Oleh Dr. Johansyah*
SAYA masih tertarik menyoroti kebijakan lima hari sekolah atau Full Day School (FDS) yang dari beberapa bulan ke belakang hingga kini kelihatannya masih riuh dan menjadi perbincangan hangat. Dalam tulisan sebelumnya, FDS Untuk Penguatan Karakter (Lintasgayo.co, 11/07) diuraikan tentang peluang serta kemungkinan kecil FDS dapat diterapkan secara maksimal di semua daerah kecuali Jakarta sebagai pusat ibukota. Apalagi digembar-gemborkan untuk penguatan karakter, adalah sesuatu yang perlu dikaji ulang lagi.
Kalau begitu, harus ada alternatif pemikiran sebagai solusi dari persoalan ini, terutama bagi pendidikan dalam lingkup ke-Aceh. Jika FDS pada pendidikan formal dianggap bukan jalan terbaik untuk penguatan karakter peserta didik, maka harus ada tawaran-tawaran pemikiran yang lain. Nah, seminggu yang lalu, saya sempat berdiskusi dengan Arfiansyah, Dosen UIN Ar-Raniry yang saat ini sedang menyelesaikan studi doktoralnya di Belanda. Dari diskusi tersebut muncul sebuah pemikiran; “kenapa tidak coba dikembangkan dayah kampung?” katanya. Menurut saya ini masuk akal dan memungkinkan untuk dikembangkan.
Dayah kampung merupakan bentuk pendidikan berbasis masyarakat (community-baset education). Artinya inisiasi dan pengembangannya dari, oleh, dan untuk masyarakat itu sendiri. Caranya bagaimana? Ada beberapa aspek yang harus diperjelas, yakni bentuk lembaga, kurikulum, tenaga pengajar, dan tentu saja pendanaan. Pertama, bentuk lembaganya adalah dayah. Dalam hal ini, pengertian dayah dibedakan dengan dayah reguler. Dayah dalam konteks ini adalah lembaga pendidikan yang konsen pada pendidikan agama, tapi santrinya tidak menginap. Bahkan waktu belajarnya dimungkinkan dari setelah ashar hingga menjelang maghrib.
Kedua adalah kurikulum. Kurikulum dalam hal ini terkait dengan akidah, ibadah dan muamalah yang dihimpun dalam studi pendidikan agama, serta pengembangan bakat santri. Diupayakan tidak lagi banyak belajar teori, tapi lebih banyak berorientasi pada praktik. Materinya tentang hal-hal yang dasar saja, tentang bersuci, tayamum, whudhu, shalat, penyelenggaraan jenazah, dan sebagainya. Minsalnya penyelenggaraan jenazah, seorang guru nanti memeraktikkan secara langsung bagaimana memandikan, mengafani, menshalatkan, sampai menguburkan.
Selain terkait materi-materi dasar tentang pendidikan agama, dayah kampung ini juga diharapkan mampu menggali dan mengembangkan bakat dan minat santri. Agar tidak terkesan seperti pendidikan formal, apa yang di pelajari setiap hari tidak perlu ditetapkan. Kalau memang hari itu santri ingin belajar tentang praktik shalat, maka guru siap mengajarkannya. Jadi materi dan kurikulum diupayakan sesuai dengan keinginan santri. Guru atau ustadz cukup memberi gambaran tentang kemungkinan yang dapat kita dalami di dayah kampung.
Adapaun yang ketiga adalah guru atau ustadz. Guru atau ustadz yang diprioritaskan tentu saja guru yang memiliki kapasitas untuk mengajarkan materi-materi sebagaimana disampaikan pada point kedua tadi. Agar maksimal, maka aparat kampung atau kalau ada panitia khusus nantinya mengadakan seleksi yang objektif sesuai dengan standar kelayakan. Mereka-mereka inilah yang nanti dipercaya menjadi guru atau ustadz yang mengelola dayah kampung ini. Agar berjalan maksimal, panitia dapat menjalin kerja sama dengan pemerintah, terutama dinas pendidikan dan kementerian agama kabupaten/kota.
Selanjutnya yang keempat terkait dengan pembiayaan. Setiap kegiatan tentu membutuhkan biaya. Apalagi kegiatan yang terorganisir seperti ini. Tentu membutuhkan biaya. Sekarang sudah ada Anggaran Dana Desa (ADD) atau Anggaran Dana Kampung (ADK). ADK secara umum bertujuan peningkatan aspek pembangunan baik prasarana fisik maupun non fisik dalam rangka mendorong tingkat partisipasi masyarakat untuk pemberdayaan dan perbaikan taraf hidupnya. Nah, berarti ada peluang untuk mewacanakan dan mewujudkan dayah kampung yang pembiayaannya dibebankan pada ADK.
Sudah saatnya pemerintah kampung memikirkan pembangunan bidang non-fisik, terutama yang berkaitan dengan pengembangan Sumber Daya Manusia (SDM). Saya tidak tau persis bagaimana pembagiannya, tapi kalau bisa antara pembangunan non-fisik dan fisik itu bisa berimbang. Sekarang kelihatannya untuk pembangunan fisik jauh lebih banyak. Tapi ini hanya asumsi, untuk penguatannya kiranya perlu dipelajari labih jauh ke lapangan.
Tujuan Dayah Kampung
Dayah kampung ini bertujuan antara lain; pertama, adanya upaya untuk meningkatkan partisipasi dan peran aktif masyarakat dalam pendidikan. FDS yang digagas pemerintah tampaknya menitikberatkan tanggung jawab pendidikan ini pada sekolah. Padahal pendidikan itu bukan hanya di sekolah. Peran keluarga dan masyarakat juga sangat signifikan dalam membentuk watak atau karakter peserta didik.
Kedua, dayah kampung juga dapat menjadi lapangan pekerjaan bagi para sarjana pendidikan Islam. Sekarang, jangankan menjadi Pegawai Negeri Sipil (PNS), mencari tempat honor saja susah. Nah, dengan adanya program dayah kampung, dapat mengurai pengangguran para sarjana atau lulusan-lulusan dari dayah sendiri. Kalau dimanaj dengan baik, maka program ini sebenarnya dapat meringankan beban pemerintah dalam pendidikan.
Ketiga, dayah kampung yang berbasis nilai-nilai keagamaan sudah barang tentu akan sangat mendukung program Penguatan Pendidikan Karakter (PPK), apalagi dalam konteks masyarakat Aceh. Keberadaan dayah sudah tidak asing lagi. Akan sangat baik, apabila setiap lingkungan tidak terlepas dari nilai-nilai pendidikan. Apalagi pendidikan yang tangguh dan baik itu adalah pendidikan yang diselenggarakan secara kolektif. Adanya peran dan tanggung jawab bersama dari semua pihak dengan sendirinya dapat membentuk karakter anak
Mungkin ada yang bertanya, bagaimana dengan program Gerakan Masyarakat Maghrib Mengaji (Gemmar mengaji) yang menjadi program pemerintah? Bagaimana pula dengan Taman Pendikan al-Qur’an (TPA)? Sama sekali tidak masalah. Justru dayah kampung dimaksudkan untuk memperkuat program dan lembaga tadi. Apalagi dayah kampung dikonsentrasikan untuk memperdalam pemahaman dan sekaligus mengimplementasikan pengetahuan keagamaan bagi santrinya. Beda dengan program Gemmar mengaji dan TPA yang fokus pada program pembinaan baca al-Qur’an.
Sesuai dengan judul tulisan ini, dayah kampung adalah sebuah wacana yang kemungkinan dapat dikembangkan sebagai upaya mengatasi persoalan pendidikan. harapannya, dengan adanya dayah kampung, maka tanggung jawab pendidikan dapat terbangun secara kolektif, tidak dititikberatkan pada lembaga pendidikan formal. Untuk selanjutnya dibutuhkan tanggapan dan saran dari semua pihak untuk mengarahkan wacana ini. Atau mungkin ada pemikiran lain yang lebih baik, tentu harus didukung. Semoga dapat menjadi bahan renungan bersama.
*Johansyah, Ketua STIT Al-Washliyah Aceh Tengah. Email: johan.arka@yahoo.co.id.