Oleh: Husaini Muzakir Algayoni*
Apa guna punya ilmu tinggi kalau hanya untuk mengibuli, Apa guna banyak baca buku kalau mulut kau membungkam.” (Wiji Thukul)

MEDSOS kependekan dari media sosial jika dibicarakan maka pikiran kita akan tertuju pada status yang kita buat di jejaring sosial, salah satu tempat melepaskan ekspresi, entah itu fhoto happy atau selfie super lebay yang di upload, status dengan kata-kata yang bisa menyejukkan hati semua orang hingga status dengan nada provokasi, menghujat, menebar kebencian dan lain sebagainya dengan ungkapan-ungkapan yang tak pantas diucapkan. Facebook merupakan medsos yang masih eksis dalam belantika komunikasi walaupun media-media lain telah lahir dengan gaya baru super modern.
Medsos juga menjadi ajang perang pemikiran antara satu kelompok dengan kelompok lain atau dengan kata lain mendukung kelompoknya sendiri dan menghina kelompok orang yang tidak sesuai dengan kelompoknya dengan status-status yang ditulis di medsos tersebut, ketika facebook bertanya: apa yang anda pikirkan ?, maka apa yang ada dalam pikiran seketika itu bisa saja di publish tanpa ada renungan terlebih dahulu. Apakah status ini bermanfaat bagi orang lain atau malah membuat kemudharatan.
Semenjak hadirnya media sosial orang-orang begitu cerewet bahkan penulis sendiri tanpa menyadarinya. Setiap menit bahkan setiap detik statusnya hadir di dinding facebook. Seolah-olah membuat status menjadi kegiatan yang tak bisa diganggu-gugat atau ketika tidak membuat status sehari saja maka kepala merasa nyeri, otot-otot melepuh hingga hati merasa gelisah dan seterusnya ketika membuat status difacebook sudah menjadi rutinitas.
Penulis juga menyadari bahwa media sosial merupakan tempat paling ampuh untuk melepaskan ekspresi dan saling bertutur sapa. Dari amatan penulis, ada beberapa status yang di tulis di dinding facebook memberi manfaat seperti kata-kata mutiara yang mengobarkan semangat, memberikan informasi pengetahuan seperti tulisan-tulisan yang dipublish baik itu di blog maupun media online atau menjadi alat untuk berdakwah dalam media sosial, jalan seperti ini yang seharusnya kita praktekkan ketika memakai medsos.
Namun dilain sisi ada saja orang-orang yang membuat status dengan nada-nada provokasi, menghina bahkan menebar kebencian tanpa ada dasar. Dan yang menjadi aktor dari status tersebut bukanlah orang awam tapi orang-orang pintar yang bergelut di bangku pendidikan baik itu yang bergelar sarjana ataupun yang masih berstatus mahasiswa. Tapi itu terserah mereka mau berbuat apa dan membuat status tentang apa tapi yang amat disayangkan ialah kemana ilmu pengetahuan yang didapat ditempat belajar karena dimanapun tempat belajar tidak pernah mengajarkan provokasi, menghina apalagi menebar kebencian. “Apa guna punya ilmu tinggi kalau hanya untuk mengibuli” kata Wiji Thukul salah seorang sastrawan Indonesia.
Nah, pertanyaannya sekarang adalah. Masihkah kita cerewet dengan status-status memprovokasi suasana, menghina bahkan menebar kebencian di bulan ramadhan yang penuh dengan keistimewaan. Tulisan ini juga penting bagi penulis sendiri dan umumnya bagi pembaca yang budiman untuk bisa menjaga lisan dan tingkah laku di bulan ramadhan ini, saatnya kita cerewet untuk membaca al-Qur’an dan zikir atau cerewet dengan tulisan yang bermanfaat di dinding facebook daripada cerewet dengan status yang berbau sara.
Medsos: Mengkritik dengan Menulis
Aktor yang paling cerewet dengan nada-nada provokasi yang berbau sara di dinding facebook ialah orang-orang berintelektual seperti yang sudah penulis sampaikan diatas yang katanya menuntut ilmu diperguruan tinggi tapi amat disayangkan ia hanya bisa membuat status beberapa kalimat dan itupun mungkin hasil berita hoax atau tanpa mengklarifikasi terlebih dahulu berita yang dimuat.
Dari beberapa sumber yang penulis dapatkan bahwa rakyat Indonesia dalam minat membaca sangat rendah sekali tapi yang lucunya rakyat Indonesia paling cerewet ketika membuat status di media sosial, oleh karena itu rakyat Indonesia yang rendah minat membacanya begitu mudah di provokasi bahkan termakan berita hoax sehingga dengan mudah menebar isu sara, sungguh terlalu orang seperti ini dan ia juga lebih sering bertengkar di media sosial daripada bertengkar diperpustakaan dengan buku-buku.
Orang yang bergelut dibangku pendidikan seharusnya kata menghina tak ada lagi dalam pikirannya tapi yang ada hanya mengkritik, karena menghina itu berbeda dengan mengkritik. Ketika minat membaca seseorang itu tinggi maka ia melepaskan cara mengkritik itu dengan cara jitu yaitu dengan sebuah tulisan walaupun dalam tulisan itu kata-katanya pedas (ungkapan satire) saat didengar seperti para sastrawan bagaimana ia mengkritik pemerintah dengan karya fenomenalnya melalui puisi, para penulis melalui ide-ide dalam opininya sehingga bisa dipertanggung jawabkan dan juga bisa dibantah oleh penulis-penulis lain. Seperti inilah budaya mengkritik dalam dunia akademik bukan dengan status abal-abalan yang dimuat hanya beberapa kalimat di dinding facebook.
Walau pun orang yang mengetahui harus buka suara, tidak boleh diam dan harus memberikan argumen untuk disampaikan. Kalau kita hanya diam tanpa ada suara maka “Apa guna banyak baca buku kalau mulut kau membungkam”, begitu kata Wiji Thukul. Nah, lagi-lagi yang menjadi persoalan ialah, masalah minat membaca tadi. Rakyat Indonesia dalam minat membaca rendah tapi paling cerewet di media sosial, kalau kita ingin cerewet maka kita harus meperbanyak sumber informasi atau bahan bacaan untuk bisa menulis sebuah gagasan membangun dengan kritikan bukan dengan status abal-abalan apalagi berbau sara.
Para intelektual telah mempraktekkan cara mengkritik dengan menulis, kita bisa lihat bagaimana al-Ghazali mengkritik al-Farabi dan Ibn Sina dengan menghasilkan karya kemudian al-Ghazali dikritik lagi oleh Ibn Rusyd. Nuruddin ar-Arraniry juga menghasilkan karya ketika ia mengkritik Hamzah Fansuri dan Syamsuddin as-Sumatrani dengan konsep Wahdatul Wujudnya, begitu juga dengan Prof. Rasjidi mengkritik buku Harun Nasution dengan karya melalui buku yang ia tulis. Ini lah budaya orang-orang intelektual yang mempunyai jam terbang yang tinggi dalam minat membaca.
Dalam media sosial kita boleh saja cerewet asalkan bisa bermanfaat bagi orang banyak dengan memberikan informasi pengetahuan daripada cerewet yang tak karuan dengan status-status provokasi, menghina dan menebar kebencian. Cerewet dengan status yang dapat membawa kesejukan itulah yang paling penting bukan membawa kebencian apalagi memprovokasi. Ramadhan telah tiba, masihkah kita cerewet dengan status berbau sara ?. []
*Penulis: Kolumnis LintasGAYO.co. Blogger dan Kompasianer.