuh atau minimal menaklukkan sifat ego, ambisi, buas, dan ingin menguasai orang lain dalam dirinya. Karakter inilah yang dia jadikan ‘sembelihan’ dalam dirinya kalau mau mendekatkan diri dengan Allah dan manusia.
Keempat, perintah berkurban dengan menyembelih hewan pada hari raya idul adha, tepatnya di hari tasyriq, merupakan batas tuntutan minimal untuk berkurban. Artinya, kalau orang mau dapat melakukan lebih dari itu, dan bukan hanya terbatas pada hari raya adha saja. Merujuk kepada ayat di atas, substansi kurban adalah membangun solidaritas sosial yang tinggi. Dengan pemaknaan seperti ini, maka wujud kurban pun tidak sekedar menyembelih hewan kurban, tetapi mewujudkan nilai peduli dan berkurban dalam bentuk pikiran, tenaga, maupun materi.
Apalagi dengan kondisi ekonomi sekarang yang sulit, di mana masih banyak masyarakat yang hidup serba kekurangan. Maka uluran tangan dari orang-orang yang mampu di sekitarnya sangat diharapkan. Mungkin pernah terjadi di sekitar kita, ada anak cerdas yang putus sekolah karena kekurangan biaya pendidikan, langkahnya untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang selanjutnya terhenti. Sementara ada banyak orang di sekitarnya sebenarnya memiliki kemampuan secara materi, tapi mereka diam dan sedikit put tidak berinisiatif membantu yang keluarga yang bersangkutan. Bisa dikata, orang sekitarnya menghentikan takdirnya untuk menjadi orang sukses yang mungkin suatu saat membawa perubahan karena dia seorang yang berpotensi dan cerdas.
Bisa saja seseorang tidak menyembelih hewan kurban dihari yang telah disyariatkan, tapi di hari lain dia dapat berkurban dalam wujud lain yang juga tidak kalah nilainya dengan kurban yang disembelih. Bahkan tidak perlu besar, tapi kalau terkumpul jadi besar juga. Bagi orang kaya mungkin uang seribu tidak berharga, tapi bayangkan ketika uang seribu dikumpulkan oleh lima ratus orang dan diberikan kepada mereka yang membutuhkan, baik untuk kelanjutan pendidikan anak, membantu usaha, maupun menyelamatkan mereka dari kelaparan.
Dalam kasus lain, mungkin ada beberapa peristiwa yang sering kita lihat dan saksikan. Ketika ada rencana pembukaan jalan baru untuk jalur transportasi, beberapa pemilik tanah bertahan dan menegaskan tanahnya tidak boleh diambil untuk jalan kecuali dengan ganti rugi yang tinggi. Padahal jalan tersebut dimaksudkan untuk kepentingan masyarakat, termasuk dirinya. Dengan keterpaksaan, maka digeserlah jalur jalan ke tempat lain. Apa yang terjadi kemudian? Dia pun turut menikmati jalan tersebut seolah-olah tidak pernah terjadi apapun. Jika dia memiliki jiwa solidaritas sosial, maka diyakini sikapnya akan lebih santun dan terbuka, karena dia sendiri sadar, toh dia juga butuh jalan tersebut.
Banyak hal kecil di sekitar kita yang mencerminkan betapa rendahnya solidaritas sosial masyarakat. Karakter inilah sejatinya mampu dibangun dan diperkokoh melalui perintah kurban. Daging di hari raya melimpah, mungkin bukan itu yang dibutuhkan oleh saudara kita, ternyata mereka membutuhkan hal lain lebih dari sekedar kebutuhan untuk menyuguhi mereka makanan daging. Anak mereka perlu tambahan biaya pendidikan, usaha mereka butuh modal, keluarga mereka butuh uang untuk berobat, dan berbagai jenis kebutuhan lainnya.
Terakhir, dengan pemaknaan perintah kurban yang lebih terbuka dan luas, maka perspektif dan interpretasi mengenai hadits perintah kurban juga dimaknai lebih luas. Nabi saw bersabda; …‘siapa yang memiliki kelapangan rejeki, sementara tidak berkurban, maka jangan dekati tempat sujud kami’ (HR. Ahmad). Hadits ini merupakan penegasan dari perintah shalat dan berkurban dalam surah al-Kautsar; shalat dan berkurbanlah! Maka orang yang shalat di sisi Allah sia-sia apabila dia tidak mau berkurban (tidak peduli dengan keadaan sekitarnya). Shalat itu pengakuan, sementara kurban adalah ajang pembuktian. Pengakuan tanpa pembuktian adalah nihil. Akhirnya, marilah berkurban dalam makna sesungguhnya, dan mari ambil substansi dari pesan perintah kurban, yakni menjadikan kita sebagai pribadi yang ikhlas, sukur, dan peduli terhadap orang lain. wallahu a’lam!
*Johansyah, Pengkaji Studi Sosial-Keagamaan. Email: johan.arka@yahoo.co.id





