Oleh : Dr. Johansyah, MA*
Geli-geli lucu rasanya ketika mengikuti pemberitaan terkait wacana Full Day School (FDS). Di tengah derasnya gelombang penolakan terhadap program ini, Kemdikbud terlihat ngotot untuk tetap menerapkannya. Dalil yang dipakai untuk meyakinkan publik bahwa program ini penting adalah semata untuk penguatan Pendidikan Karakter (PPK) di sekolah dengan waktu belajar selama delapan jam belajar sehari.
Arus penolakan publik terkait kebijakan FDS ini demikian keras. Ini menandakan bahwa kebijakan ini bukan sebagai sebuah kebijakan yang diharapkan sesuai dengan kondisi dan kebutuhan pendidikan saat ini. Lantas, kenapa kebijakan ini dipaksakan? Jawaban sebenarnya ada pada pemerintah. Kita hanya bisa menebak maksud dan tujuannya. Yang jelas, mestinya pemerintah mengulang kaji kebijakan ini. Jika banyak penolakan, haruskah dilanjutkan? Ada apa?
Jika tetap diterapkan, yang terjadi malah bisa sebaliknya, bukan penguatan karakter, tapi pelemahan karakter. Logikanya sederhana, bahwa penambahan waktu belajar delapan jam tersebut tidak dapat menjadi jaminan bahwa pendidikan karakter akan menguat. Saya menganggap pemerintah lebih mengerti bahwa pendidikan karakter itu bukan soal kuantitas jam belajar, tetapi kualitas pembelajarannya.
Terkait dengan pendidikan karakter, maka beberapa hal berikut harus menjadi perhatian serius bersama. Pertama, kualitas guru. Kembali saya tegaskan bahwa terkait dengan pendidikan karakter, kunci utamanya adalah guru. Apapun ceritanya, pemerintah mestinya konsen terhadap penguatan karakter guru terlebih dahulu. Kualitas guru harus diperbaiki. Ini membutuhkan waktu yang lama dan proses yang rumit.
Ada beberapa hal yang menjadi perhatian; 1) fakultas keguruan dan ilmu pendidikan atau fakultas tarbiyah sebagai ladang dan pabrik penghasil tenaga pendidikan dan kependidikan, terutama dosen dan muatan kurikulumnya; 2) Selanjutnya yang tidak kalah penting adalah membedah semua persoalan sistem rekrutmen guru. Saya melihat sistem rekrutmen guru selama ini sangat lemah, tidak ada standar yang jelas untuk mengidentifikasi mana guru yang benar-benar guru, dan mana guru yang hanya pura-pura guru. Sekedar menyegarkan ingatan, ketika tes menjadi guru, berapa persen soal-soal yang diberikan terkait dengan persoalan pendidikan? Jawab sendiri; dan 3) terkait dengan pola pembinaan dan peningkatan kualitas guru. Ada program sertifikasi, tapi tuntutannya juga masih kuantitatif, bukan kualitatif. Inilah di antara persoalan guru yang perlu menjadi perhatian pemerintah.
Adapun yang kedua, pemerintah jangat hanya memusatkan penguatan pendidikan karakter pada pendidikan formal. Jujur, pendidikan karakter yang sesungguhnya itu adalah keluarga. Orangtua harus memiliki waktu untuk bercengkrama dengan anak-anak mereka. Harus ada waktu bagi orangtua untuk mencurahkan perhatian dan kasih sayang pada anak-anak. Kalau FDS tetap diterapkan, maka waktu tatap muka antara anak dan keluarga semakin sedikit.
Ini yang barangkali menjadi persoalan para orangtua yang hidup di kota-kota besar, terlebih ibukota. Jam kerja mereka rata-rata sehari penuh. Bahkan ada juga yang bekerja hingga malam hari. Kalau dikaitkan dengan upaya penguatan pendidikan karakter melalui keluarga, ini bisa jadi blunder. Saya yakin, kita sadar dan mestinya menyadari bahwa sedikit demi sedikit peran keluarga semakin rapuh. Waktu tatap muka anak dengan orangtua hanya pada malam hari. Itu pun tidak mungkin maksimal karena anak pun sudah lelah, orangtua juga demikian. Pagi harinya, masing-masing sibuk dengan aktivitas sendiri.
FDS bisa jadi tepat untuk ibukota, tapi belum tentu tepat menurut daerah lain. Muncul pertanyaan, kenapa kebijakan pendidikan ini kemudian terkesan dipaksakan secara nasional? Kalau memang Jakarta butuh FDS, silakan. Tidak usah memaksa daerah lain untuk menerapkannya. Saya yakin banyak daerah yang tidak siap dengan kebijakan ini. Kondisi dan situasi ibukota dengan daerah jelas berbeda. Untuk itu, kebijakan pendidikan juga tidak boleh seragam, tapi harus beragam. Tergantung kondisi wilayahnya.
Harapannya FDS bukan sebagai program pelarian dari persoalan orangtua yang umumnya tidak memiliki waktu untuk mengurusi anaknya di rumah usai pulang sekolah. Sekolah lalu dijadikan tempat penitipan. Ujung-ujungnya guru yang dibebankan untuk mengemban tugas dan tanggung jawab ini. Ya, dengan beragam alasan tentunya, pemerintah bisa menekan guru menjalankan progaram ini dengan alasan untuk memenuhi jam wajib sertifikasi.
Saya masih ingat, ketika baru naik jadi Wapres untuk kedua kalinya, Jusuf kalla merencanakan adanya perubahan jam kerja untuk kaum perempuan, lebih singkat dari kaum pria. Tujuannya agar mereka memiliki kesempatan untuk mengasuh anak-anaknya. Gagasan ini sebenarnya ditunggu-tunggu oleh publik, tapi hingga sekarang tidak muncul ke permukaan. Jika bisa diwujudkan, inilah salah satu alternatif bagi pemecahan masalah pendidikan, terutama keluarga. Terlebih untuk anak usia balita dan pendidikan dasar, kehadiran akan seorang ibu sangat memengaruhi perkembangan jiwa mereka. Tapi apa? Gara-gara tuntutan kerja, bukan saja anak usia pendidikan dasar yang korban, tapi anak-anak bayi pun harus sudah menempuh pendidikan di PAUD. Padahal di usia ini mereka lebih membutuhkan perhatian, kasih sayang, dan belaian sang ibu.
Saya yakin, selama pemerintah masih memusatkan dan menitikberatkan penguatan pendidikan karakter pada pendidikan formal, di sisi lain menafikan peran pendidikan keluarga, maka akan sulit terwujud, karena permasalahan utama pendidikan bukan di sekolah, tapi keluarga. Untuk itu, solusi yang dicari juga adalah solusi yang dapat memecahkan persoalan pendidikan keluarga. Seperti digambarkan pada awal tulisan ini bahwa kebijakan FDS didorong oleh persoalan jam kerja orangtua di ibukota sehari penuh sehingga mereka tidak memiliki waktu untuk mengasuh anaknya di rumah.
Kalau begitu, cari alternatif kebijakan lain. kebijakan yang menurut saya tepat adalah mengatur kembali jam kerja, baik di jajaran Pegawai Negeri Sipil (PNS) atau sekarang disebut Aparatur Sipil Negeri (ASN), maupun jam kerja perusahaan, terutama untuk kaum perempuan yang memiliki anak usia balita sampai pendidikan dasar.
Terakhir, penguatan karakter itu harus dilakukan pada semua lini. Tidak bisa dititikberatkan pada satu pusat pendidikan. Sekolah, keluarga, dan masyarakat harus bahu membahu dalam upaya penguatan karakter peserta didik. Dan yang jelas kebijakan FDS perlu pengkajian ulang. Tidak perlu memaksakan FDS kalau memang banyak yang menilai bahwa program ini tidak berdampak baik bagi pendidikan indonesia secara umum. Agar sejalan dengan kehendak publik, sebaiknya pemerintah meminta saran dari para pemerhati dan tokoh pendidikan sehingga kebijakan pemerintah tidak terkesan sepihak.
*Dr. Johansyah, MA, Ketua STIT Al-Washliyah Aceh Tengah. Email: johan.arka@yahoo.co.id.