Oleh : Nurul Yaqin, S.Pd.I
Suasana hiruk-pikuk setiap menyambut bulan Ramadhan masih saja ramai dan meriah. Mulai dari acara pawai keliling dengan pernak-pernik islami, ramainya kembang api dan petasan, hingga melonjaknya harga sembako tahunan. Masjid dan musholla pun tumpah ruah hingga ke jalanan. Namun, memasuki 10 hari terakhir, ghirah Ramadhan semakin menyusut, jamaah pun kian hari semakin mengerucut.
Padahal pada bulan ini, Al-qur’an diturunkan kepada nabi Muhammad SAW (Al-baqarah : 185). Terdapat malam lailatul qadar ; malam yang lebih mulia dari pada seribu bulan (Qs. Al-qadar : 1-3). Allah menyediakan pintu khusus di surga bagi golongan yang berpuasa dan tidak bisa dimasuki oleh golongan lain (HR. Nasa’i). Bulan perisai pelindung dari api neraka (HR. Ahmad). Dan pada bulan ini doa-doa akan mustajab (dikabulkan) oleh Allah SWT (HR. Baihaqi).
Nilai lebih pada bulan Ramadhan seharusnya memberikan amunisi baru bagi setiap insan muslim dalam rangka meningkatkan kualitas ibadah. Bulan ini merupakan ajang untuk memperoleh pahala sebanyak-banyaknya. Sekecil apa pun amal kebaikan akan dilipatgandakan (Qs. Al-Zalzalah : 7). Dan berpuasa pada bulan ini merupakan ibadah paling spesial, karena Allah sendiri yang akan memberi honornya. “Setiap amalan adalah untuknya, kecuali puasa. Puasa itu untuk-Ku dan Aku sendiri yang akan memberika balasannya (HR. Bukhori dan Muslim)”. Lantas, apakah puasa hanya sekedar ibadah ritual antara Shaim (orang yang berpuasa) dengan Allah, tanpa adanya konstribusi dengan sesama manusia?
Ketika pahala puasa menjadi hak perogratif Allah, bukan berarti puasa hanya media untuk meningkatkan ibadah muamalah ma Allah (hubungan antara manusia dengan Allah) saja, melainkan juga untuk meningkatkan kualitas ibadah muamalah maan nafs (hubungan manusia dengan dirinya sendiri) dan muamalah maan nas (hubungan manusia dengan manusia lainnya).
Nilai Pendidikan Puasa
Nilai-nilai pendidikan yang terkandung dalam ibadah puasa selaras dengan apa yang telah disampaikan oleh Howard Garder dalam teori kecerdasan majemuk-nya (multiple intelligences). Di antara kecerdasan yang dikemukakan adalah kecerdasan intrapersonal (cerdas diri). Yaitu kemampuan mengenali dan memahami diri-sendiri serta berani bertanggung jawab atas perbuatan sendiri (muamalah maan nafs). Dan kecerdasan interpersonal (cerdas bergaul). Yaitu kemampuan seseorang untuk berhubungan dengan orang-orang di sekitarnya sehingga dia bisa merasakan secara emosionalnya (muamalah maan nas).
Nilai-nilai pendidikan dalam bulan puasa sangat mendukung terbentuknya kecerdasan intrapersonal dan interpersonal dalam teori yang dikemukkan oleh Howard Gardner tersebut. Pertama, nilai kejujuran. Berpuasa bukan hanya menahan dari rasa lapar dan dahaga, akan tetapi kejujuran kita juga diuji. Lisan kita harus dijaga untuk menghindari kebohongan-kebohongan yang dapat mengurangi kualitas puasa.
Kedua, nilai kesabaran. Sabar adalah salah satu kunci utama bagi orang yang berpuasa. Tentu Ini bukan perkara gampang mengingat makan dan minum merupakan kebutuhan rutin sebelum memasuki bulan puasa. Begitu pula suami-istri tidak bercampur selama berpuasa dari terbit fajar sampai terbenam matahari. Dan pasti ini memerlukan kesabaran yang tak biasa. “Sesungguhnya hanya orang-orang yang bersabarlah yang dicukupkan pahala mereka tanpa batas”(Qs. Az-zumar : 10)
Nilai disiplin. Tak banyak orang tahu bahwa puasa telah melatih kita untuk hidup berdisiplin. Kita dituntut bangun pagi untuk melaksanakan sahur. Dilanjutkan dengan menahan diri dari segala hal-hal yang membatalkan. Yang pada akhirnya kita berbuka puasa dengan adab yang benar. Malamnya kita dianjurkan untuk melaksanakan ibadah shalat tarawih. Ini adalah latihan kedisiplinan yang belum tentu kita bisa melakukannya di bulan-bulan lain.
Nilai sosial. Selama ini ketimpangan antara si kaya dan si miskin semakin kentara. Si kaya apatis dengan penderitaan si miskin. Pun sebaliknya, si miskin sentimen dengan sikap si kaya yang selalu ingin berkuasa. Tapi, Puasa secara tidak langsung mengajarkan si kaya dalam merasakan perihnya kelaparan seperti si miskin ketika tidak ada sesuap nasi, dan si miskin bisa meredam sikap tak suka terhadap si kaya melalui ibadah shadaqah. Dengan demikian akan terbangun kehidupan yang harmonis tanpa memandang kasta dan harta.
Namun, nilai-nilai pendidikan pada bulan Ramadhan ini hanya akan menjadi harapan semu jika setiap individu lalai untuk menggalinya. Dan alat penggali yang paling ampuh adalah keimanan. Oleh karena itu, mari kita gali lebih dalam nilai pendidikan pada bulan Ramadhan ini dengan penuh keimanan agar memperoleh pahala yang berlipat ganda. Amin.
*Nurul Yaqin, S.Pd.I merupakan pendidik di Pesantren Terpadu Daarul Fikri, Cikarang Barat, Bekasi dapat di hubungi di email mutiarayaqin[at]gmail.com