
BLANGKEJEREN-LintasGAYO.co : Salah seorang anggota Gerakan Rakyat Aceh Menggugat (GeRAM), Abu Kari Aman Jarum yang berdomisili di Pining Gayo Lues menyatakan pembangunan apapun yang dilakukan Irwandi-Nova sebagai Gubenur Aceh dalam lima tahun kedepan perlu mempertimbangkan keberlanjutan lingkungan, Kawasan Ekosistem Leuser (KEL) dan mengakomodasi kepentingan masyarakat di sekitar hutan, sebagaimana dinyatakan dalam UUPA No.11 tahun 2006.
“Kedepan, GERAM dan Pemerintah Aceh harus sejalan, tidak perlu membuang-buang energi lagi gugat menggugat di pengadilan karena perbedaan kepentingan,” ungkap Aman Jarum dalam siaran pers, Selasa 4 Juli 2017.
Dikatakan, telah lama dirinya dan kawan-kawan melakukan penyelamatan hutan Aceh, khususnya hutan-hutan di Pining Gayo Lues, usahanya terasa sia-sia, karena Pemerintah telah lalai dan abai melakukan pencegahan terhadap perambahan dan kerusakan hutan di Pining.
“Pemerintah juga telah menerbitkan izin baik usaha tambang dan usaha lainnya di kawasan hutan Pining,” ungkap Aman Jarum.
Ditegaskan, anak cucu nantinya tidak butuh tambang, yang mereka butuhkan nantinya adalah air bersih dan hutan yang menjadi tempat penyimpanan air, apalagi sumber mata air di Pining mengaliri sungai sungai di Tamiang, Aceh Timur dan juga sungai di Nagan Raya.
“Oleh karena itu apa kita tega merusak alam yang merupakan titipkan amanah kepada kita, bukannya Allah SWT telah berfirman didalam Al Quran, untuk tidak membuat kerusakan di mua bumi”, kata Aman Jarum.
Soal Kebijakan Lingkungan GeRAM Siap Kawal Irwandi-Nova
Sementara menurut Nurul Ikhsan, penasehat hukum organisasi yang memfokuskan diri terhadap keadilan lingkungan hidup ini, GeRAM bersedia dan siap mengawal kebijakan pemerintah, Gubernur terpilih Irwandi-Nova, tentu kebijakan terkait dengan Pengelolaan Sumber Daya Alam (PSDA).
“Kami sebagai bagian dari masyarakat Aceh, sangat berharap kepada pemerintahan Irwandi – Nova, selama masa periode pemerintahannya untuk lebih memperiotaskan keberlanjutan dan kelestarian lingkungan hidup dari pada kepentingan uang, didalam kebijakan-kebijakan pembagunannya selama 5 (lima) tahun kedepan,” tegas Nurul Ikhsan.
Menurut Ihksan, prioritas lingkungan hidup dan pembangunan bekelanjutan bukanlah hal sulit bagi gubernur Irwandi karena sudah termaktub dalam visi misi nya pada saat kampanye sebagai calon gubenur dihadapan Rakyat Aceh, dan janji kampanye bukan sekedar janji, tetapi merupakan alasan mengapa pemilih memilih Irwandi-Nova di TPS.
GeRAM, pada periode Pemerintah Aceh yang lalu, kata Ikhsan, pernah menggugat Pemerintah dan Pemerintah Aceh karena tidak memasukan Kawasan Ekosistem Leuser (KEL) kedalam Rencana Tata Ruang dan Wilayah (RTRW) Aceh Tahun 2013 – 2033.
Pemerintah Aceh berpendapat tidak dimasukan KEL kedalam RTRW Aceh karena sudah terakomodasi makna KEL kedalam kawasan lindung didalam RTRWA.
Padahal, subtasi kawasan lindung dan KEL sangat berbeda dari segi perlakukan dan tanggungjawab pemerintah dalam pengelolaan dan pendanaan sebagai disebutkan dalam Pasal 150 UUPA No.11 Tahun 2006.
Sementara GeRAM, kata Ikhsan, berpendapat lain Kawasan Ekosistem Leuser adalah kekayaan alam yang berbentuk bentang alam yang memiliki keunikan, bahkan yang paling unik dari 25 bentang alam sejenis yang ada di dunia.
Menurut Emil Salim, sebagaimana disampaikan oleh Prof Emil Salim dalam keterangan ahlinya pada persidangan di Pengadilan Jakarta Pusat, November 2016, Perkara Nomor 33/Pdt.G/2016/PN.JKT.PST., menyampaikan wajar saja Pemerintah secara Nasional menetapkan KEL sebagai Kawasan Strategis. Selain itu keberadaan KEL sudah ada sejak masa Kolonial Belanda, yang tertuang didalam Kesepakatan Tapak Tuan kemudian dituangkan dalam decree gubernur Aceh tahun 1933, yang merupakan wujud dari perjuangan diplomasi dari pemuka pemuka masyarakat pada masa itu yang menentang invansi dari perkebunan dan perusahaan pertambangan penjajahan Belanda di wilayah Aceh (Said Mudahar Ahmad, dalam bukunya. Pada saat ini gugatan dari GeRAM tersebut sedang diperiksa pada tingkat Banding di Pengadilan Jakarta.
Menurut Nurul Ikhsan, Kawasan Ekosistem Leuser Itu tidak semuanya kawasan lindung, ada juga area pengunaan lain (APL), tapi anehnya APL yang seharusnya menjadi manfaat untuk sumber-sumber kehidupan masyarakat banyak, malah dikuasai oleh segelintir orang yang diberi hak melalui izin untuk membuka usaha perkebunan besekala besar dan izin usaha pertambangan, sehingga pada akhirnya masyarakat Aceh terjebak untuk merambah kawasan lindung dan atau dituduh menyerobot lahan milik perusahaan sehingga harus berurusan dengan hukum,
Hal di atas, kata Ihksan, sangat bertentangan dengan semangat perjuangan diplomasi pemuka pemuka masyarakat pada masa colonial. Pemerintah Aceh seharusnya patuh pada amanat Pasal 150 Undang Undang Nomor Tahun 2006 Tentang Pemerintah Aceh. [SP/Kh]