Oleh : Mahbub Fauzie*

Pernikahan di dalam ajaran Islam merupakan sarana menjaga martabat dan kehormatan manusia. Karena itu, Islam sangat tidak setuju dengan praktek-praktek pergaulan manusia dalam kaitannya hubungan pergaulan antar laki-laki dan perempuan yang tidak melalui ikatan pernikahan yang sah syarat dan rukunnya.
Ajaran Islam tentang pernikahan sangat sesuai dengan fitrah manusia sebagai hamba Allah Swt dan juga sebagai makhluk sosial. Pernikahan yang sah secara hukum agama dan peraturan perundang-undangan yang berlaku merupakan bagian penting dari upaya melindungi dan menjaga kehormatan serta martabat pasangan suami isteri (pasutri) yang menikah.
Pernikahan yang sesuai dengan perintah agama dan aturan pemerintahan akan berdampak positif bagi masa depan kehidupan rumah tangga pasutri, baik secara, sosial, psikologi dan lain sebagainya.
Hal yang sangat populer terkait dengan tujuan pernikahan adalah mewujudkan keluarga yang sakinah mawadah warahmah, yaitu keluarga yang di dalamnya senantiasa terjalin hubungan saling menentramkan, membahagiakan, kasih dan sayang dalam capaian ridha Allah Swt. Sebagaimana tersirat dalam pesan kitab suci Al-Qurán Surah Ar-Rum ayat 21.
Bagi pasutri yang menikah yang mendambakan kehidupan keluarga yang sakinah mawadah warahmah, tentunya harus diawali terlebih dahulu dengan perencanaan-perencanaan yang matang ketika mereka akan melangsungkan pernikahan.
Diawali dengan meluruskan niat yang benar ketika hendak menikah, sebab dalam ajaran Islam pernikahan merupakan bagian dari ibadah sebagai media pengharapan ridha Illahi untuk segala kebaikan dan kemaslahatan. Dalam hal ini, visi spiritual dan juga material menjadi bagian penting dari fondasi awal niat untuk menikah.
Dari sinilah dikenal dengan istilah ‘din’ (agamanya) sebagai pilihan utama ketika seseorang untuk menentukan pasangan hidupnya. Sebagaimana terekam dalam pesan hadits Nabi Muhammad Saw yang maksud ringkasnya, jika memilih pasangan untuk dijadikan istri boleh atas 4 (empat) hal, yaitu: hartanya, statusnya, kecantikannya dan agamanya. Untuk terbebas dari persoalan, maka pilihlah karena agamanya.
Selanjutnya, yang penting diingat ketika hendak menikah tentunya ada persetujuan kedua mempelai. Baik yang diawali karena sudah saling kenal lama, baru kenalan atau dikenalkan yang kemudian kedua pasangan itu sepakat menikah dan tidak ada hambatan syarí dan aturan hukum negara untuk menuju kearah itu.
Hal ini juga perlu diperhatikan seiring sejalan dengan kesepakatan-kesepakatan kedua calon pasutri. Termasuk prinsip kesetaraan dan kesepadanan kedua mempelai. Sebab, prinsip kesetaraan dan kesepadanan ini dimungkinkan sangat menentukan perkembangan kondisi hubungan pasutri di kemudian hari.
Kesiapan-kesiapan lainnya seperti mengawali pernikahan dengan khitbah (peminangan) yang merupakan penyampaian kehendak sesorang laki-laki untuk menikahi seorang perempuan. Kemudian pemberian mahar, perjanjian pernikahan, akad nikah dan juga penyelenggaraan walimah (resepsi). Semua itu tentu harus dilalui dalam kehidupan pasutri yang menikah.
Niat yang benar dan cara yang benar dalam pernikahan dua orang hamba Allah berjenis kelamin laki-laki dan perempuan itu diniscayakan bisa menjadi pertanda baik dalam upaya mewujudkan keluarga sakinah mawadah warahmah.
Niat yang benar dan cara yang sesuai syarí tentu sudah dipahami bagi kita yang sudah belajar agama terkait munakahat. Namun di tulisan ini perlu juga diingatkan tentang cara yang benar terkait persiapan dan kelengkapan administrasi ketika calon pasutri mau menikah.
Agar pernikahannya sah sesuai ajaran agama dan legal dalam aturan negara. Sebab itu, ada tahapan penting yang perlu diingat dalam perkawinan di Indonesia adalah pencatatan secara resmi oleh Pegawai Pencatatan Nikah (PPN).
Untuk tercatat secara legal pernikahan pasutri, dalam uraian “Prosedur Pendaftaran dan Pencatatan Peristiwa Nikah atau Rujuk” (Subdit Bina KUA Keluarga Sakinah Ditjen Bimas Islam Kemenag RI, 2017), maka secara umum ada 3 (tiga) tahapan yang harus ditempuh. Yaitu pendaftaran, kursus calon pengantin dan pencatatan nikah.
Secara umum, langkah-langkah pendaftaran peristiwa nikah dengan mendatangi petugas Kantor Urusan Agama (KUA) untuk menyerahkan persyaratan administrasi atau berkas-berkas seperti N1, N2, N3, N4, N5, N6 dan N7 yang sudah diisi dan ditandatangani Kepala Desa, Foto copy Identitas Calon Pasutri, Wali (orangtua) dan lain-lain.
Di KUA, Penghulu atau PPN akan menerima dan memeriksa semua kelengkapan berkas, akurasi dokumen dan lain sebagainya terkait data calon Pasutri. Di sini calon pasutri memilih, menentukan dan menyampaikan hari dan tanggal pelaksanaan Kursus Calon Pengantin serta waktu pernikahan (akad nikah).
Calon pengantin menyetor biaya pelaksanaan akad nikah sebesar Rp. 600.000,- (Enam Ratus Ribu Rupiah) ke Bank Persepsi atau Kantor Pos, jika akad nikah dilaksanakan di luar kantor dan balai nikah serta di luar hari dan jam kerja (dengan menunjukkan Kode Billing PNBP NR, kode Billing bisa minta ke petugas KUA atau konfirmasi bagaimana cara mendapatkannya) dan menyerahkan bukti setor ke KUA. Apabila akad nikah di kantor atau balai nikah, maka tidak dipungut biaya sepeser pun atau Rp. 0,- (Nol Rupiah).
Selanjutnya pelaksanaan Kursus Calon Pengantin (Suscatin) sesuai jadwal dan materi yang telah ditetapkan. Jika pendaftaran dan suscatin sudah dilalui, maka tinggal menunggu pelaksanaan akad nikah. Dalam hal ini, kepada Calon pasutri atau Pasangan Calon Pengantin untuk mempersiapkan diri, menjaga kesehatan, bagi Catin Laki-laki menghafal lafadz Ijab Qabul, dan lain-lain. Urusan teknis walimah dan lain-lain serahkan saja ke kawan dan kerabat Anda.
Demikianlah tahapan-tahapan untuk menikah yang tercatat dan Anda akan mendapatkan bukti Sahnya Nikah sesuai agama dan legal-nya sesuai aturan Negara. Disini perlu diujarkan, bahwa bukti ikatan cinta sepasang manusia bukanlah bon-bon atau kue coklat, tapi sepasang buku kutipan akta nikah berwarna hijau dan coklat!.
Barakallah…
*Penulis adalah pelayan masyarakat yang bertugas di KUA Kec. Linge, satu di antara tugasnya memberikan layanan pernikahan.