Oleh Prof. Dr. Al Yasa Abubakar, MA

(aceh.kemenag.go.id )
KETIKA berada di jalan raya, kita dapat menyaksikan beberapa tingkah dan perilaku para pengguna jalan. Sebagian mereka suka “main seruduk” berusaha menjalankan kenderaan sesuai keinginannya. Dia tidak peduli apakah tindakan tersebut melanggar peraturan, menyulitkan orang lain, atau bahkan menyusahkan dirinya sendiri. Sebagian yang lain berusaha mematuhi semua aturan, tidak melanggar lalu lintas dan tidak mau mengalah ketika merasa bahwa dia lebih berhak dari orang tersebut. Sering juga tidak mau memberikan kesempatan kepada orang lain, walaupun mereka telah memintanya. Sebagian yang lain, di samping tidak mau melanggar aturan lalu lintas, mereka juga memberi kesempatan kepada pihak lain ketika mereka memintanya. Bahkan ada yang dengan senang hati rela menghentikan kenderaan untuk memberikan kesempatan kepada pengendara lain, ketika dia merasa hal itu akan lebh bermanfaat, atau paling kurang tidak mengganggu kelancaran lalu lintas.
Perilaku di atas secara tidak langsung, barangkali dapat menjadi cermin tentang keadaan di tengah masyarakat, ada orang atau kelompok yang hanya mementingkan dirinya sendiri, dan tidak peduli kepada orang lain yang ada disekitarnya. Namun ada juga yang bersedia mempertimbangkan kepentingan orang lain, bahkan bersedia mengalah untuk membantu dan menghormati orang lain. Saya rasa semua kita maklum bahwa di tengah masyarakat, hatta dalam kelompok yang terkecil sekalipun, seperti keluarga selalu saja ada perbedaan. Bisa jadi dalam bentuk perbedaan kesukaan, kelapangan, kebiasaan, sampai kepada kepentingan dan nilai, yang sekiranya tidak dikelola secara baik dapat saja melahirkan perilaku “main seruduk” seperti ilustrasi lalulintas di atas.
Dalam Islam perintah untuk menghormati dan membantu orang lain yang ada di sekitar kita banyak sekali ditemukan, mulai dari tetangga, kerabat, kolega sampai kepada tamu. Sabda Rasulullah “Orang yang beriman kepada Allah dan hari akhirat maka hendaklah memuliakan tamunya” atau “Tidak sempurna iman seseorang sebelum mengasihi saudara (kerabat)nya seperti mengasihi dirinya sendiri” sering kita dengar diucapkan oleh penceramah atau dikutip dalam tulisan. Ajaran dalam hadis ini dan hadis lain yang semakna, memberi petunjuk bahwa menghormati orang lain termasuk dalam perbuatan mulia yang dianjurkan dan digalakkan di dalam Islam. Menghormati orang lain tidak saja dalam bentuk memberi bantuan secara langsung, tetapi dapat juga dalam bentuk membiarkan atau memberi kebebasan kepada pihak-pihak (orang lain) untuk mengekspresikan diri sesuai dengan yang mereka inginkan. Kebebasan untuk mengekspressikan diri yang menjadi bagian dari ajaran Islam untuk menghormati orang lain tentu banyak sekali bentuknya. Mungkin dalam bentuk pikiran dan pernyataan, mungkin dalam bentuk perilaku dan kebiasaan keseharian, sebagaimana mungkin juga dalam bentuk pemahaman dan praktek dalam masalah ibadat dan keagamaan.
Al-qur`an (bersama dengan sunnah Rasulullah) yang menjadi inti ajaran Islam oleh umat diyakini sebagai wahyu Allah, karena itu bersifat mutlak. Umat Islam juga yakin bahwa Al-qur’an berlaku untuk semua bangsa dan manusia, di semua tempat dan waktu sampai hari kiamat kelak. Umat juga sepakat bahwa isi Al-qur’an untuk dapat dipahami dan diamalkan dengan baik, perlu ditafsirkan dan dipahami, serta disistematisasi terlebih dahulu. Ada semacam keyakinan bahwa Al-qur’an tidak dapat diamalkan dengan baik sekiranya tidak dipahami dan tidak disistematisasi terlebih dahulu. Al-qur’an akan mendatangkan kemaslahatan sekiranya pengamalannya didasarkan pada pemahaman yang baik dan benar. Pemahaman dan sistematisasi ini, di samping bergantung kepada metode, dipengaruhi juga oleh budaya, lingkungan serta pengetahuan yang berkembang dalam masyarakat di daerah sang ulama (mujtahid) berada. Karena merupakan pemikiran manusia maka tafsir dan pemahaman tersebut bersifat nisbi, tidak mungkin menjadi mutlak. Dengan demikian ajaran Al-qur’an yang telah dipahami dan disistematisasi tadi (dalam bentuk ilmu kalam, fiqih, tasauf, dst) mempunyai dua wajah yang tidak dapat dipisahkan. Dari satu segi bersifat ilahiah, karena berasal dari wahyu yang suci, abadi dan mutlak. Sedang di segi yang lain bersifat manusiawiah karena merupakan hasil dari kegiatan memahami dan menafsirkan yang dilakukan oleh para ulama dan cendekiawan.
Berhubung Al-qur’an turun sebagai hidayah untuk semua manusia di semua tempat dan waktu, maka semua orang (muslim) di mana pun mereka berada dan kapan pun mereka hidup, wajib mengamalkan isinya. Untuk itu mereka (para ulama, setelah memenuhi persyaratan tertentu) diberi izin bahkan harus memahami dan menafsirkannya terlebih dahulu. Dengan demikian, sulit untuk membayangkan bahwa pemahaman atas Al-qur’an akan menjadi tunggal, hanya satu di semua tempat dan di sepanjang zaman. Dari segi waktu, secara sederhana pemahaman umat dapat dipisahkan kepada tiga babak (model). Babak pertama pemahaman masa Sahabat, babak kedua masa mazhab dan babak ketiga masa pembaharuan sekarang ini. Dari segi kecenderungan penggunaan akal, pemikiran umat dibedakan kepada yang berkecenderungan bayani (menggunakan bahasa sebagai metode tafsir), berkecenderungan burhani (menggunakan pikiran sebagai metode tafsir), dan berkecenderungan irfani (menggunakan kata hati, perasaan sebagai metode tafsir). Dalam semua bidang kajian ke-Islaman ditemukan banyak mazhab dan aliran.Dalam ilmu kalam ditemukan tiga mazhab besar, Muktazilah, Asy`ariah dan Maturidiah. Dalam fiqih ditemukan banyak mazhab, empat yang populer di kalangan sunni adalah Hanafiah, Malikiah, Syafi`iah dna Hanabilah. Dalam tasauf dan tarikat pun ditemukan aliran klompok yang relatif lebih banyak lagi, seperti Naqsyabandiah, Syatariah, Khalwatiah, Sanusiah, Samaniah, dsb.
Dengan demikian, di dalam Islam adanya keragaman sudah merupakan keniscayaan dan tidak akan dapat dihindarkan. Ketika Rasulullah masih hidup, keragaman ini terlihat pada dua hal. Pertama dari petunjuk dan bimbingan beliau sendiri yang dalam banyak hal memberikan lebih dari satu pilihan kepada umatnya. Misalnya beliau mengajarkan lebih dari satu doa (ada yang sampai sepuluh buah seperti doa iftitah dalam shalat, dan ada yang hampir tanpa batas, seperti doayang dibaca setelah selesai shalat fardhu) untuk dibaca pada peristiwa yang relatif sama. Beliau juga mengajarkan berbagai bentuk formal dalam ibadat, seperti cara duduk dan posisi tangan dalam shalat. Kedua terlihat dari kelapangan dan penghargaan beliau ketika para Sahabat menafsirkan perintah dan bimbingan beliau secara berbeda. Ketika perbedaan ini dikonfirmasi, Rasulullah sering hanya menjawab: la ba’sa (tidak apa-apa).
Pada masa Sahabat kesadaran untuk menghormati adanya keragaman masih sangat tinggi. Perbedaan yang terjadi di kalangan mereka, baik karena adanya contoh yang berbeda yang dipraktekkan Nabi, ataupun karena adanya izin untuk menafsirkan nash secara berbeda, atau karena mereka berbeda pendapat ketika tidak ada nash yang dapat mereka rujuk, tidak menyebabkan saling meremehkan ataupun saling menyalahkan diantara mereka. Kelihatannya mereka sangat yakin bahwa semua pilihan tersebut ada dalam kebenaran dan ada dalam bingkai mengikuti Rasulullah (Al-qur’an), karena itu tidak patut untuk dicela ataupun disalahkan. Sejarah mencatat, para Sahabat memberikan toleransi yang relatif sangat tinggi kepada Sahabat lain yang berbeda pilihan dengan dia, baik karena memilih sunnah yang berbeda atau pun karena adanya jalan pikiran yang berbeda ketika berdiskusi.
Wallahu a`lam bi al-shawab.
(sumber : alyasaabubakar.com)