FKP Unsyiah dan Pemkab Abdya Bahas Peluang Budidaya dan Konservasi Sidat

oleh

ABDYA-LintasGAYO.co : Pemerintah Kabupaten Aceh Barat Daya melaksanakan Focus Groups Discussion (FGD) untuk membahas peluang pengembangan perekonomian masyarakat desa di aula kantor Bappeda setempat pada Kamis 27 Juli 2017.

FGD tersebut dihadiri oleh para camat dan kepala dinas terkait, turut hadir dua orang nara sumber dari Unsyiah, yaitu Prof. Muchlisin guru besar di Fakultas Kelautan dan Perikanan (FKP) Unsyiah dan Dr. Zulham dosen Fakultas Ekonomi dan Bisnis (FEB) Unsyiah.

Dalam sambutannya Kepala Bappeda Abdya yang diwakili oleh Chalid Hardani, S.Pi, M.Si menyampaikan bahwa FGD ini bertujuan untuk mengindenfiksi komoditas unggulan di sektor perikanan dan merumuskan strategi pengembangannya, dan diharapkan dapat disinerjikan dengan program kerja Badan Usaha Milik Gampong yang telah ada ataupun akan dibentuk.

Chalid juga berharap alokasi dana gampong tidak hanya digunakan untuk pembangunan fisik saja namun juga dapat digunakan untuk meningkatkan  perekonomian sektor riil pedesaan misalnya bidang perikanan budidaya dan juga peningkatan kapasitas aparatur desa.

Lain itu, FKP Unsyiah dapat membantu untuk transfer teknologi budidaya perikanan kepada masyarakat dan FEB Unsyiah membantu menjembati pemasaran produk-produk yang akan dihasilkan.

Dalam FGD tersebut mengemuka beberapa komoditas perikanan yang dapat diunggulkan di Abdya antara lain ikan keureling, ikan sidat, kakap putih, udang windu dan bandeng. Namun setelah mendengarkan pemaparan dari kedua nara sumber diskusi mengerucut kepada ikan sidat (ileah dan kirai) sebagai produksi unggulan di Abdya.

Menurut Muchlisin  terdapat 9 jenis sidat di Indonesia, hasil penelitian kami terakhir dengan menggunakan teknik DNA barcodinng  terdapat 3 jenis sidat di Aceh yaitu Anguilla bicolor, Anguilla marmorata dan Anguilla bangelensis.

Lebih lanjut Muchlisin menjelaskan bahwa di Abdya sendiri yang sudah pasti terdapat 2 jenis, yaitu bicolor dan marmorata. Menurut laporan dari masing-masing camat potensi sidat di Abdya sangat besar diantaranya terdapat dibeberapa sungai besar dalam Kecamatan Susoh, Tangan-tangan, Lembah Sabil,  Meukek dan Kuala Batee.

“Lab kami saat ini memang sedang fokus pada penelitian ikan sidat dan ikan-ikan lokal bernilai ekonomis tinggi lainnya antara lain keureling, kerapu, dan seurukan,” kata Muchlisin.

Prof. Muchlisin juga menjelaskan bahwa saat ini belum ada teknologi untuk pembenihan ikan sidat secara komersil termasuk di Jepang, oleh karena itu sumber benih masih mengandalkan hasil tangkapan dari alam.

Dijelaskan, ikan sidat bersifat migrasi dari perairan tawar ke perairan laut dalam untuk memijah (kawin), benih yang baru menetas terbawa arus ke kawasan pesisir dan kemudian setelah mencapai ukuran tertentu masuk ke muara-muara sungai (fase glass eels) dan terus naik ke hulu membesar menjadi elver dan yellow eels  dan akhirnya setelah dewasa kembali ke laut untuk memijah.

Oleh karena itu, kata Profesor ini lagi, jika Pemerintah Abdya ingin menjadikan sidat sebagai sala satu komoditas unggulan maka usaha-usaha budidaya  harus dikembangkan sehingga tidak bergantung kepada tangkapan dari alam semata, dan untuk memastikan benihnya tersedia dengan cukup maka perlu dikembangkan usaha-usaha pendederan dari fase glass eels menjadi fase elver yang sudah dapat ditebarkan dalam kolam.

“Untuk memastikan kecukupan benih glass eels maka usaha-usaha konservasi sungai-sungai yang teridentifikasi memiliki potensi sidat ini mutlak diperlukan. FKP Unsyiah akan menerjunkan tim peneliti dari mahasiswa untuk melakukan survey potensi glass eels di semua sungai-sungai besar yang ada di Abdya sehingga diperoleh data yang akurat,” tutup Muchlisin.

Sementara Dr. Zulham dalam pemaparannya menyampaikan bahwa pangsa pasar untuk sidat masih terbuka luas, terutama ke Jepang, Hongkong, Taiwan dan beberapa negara Eropa. Harga jualnya juga tergolong tinggi mencapai 50 USD per kg dan dalam bentuk olahan dapat lebih mahal lagi.

“Saat ini Jepang hanya mampu memenuhi kurang dari separuh kebutuhan domestiknya. Selain di ekspor dalam keadaan hidup, sidat juga telah diekspor dalam bentuk olahan (orang Jepang menyebutknya inugi kabayaki), oleh karena itu usaha ini akan sangat menguntungkan juga diusahakan dengan serius. Jika rencana ini berhasil dilaksanakan maka ini adalah yang pertama di Aceh,” tandas Zulham. [SP]

Comments

comments

No More Posts Available.

No more pages to load.