Oleh : Nurul Yaqin, S.Pd.I
Tulisan ini tidak bermaksud menabrak tembok toleransi antar agama yang sering dielu-elukan oleh para pemangku kepentingan (stakeholder) di balik baju demokrasi – yang pada dasarnya mereka belum tentu mafhum makna demokrasi itu sendiri. Hanya saja untuk saling ber-tawashi (saling menasehati) dan mengingatkan sesama muslim terkait nasib agama islam menjelang akhir zaman yang tak henti-hentinya dijadikan kambing hitam.
Nabi Muhammad Saw pernah bersabda “Nyaris kalian akan dikerubungi oleh umat-umat lain sebagaimana para penyantap mengerubungi nampan hidangan mereka (HR. Abu Daud)”. Dalil tersebut memberikan sinyalemen akan nasib umat islam yang menjadi incaran berbagai agama dari belahan dunia. Tujuannya, tidak lain hanya untuk membumi-hanguskan agama islam dari muka bumi (Qs. At-Taubah : 32).
Sejak awal muncul, agama islam memang selalu mendapati perlawan. Mulai Dari Nabi Ibrahim ditentang oleh Namrud hingga beliau dibakar hidup-hidup (Qs. Al-Baqarah : 258). Nabi Musa mendapat perlawanan keras dari Fir’aun dan menganggapnya sebagai penyihir (Qs. Thaha : 72). Hingga Nabi Muhammad Saw yang mengalami penolakan dari kaum Quraisy (Qs. Al-Maidah : 104).
Namun, sejak beberapa abad yang lalu usaha para anti islam (islamophobia) melalui perang konvesional tidak membuahkan hasil yang gemilang. Sejarah pun mencatat, bahwa melawan agama islam dengan perang fisik merupakan hal yang sulit – jika tidak mau dikatakan mustahil. Karena agama islam memiliki manhaj yang jelas dan tegas yaitu, jihad fi sabilillah. Dengan konsep demikian tidak mudah mengalahkan islam lewat kekuatan militer.
Tidak patah arang, mereka (kaum barat) melancarkan serangan terhadap kaum muslim dengan strategi perang pemikiran (ghazwul fikr) dengan cara menggerogoti konsep-konsep dasar islam. Pencetus metode baru dalam menghancurkan islam adalah Louis IX (raja Perancis 1226-1270). Kemudian muncul orang-orang seperti William Evart Glastone (perdana menteri Inggris tahun 1809-1898) yang mengatakan “selama Al-Qur’an masih ada, Eropa tidak akan sanggup menguasai wilayah timur, bahkan Eropa sendiri tidak akan tenteram.”
Taktik Kaum Barat
Konsep yang mereka racik telah sampai di negara kita, memang tidak lagi ditemukan perang fisik, akan tetapi penyimpangan ideologi lintas media menemani setiap detik aktifitas manusia. Pemberitaan menyimpang (hoax) begitu dekat dengan tarikan nafas masyarakat bangsa. Mereka dibenturkan dengan pemikiran yang kontradiktif. Jamak ditemukan di media sosial umat islam saling hujat lantaran berita bodong yang tidak bertanggung jawab. mereka telah diracuni oleh pemikiran para anti islam. Media adalah salah satu media paling ampuh yang sangat berpotensi untuk memporak-porandakan ideologi muslim.
Taktik yang direncanakan oleh anti-islam sangat sistematis. Mulai dari tasykik (penyebaran keraguan di antara sesama muslim). Sasaran utamanya adalah validitas sumber hukum islam yaitu, al-qur’an dan hadits. Para orientalis menyebarkan teori bohong untuk menimbulkan keraguan akan wahyu Allah. Mereka berpendapat bahwa sumber dasar hukum islam tidak rasional.
Kemudian dengan cara tasywih (pengaburan). Taktik yang digunakan agar orang muslim tidak merasa bangga terhadap agamanya, bahkan menyematkan islam dengan agama penuh radikalisme. Terbukti, penyematan gelar teroris, ekstremis, dan islam garis keras semakin menjamur. Sebaliknya, non-muslim diaggap umat paling toleran. Masih lekat dalam ingatan, pernyataan pihak kepolisian bahwa Leopard Wisnu Kumala (beretnis China dan beragama katolik) pelaku pengeboman Mall Alam Sutera Tangerang, Banten pada tahun 2015 lalu ternyata dinyatakan tidak terlibat dalam jaringan teroris. Sungguh menyedihkan.
Menanggapi hal itu Harits Abu Ulya, pengamat kontra terorisme dan juga direktur The Community of Ideological Islamic Analisyt (CIIA) menyatakan “dalam isu terorisme, rakyat Indonesia selama ini dalam kerangkeng sudut pandang yang tendensius dan stigmatis. Begitu mendengar teroris maka tergambar sosok pelakunya seorang muslim, berjenggot, jidat hitam, celana cingkrang, keluarganya bercadar, dan memandang Barat sebagai musuh” (Voa-Islam, 30/10/2015). Ini adalah bukti bahwa telah terjadi pergeseran makna terorisme dan toleransi di negeri ini.
Taktik selanjutnya adalah tadzwib yaitu pelarutan budaya dan pemikiran. Mencampur-adukkan pemikiran dan budaya islam dengan pemikiran dan budaya non-islam. Yang indikasinya, masyarakat akan dilema dalam menentukan antara yang hak dan batil. akhirnya, orang awam akan kebingungan dalam memegang pedoman hidupnya. Kebingugan dalam menentukan pedoman hidup akan akan sangat mudah dirapuhkan. Maka, akan mudah pula dalam menjauhkan orang islam dari hakekat kemuslimannya.
Berikutnya dengan cara taghrib yaitu menjadikan Barat sebagai acuan (westernisasi). Upaya agar umat islam mengikuti bahkan menyenangi budaya, pemikiran, dan gaya hidup Barat. Mereka berusaha menggersangkan nilai-nilai islam dan mencekoki jiwa muslim dengan budaya barat yang menyimpang dari ajaran islam.
Efeknya, Tak sedikit remaja kita telah tergoda oleh 3F; food (makan), fun (hiburan), dan fashion (pakaian) ala kaum barat. Makan di restoran elit dan food courd lebih bergengsi (tanpa memperhatikan halal dan haram) dari pada sekedar di warteg dan warung pinggiran. Hiburan telah memancing umat islam untuk terlena, di antaranya musik dan film. Musik dan film luar lebih diminati dari pada karya anak bangsa. Lewat pakaian mereka menyesatkan para pemuda, bahwa pakaian bukan untuk menutup aurat tapi untuk gaya hidup yang bernilai seni. Mirisnya, pemuda kita tidak sadar (unware) dengan tipu daya mereka.
Benteng Pertahanan
Menghadapi kondisi umat muslim yang dihantam dari berbagai sisi dan lini, saatnya kita bangun dari tidur panjang. Tentu bukan dengan cara pasang badan dengan berperang, agar islam tidak terkesan radikal. Melawan perang pemikiran dibutuhkan jihad melawan dengan pemikiran pula. Memang tak mudah, mengingat kaum barat telah merajai dunia, baik dari segi ekonomi, politik, dan pendidikan. Tapi, bukan hal mustahil karena tak ada yang tidak mungkin (nothing ismpossible).
Maka dari itu, umat islam harus berbenah dengan membentengi diri dengan memahami islam secara utuh (kaffah), memiliki izzah (semangat) dalam membela islam, meneguhkan komitmen terhadap agama islam, berkawan degan orang-orang shaleh, dan tak kalah penting adalah selektif dalam memilih bacaan. Dengan benteng pertahanan tersebut islam akan tetap kokoh dan hidup sampai akhir zaman. Mengutip perkataan syaikh Yusuf Al-Qardhawy “umat islam bisa saja ‘tertidur’ dan ‘sakit’, namun ia tidak akan ‘mati’, selama di dalam darah umat islam masih mengalir darah aqidah dan selama ada orang yang memimpin mereka untuk menegakkan Laa Ilaaha Illallaah”. Wallahu A’lam
*Pendidik di MI Unggulan Daarul Fikri, Cikarang Barat, Bekasi.