Cerpen Oleh : Zack Arya*
SEMUA telah berubah. Tak sama dengan lima puluh tiga tahun lalu. Lelaki yang berjalan tertatih tersebut seakan mencoba mengenali dan memetakan keadaan sekelilingnya. Yang tidak berubah adalah bangunan Joyah yang berada di pinggir kali kecil. Masih berada di tempatnya.
Ia mengalirkan air mata. Joyah tersebut sudah sangat usang. Lubang menganga di sana-sini. Atap yang berasal dari daun serule tidak lagi mampu membendung air hujan dan membuatnya bocor. Hari itu hujan dengan deras. Bahasa Gayo lelaki itu sudah terbata-bata. Ia meringkuk di dalam Joyah yang telah goyah. Tak ada orang yang menghiraukannya. Ia tampak kumal dengan pakaiannya. Hanya ada sebuah tas merk nike berukuran besar yang tak pernah lekang dari tubuhnya. Gumpalan isi tas tersebut kadang-kadang membuatnya susah payah untuk berdiri. Ini adalah hari pertama lelaki itu kembali ke Tanoh Tembuni; Gayo.
Hari kedua:
Aroma kopi panas pagi dan gutel yang diolah sendiri oleh seorang janda tua dan dihidangkan kepadanya membuat mata lelaki tua itu berbinar-binar. Lalu pada siangnya aroma masam jéng yang datang dari dapur janda tua tersebut yang mengepulkan asap membuatnya tiba-tiba tersenyum, lalu tiba-tiba menangis. Pada sore harinya, suara riuh rendah anak-anak yang main perang-perangan dan permainan kulen dedik membuatnya tertawa-tawa.
Hari ketiga:
Ia mencoba mengumpulkan orang-orang di Kampung Tue, dan ia menunjukkan dan mereka-reka tanah yang diyakininya sebagai tapak rumah keluarganya lima puluh tiga tahun yang silam. Namun orang-orang meminta bukti atau catatan sertifikat kepemilikan tapak rumah tersebut. Dan ia menggeleng. Lalu ia terdiam dan kemudian wajahnya menyiratkan kesedihan.
Malam-malam yang dilaluinya hanya mencoba kembali membaca al-Qur’an yang telah kumal di rak Joyah dengan terbata-bata. Masa lalu ia mengaji di sana, mempertajam memorinya tentang Joyah tersebut dan kehidupan masa kecilnya. Suara yang tidak merdu. Bahkan selebihnya isakan tangisan yang tersedu. Gigitan nyamuk dan dengungannya membuatnya menepuk dan menepis dalam temaram malam.
****
Tiga hari sebelumnya, ia datang dan membuat orang kampung tersentak dan mengerubunginya. Lelaki yang mengenalkan diri sebagai anak Tok Gemasih Kumpu Imem Moe’in. Tak ada yang mengenalnya. (atau ada yang mengenal silsilahnya, tapi pura-pura tak mengenalnya). Bisik-bisik yang terdengar bahwa lelaki itu ‘mungalèi reta pesaka’ (merindukan ‘warisan dan harta pusaka) membuat penduduk Kampung Tue tersebut tutup mulut dan enggan mengakui sejarah lelaki tua itu pernah menghabiskan masa kecil di Kampung Tue tersebut.
Semasa revolusi, ia adalah salah seorang pemuda tanggung dan anak keluarga miskin dari 84 orang yang melarikan diri dari Kampung Tue tersebut. Kala itu yang tidak mau melarikan diri dari kampung adalah anak orang yang memiliki kerbau di Peruweren dalam jumlah banyak, atau Toke yang memiliki mesin giling dan Keben yang berlimpah padi. Mereka yang lari dari Kampung Tue tersebut disebabkan banyak hal.
Pendidikan Sekolah Rakyat (SR) warisan Belanda yang sangat keras hukuman fisiknya dan tidak diminati karena menurut mereka hanya menjadi ‘Kerani’ (juru tulis); Desas-desus hiruk pikuk di pesisir Utara Sumatera dengan lalu lalang kapal-kapal besar menuju Malaya, Canton, bahkan Holland dan sebagian pelabuhan-pelabuhan Eropa mencambuk mereka agar meninggalkan Kampung Tue tersebut.
Tambahan lagi, isu pemberontakan DI/TII yang membuat mereka tidak ingin berada di pusaran konflik.
Para bebujang Gayo tanggung Kampung Tue itu pergi menyusur Arul Totor Besi, mengendap-endap seharian agar tidak ketahuan, kemudian muncul di Arul Enang-Enang, dan terdampar di Peusangan Juli, lalu menaiki kereta api menuju pelabuhan di Medan. Mereka berpencar dan menyelinap menaiki kapal-kapal barang besar yang menuju negeri yang mereka tidak pernah tahu dan bahkan mungkin tidak akan pernah kembali pulang.
*****
Hari keempat.
Lelaki yang tidak diakui tersebut mengemasi pakaiannya dalam tas nike. Gumpalan tas itu membuatnya terayun-ayun. Ia meminta kepada orang yang lewat untuk mengantarkannya ke stasiun Gegerung di Teritit. Tak ada yang menyanggupinya dengan alasan kesibukan. Hanya ada lelaki puseselap (gila kambuhan), yang menyanggupinya untuk mengantarnya. Yang kebetulan ia hendak berangkat ke kota kecil Takengon. Ia memboncengnya dengan sepeda motor butut Cup 70.
Dalam perjalanan ke stasiun lelaki tua itu terdengar mendendangkan lirik Didong Gayo klasik nan lawas. Sepertinya ia mendendangkan lagu Asrama Boro, Gedum-Gedum karya Ceh Sali Gobal dan lain-lain.
Lelaki puseselap tersebut kegirangan dan ikut berdendang sepanjang jalan. Keduanya berdendang gembira. Sesekali lelaki tua itu petetepok pumu (bertepuk-tepuk tangan) meski tidak lagi ritmik dan runcang.
Setelah sampai di stasiun Gegerung, lelaki tua tadi memeluk lelaki puseselap tersebut, sambil membisikkan:
“Hanya kau saudaraku di sini. Aku telah berusaha untuk kembali pulang ke tanoh Gayo, tanoh Tembuni, namun aku tak diakui, bahkan mereka seperti mencoba untuk menutupi sejarah yang sebenarnya. Tapi tidak mengapa, aku tetaplah hamba Tuhan dan aku masih diakui-Nya sebagai hamba-Nya, aku akan kembali ke Eropa dan menghabiskan masa tua bahkan matiku di sana”.
Lelaki puseselap itu cuma mengangguk-angguk saja. Lalu lelaki itu menyodorkan sebuah amplop lusuh kepada laki-laki tersebut. Lalu menaiki angkutan umum Bireuen Express dan mulai bergerak merayap turun di turunan Gegerung. Lelaki itu meminta supir untuk berhenti sebentar di Totor Besi. Sepertinya mengenang kepergiannya lima puluhan tahun yang lalu. Kemudian perlahan-lahan bis tersebut disaputi kabut dan gerimis turun seiring lelaki itu melambai pada pepohonan lebat yang berdesau lalu sesungguknya yang tertahan.
Lelaki Puseselap itu kemudian membeli mie Aceh di Simpang Teritit, lalu memeriksa amplop yang diberikan lelaki tua itu, dan menyerahkan kepada penjual mie, dan penjual mie memeriksa uang tersebut. Bukan rupiah!. Tetapi Dollar!! Seratus Dollar!!!.
Lalu tukang mie menanyakan kepada lelaki puseselap tersebut, berapa banyak uang itu di amplop? Setelah dihitung, ternyata 100 lembar. Berarti 10.000 Dollar? Dengan kurs Rp.13.000/Dollar? Orang-orang berkerumun dan gempar. Berita langsung tersiar kemana-mana: tentang Dollar, lelaki puseselap dan lelaki tua yang telah pergi itu.
*****
Lelaki tua itu telah hilang dari Daratan Gayo. Ia sebenarnya membawa rindu dan gumpalan Dollar dalam tas nike-nya, lebih dari 500.000 Dollar untuk membangun kampungnya yang ditinggalkan lima puluh tiga tahun yang lalu.
Bahkan ia memimpikan mati dan dikuburkan di Kampung Tue tersebut. Namun ia kecewa dan kembali membawa rindu dan Dollar-nya entah kemana, setelah orang-orang di Kampung Tue yang enggan mengakuinya.[SY]
*Zack Arya nama pena dari Zakaria Nur Elyasy, adalah putra Gayo kelahiran Kute Tanyung Kab. Bener Meriah 19 April 1984. Novel pertamanya terbit pada tahun 2010 dengan judul “El-Masiyä”, sebuah novel yang berkisah dengan latarbelakang konflik antara Gerakan Aceh Merdeka (GAM) dan Tentara Indonesia yang berimbas pada kesengsaraan rakyat dengan tokoh utama sepasang kekasih bernama Kamal dan Arnati. Novel setebal 221 halaman itu di endesor-i oleh Salman Yoga S dan Herman RN. Saat ini Zack Arya tinggal di Banda Aceh dan bekerja di LIPIA serta dosen dibeberapa perguruan tinggi.
* Dikurasi jadi judul semula “Lelaki Tua Dan Kampung Tue”