
*Catatan Marhamah
Kampug Karang Ampar adalah sebuah kampung yang berada di Kecamatan Ketol, Aceh Tengah, kampung ini terpencil dan bisa dikatakan terisolir, karena memang untuk menuju kampung ini dari Takengon mesti melewati Kabupaten Bener Meriah, untuk tiba di Karang Ampar dari kota Takengon kita perlu berjalan selama dua jam dengan mengendarai sepeda motor dan kalau dengan bus sekitar 3-4 jam, namun memang tidak ada bus atau angkitan khusus menuju kampung tersebut.
Tanggal 2 Juni, kami rombongan Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) Cabang Takengon menuju kampung karang Ampar, saya dan rekan-rekan menggunakan sepeda motor dan sebagian lainya lagi menggunakan bus pemda Aceh Tengah, saya memilih membawa motor supaya saat disana yang direncanakan 10 hari dapat mudah mobile menyusuri dusun-dusun kampung tersebut untuk bertemu masyarakat, dan selain itu barangkali bila ada keperluan bisa lebih mudah.
Agenda kami ya seperti biasa, setiap bulan suci Ramadhan Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) Cabang Takengon, melaksanakan kegiatan berbentuk seperti pengabdian kepada masyarakat bernama Student Work Camp (SWC) yang kali ini di Kampung Karang Ampar, Kecamatan Ketol Kabupaten Aceh Tengah. Tempat yang sebelumnya telah di lakukan survei oleh tim dari HMI.
Saya hanya ingin menceritakan bagaimana kondisi perempuan di kampung Karang Ampar, berhubung memang itu menjadi salah satu agenda kami dari Korps HMI Wati (KOHATI) yaitu lembaga semi otonom HMI yang bergerak dalam pemberdayaan perempuan, dalam struktur pengurusan HMI di tingkat cabang pun memang Ketua Kohati secara eks officio adalah bidang pemberdayaan perempuan.
Saya bersama sekretaris KOHATI, Aty Asmalinda setiap hari mencoba untuk bertemu ibu-ibu di kampung tersebut untuk berdiskusi tentunya berupaya dengan tanpa menggangu aktivitas mereka, sehingga dalam menggali semua informasi mengenai kondisi perempuan disana kami harus juga ikut aktivitas mereka, kebetulan di kampung ini memang tidak susah menjumpai ibu-ibu, sebab aktivitas ibu-ibu lebih banyak di rumah dengan mengikis pinang, maka tak jarang di depan rumah ibu-ibu secara berkelompok duduk dengan tumpukan pinang dan parang di tangannya.
Salah satunya ibu Auni, didepan rumahnya sedang mengikis pinang, kamipun meghampirinya, dan mengenalkan diri, diapun bertanya tentang keberadaan kami disana, langsung saya ceritakan kegiatan kami berbentuk sosial meliputi bakti sosial, pesantren kilat bidang pendidikan, serta safari Ramadhan. Ibu Auni sangat senang mendengar maksud kedatangan kami.
Sembari kami juga ikut mencoba belajar mengikis pinang dia juga bercerita, dulu Kampung Karang Ampar ini sangat rame, usaha warga beraneka ragam, namun semenjak kejadian konflik GAM yang terjadi di Aceh waktu itu, kampung karang Ampar merupakan kampung yang sangat mencekam, banyak yang meninggal, dikit-dikit bunuh, bahkan ada yang diseret kepalanya sepanjang jalan, cerita ibu Auni membuat saya merinding mendengarnya. Sebagian warga pindah, karna kampung sudah tidak aman, meninggalkan semua usaha yang telah panen, pergi cuma bawa badan saja, ibu disamping ini sampai struk akibat konflik tunjuknya pada rumah yang disamping, bu Auni melanjutkan ceritanya.
Sekarang kampung ini sudah mulai rame yang dulu pergi sudah kembali sebagian karna sudah perdamaian. Jadi banyak warga yang sudah kembali tapi dengan kondisi kebun sudah menjadi hutan lagi. Jadi harus (Muger) buka lahan kembali, sembari Ibu Auni dengan kupasan pinangnya.
Hari yang berbeda kami jalan-jalan, kembali kami lihat ibu-ibu mengupas pinang, sebagian dari kamipun mencoba bagaimana cara dan rasanya mengupas pinang, ternyata susah-susah gampang kalo tidak hati-hati bisa mengenai jari-jari, tidak jarang memang ibu-ibu disana jari-jarinya terluka akibat tersayat parang pembelah dan pengikis pinang.
Tanya kami kenapa harus mengupas pinang, dan untuk apa? Ibu Syafar bercerita, “Pinang ini baru bisa berbuah selama 6 Tahun di ambil dari batangnya dengan menggunakan kayu panjang yang diatasnya ada parang (penjelget). Dikumpulkan jadi satu dibawa pulang jadi kami kupas, kalo pinang muda 11.000 ribu per Kg, pinang bagus 13.000 sampai 15.000 ribu per Kg. Kalo banyak nanti diambil langsung sama tokenya, lumayan karna kerjanya tidak terlalu susah hanya butuh konsentrasi, tapi jika tidak konsentrasi bisa-bisa mengenai tangan,” Kata Ibu Syafar. Dilanjutkannya, bahwa pernah dikampung tetangga karna mengupas pinang jari-jari tangannya hampir putus.
Ternyata usaha ini telah lama digeluti ibu-ibu disana, bahkan karna pinang itu juga salah satu warganya sampai bisa umrah dari hasil pinang, namun tidak semua masyarakat kampung Karang Ampar memiliki kebun pinang, dan sebagian pohon pinangnya belum panen, sehingga sebagian besar ibu-ibu di kampung tersebut adalah buruh (ongkosen-Gayo red) untuk mengupas pinang milik orang lain, ibu-ibu disini lebih memilih kerja mengipas pinang daripada kekebun, alasannya kalau mengupas pinang lebih mudah dibanding harus bekerja kekebun, apalagi memang kebanyakan bapak-bapak atau laki-laki di Kampung tersebut juga lebih banyak mencari rejeki ke hutan, yaitu mencari buah Jernang.
Untuk bekerja sebagai pengupas pinang ibu-ini digaji dengan per kilogramnya Rp. 2000, sementara setiap orang dalam satu hari biasanya bisa mengupas pinang sampai 10 Kg, jika yang sudah lihai bisa mencapai 13-15 Kg, tapi enggak terlalu banyak bisa sampai 15 Kg per hari, jadi kesimpulannya dalam satu hari ibu-ibi di kampung ini hanya mampu mendapatkan uang dalam satu hari paling tinggi Rp. 30.000, tentu itu adalah pendapatan yang sangat kecil dibandingkan resiko yang dihadapi karena tidak tutup kemungkinan akan kehilangan jari-jari.
Bu Syafar salah satu pemilik kebun pinang ini sangat ingin ada alat khusus untuk pengupas pinang, agar tidak mengenai tangan, dan bisa menghindari para ibu-ibu cacat alias kehilangan jari-jari.
Selain itu, dikampung ini ibu-ibu rata-rata berpendidikan rendah dan juga banyak pernikahan muda, misalnya saja Ernawati yang masih inen mayak memang jauh lebih muda dari saya, umurnya baru sekitar 17 tahun, karena tidak melanjutkan sekolah maka tentunya menikah adalah pilihan yang terbaik mungkin menurut mereka.
Memang pendidikan adalah persoalan yang paling penting menurut kami di kampung ini, kebanyakan anak-anak putus sekolah, harapnnya ini bisa menjadinperhatian khusus bagi pemerintah, karena tanpa pendidikan tentu hal yang mustahil masyarakat di kampung ini dapat berkembang dan maju, untuk itu besar harapan agar pemerintah paduli pada nasip masyarakat pinggiran, semoga.
Penulis Ketua Korps HMI-Wati (KOHATI) HMI cabang Takengon