Arfiansyah

LAHAN Yayasan Budi Luhur yang dulu luas, kini telah dibagi dua. Setengahnya akan digunakan untuk pembangunan bank BPD Aceh dan setengahnya sedang dibangun gedung baru Budi Luhur.
Protes dan kecaman keras pernah dilayangkan. Namun, karena itu telah menjadi tanah pemerintah, semua suara tidak perlu digubris lagi. Cukup mencari jastifikasi untuk mengunakan uang sedeqah seluruh masyarakat Kejurun Bukit yang dikumpulkan oleh Tengku Damanhuri, yang dikenal dengan panggilan Tengku Silang.
Pada waktu itu untuk membeli lahan pembangunan Sekolah Tehnik Pertama Islam. Tengku Silang tidak berusia panjang. Dia wafat sebelum cita-cita pembangunan Sekolah Tehnik Pertama Islam dibangun. Cita-cita pembangunan sekolah tersebut dirajut pada tahun 1940an.
Pada awal-awal kemerdekaan, mimpi masyarakat Gayo untuk masa depan generasi berikutnya yang cerah terus dirawat. Tokoh-tokoh nasionalis seperti A. Wahab, bupati pertama Aceh Tengah, dan tokoh agama dan sosial seperti Tengku Jalil terus berupaya mempersiapkan masa depan yang cemerlang. Mereka tidak hanya sekedar bercita-cita dan beretorika, mereka bekerja mewujudkan ide-ide yang diharapkan menjadi landasan masa depan.
Dalam bidang seni misalnya, A. Wahab memperkenalkan musik orchestra dan theater. Hubungan agama Islam dan adat juga berusaha dipertemukan, mereka membuat pengajian yang tidak hanya dihadiri oleh warga Aceh Tengah, tapi juga luar daerah.
Pada tahun 1940an, misalnya, pengajian Tarbiyah Islamiyah asuhan Tengku Silang dihadiri oleh santri dari Pesisir Aceh dan Sumatera Barat. Setelah kemerdekaan, Kampong Hakim dan Mendale adalah dua di antara pusat kajian ke-Islam-an yang terkenal pada waktu itu tidak hanya di Gayo, tapi juga di luar daerah.
Salah satu puncak capaian pendidikan agama generasi tersebut adalah terbitnya buku Tafsir Gayo karangan Abdurahman Daudy. Tidak tanggung-tanggung, buku tersebut diterbitkan di Kairo, Mesir. Buku tersebut ditulis dengan aksara arab jawi berbahasa Gayo. Buku itu memuat beberapa ayat Al Qur’an dan hadist pilihan yang ditafsirkan secara kontektual oleh beberapa tokoh agama Gayo. Meskipun, buku tersebut hanya tafsir ayat Al-Quran dan hadist Rasul, tapi buku tersebut juga merupakan sebuah karya sastra sya’er. Tafsir-tafsirnya didendangkan oleh beberapa Ceh Didong dan sering dilantunkan di masjid-mesjid sebelum azan magrib. John Bowen menyandingkan karya tersebut dengan karya Syeich Hamzah Fansuri, ulama sufi dan Mufti terkenal Kesultanan Aceh.
Buku Ahmad Daudy tersebut adalah buku satu-satunya berbahasa Gayo dengan aksara Arab Jawi. Dan satu-satunya buku karya ulama Gayo hingga saat Prof. Al Yasa’ Abubakar menulis buah pemikirannya tentang agama, hukum, dan kehidupan sosial dan budaya.
Penulis terkesima ketika membaca dokumen Budi Luhur dan takjub dengan jauhnya visi pembangunan generasi-generasi Gayo yang mengalami langsung penjajahan Belanda dan Jepang dan terlibat langsung dalam peperangan DII. Capaian mereka dalam mempersiapkan pondasi masa depan tidak mampu diimbangi oleh generasi saat ini, yang hanya mengalami perang DII dan GAM.
Penulis melihat ada dua kunci capaian mereka. Pertama, mereka berjuang dan berkorban bersama-sama. Ratep musara angok. Nyawa musara peluk menjadi pegangan pada masa itu. Mengumpulkan harta benda demi sesuatu yang mereka belum lihat wujudnya merupakan gambaran betapa visi masa depan mereka begitu satu dan kokoh. Meskipun Tengku Jalil dan Tengku Silang merupakan dua tokoh yang bertolak belakang dan memiliki pandangan keagamaan dan sosial yang berbeda, tapi mereka satu pandangan tentang bagaimana seharusnya masyarakat Gayo beragama dan beradat.
Dalam ingatan Alm. Ali Jadun pada tahun 2015, dia tidak pernah melihat Tengku Jalil yang keras dan lantang menangis selain ketika berada dihadapan jenazah Tengku Silang. Tengku Jalil menangis sedih tersedu-sedu. Dia be-sebuku. Walaupun Abdul Wahab (tokoh nasionalis) dan Saleh Adry (tokoh agama) adalah dua tokoh yang berbeda dan memiliki pendekatan berbeda dalam gerakan reformasi sosial dan agama, tapi mereka saling menutupi dan tidak menjelekkan. Abdul Wahab malah mengangkat Saleh Adry sebagai juru bicara kewidanannya saat itu. Juru bicara Abd. Wahab. Mereka berbeda, tapi diikat oleh kesamaan akan visi masa depan Gayo. Mereka adalah tokoh yang berbeda, tapi mengerakkan massa masing-masing dari arah yang berbeda menuju masa depan yang sama.
Kedua, mereka semua adalah figur panutan. Masing-masing memiliki basis massa. Abdul Wahab adalah seorang tokoh politikus Nasionalis. Sedangkan tokoh seperti Ilyas Leube, Ahmad Daudy, Abdul Jalil dan Saleh Adry adalah tokoh agama yang tidak hanya berorasi, tapi aktif dalam kehidupan sosial, budaya dan seni. Mereka, dalam ungkapan Ali Syari’ati, adalah Rawsyan fikr. Pelajar/sarjana yang tercerahkan. Pelajar atau sarjana yang memahami tanggungjawab pengetahuan yang mereka miliki terhadap kehidupan sosial. Mereka mengamalkannya dengan sungguh dan ikhlas. Meski mungkin dengan pengetahuan yang tidak lebih hebat daripada generasi sekarang, kesungguhan dan keikhlasan mereka memberikan bekas yang jelas dalam ingatan generasi hari ini.
Mereka seolah-olah begitu percaya visi mereka akan diteruskan sehingga tidak pernah percaya akan “kemustahilan dan kesia-siaan.” Mereka begitu percaya terhadap kita.
Kedua faktor tersebut tidak kita temukan pada masa saat ini. Masyarakat Gayo, baik di Aceh Tengah dan Bener Meriah cenderung terbelah-belah. Perbedaan yang mereka miliki tidak dipandang sebagai sebuah keuntungan seperti dipandang oleh generasi 40an hingga 60an.
Saat ini, perbedaan malah semakin memisahkan jarak antar kelompok. Masing-masing memiliki karakter yang berbeda dan tidak diikat oleh visi masa depan yang sama. Pandangan masa depan masyarakat Gayo sekarang adalah masa kini.
Tentu saja, kita bisa melihat ini dari dinamika politik, blue print pembangunan daerah, pengelolaan hutan dan tanah, gerakan politik, sosial dan budaya. Generasi masa penjajahan Belanda sudah berpikir tentang Sekolah Tehnik Islam dan ramai-ramai bersedekah untuk membeli tanah untuk membeli lokasi sekolahnya. Generasi saat ini kemudian menjual lokasi tanah itu untuk sesuatu yang tidak diketahui untungnya.
Generasi yang matang di pasca kemerdekaan sudah berpikir pentingnya Badan Usaha dengan, lagi, berderma untuk mendirikan PT. Bus Aceh Tengah, generasi saat ini menghentikan laju bus kebanggaan orang tua kita tersebut.
Demikian juga dalam hal ketokohan. Baik Aceh Tengah dan Bener Meriah tidak memiliki figur panutan yang berkharisma. Barangkali, orang tua masyarakat Gayo terakhir adalah alm. Ali Jadun, yang mengalami lima kejadian besar di Aceh; Perang Belanda, Jepang, DII, GAM, dan Masa Damai.
Generasi saat ini memiliki beberapa tokoh, namun hanya tokoh politik. Visi pembangunannya pun belum mampu menyaingi visi Abd. Wahab. Abd. Wahab sudah membayangkan bahwa daerah tengah (Aceh Tengah, Bener Meriah, Gayo Lues dan Alas saat ini) terlalu besar untuk dijadikan satu kabupaten.
Bila dilanjutkan, pembangunan daerah tengah akan terlambat. Dia kemudian memisahkan Alas dari Aceh Tengah. Pada masanya pula, perusahaan transportasi PT. Aceh Tengah didirikan. Majelis Permusyawaratan Ulama pertama di Indonesia juga berdiri pada masanya dengan nama Persatuan Alim Ulama Kewidanaan Takengon. Satu tahun kemudian, 1963, MPU Aceh yang menjadi cikal bakal MPU Indonesia, dirikan oleh Ali Hasymi di Kutereje.
Barangkali hanya bupati Mustafa M. Tamy yang masih dikenang karena 8 terobosan pembangunannya, salah satunya adalah Bandara Rembele saat ini.
Politisi dan birokrat saat ini cenderung membelah untuk kepentingan masing-masing kelompok dan pribadi. Baik itu kepentingan belah Uken dan Toa, kepentingan mempertahankan pengaruh yang hampir sirna, dan kepentingan keluarga besar dan daerah pemenang.
Jangkauan visi dan cita-cita masa depan Gayo hanya sejauh hari ini, ke kelompok dan diri sendiri, serta dibangun atas dasar cita-cita partai politik dan ambisi pribadi. Para analisis Gayo mungkin berpikir bahwa karakter republikan masyarakat Gayo menjadi salah satu factor yang sulit mempersatukan masyarakat Gayo. Namun, karakter tersebut ternyata bukan penghalang generasi pasca kemerdekaan.
Membaca masa lalu Gayo, kita akan melihat betapa jauhnya hari ini tertinggal dari masa lalu. Dan kita seharusnya malu.[]
*Pengamat seni budaya, mahasiswa S3 Antropologi Hukum di Universitas Leiden Belanda