Hukum Syara’ Pada Masa Nabi

oleh
jamhuri

Oleh. Drs. Jamhuri Ungel, MA*

Makna Hukum Syara’

jamhuri

Untuk mengetahui bagaimana keberadaan hukum syar’i pada masa nabi, terlebih dahulu harus mengetahui paling kurang tiga istilah. Yaitu : Syari’at, Ushul Fiqh dan Hukum Syar’i.

Syari’at telah didefinisikan oleh ulama dengan apa yang tertulis dalam al-Qur’an dan hadis. Jadi kalau kita membuka dan membaca al-Qur’an dan hadis maka yang terlihat dan yang kita baca dalam keduanya adalah Syari’at, seperti ayat tentang shalat, puasa, haji dan lain-lainnya mulai dari surat al-Fatihah sampai dengan surat al-Nas.

Sedangkan ushul fiqh adalah suatu ilmu tentang kaedah atau cara yang dengan menggunakan cara atau kaedah tersebut mengeluarkan hukum dari syari’at (al-Qur’an dan hadis). Pengeluaran hukum sangat ditentukan oleh oleh cara yang kita gunakan, cara yang digunakan sangat berhubungan dengan kebutuhan dalil nash karena di dalam dalil nash (al-Qur’an dan hadis) terkandung hukum yang menjadi kehendak Syari’ (Allah dan Rasul-Nya).

Kemudian Hukum Syar’i adalah Firman Allah dan sunnah Rasulullah yang berhubungan dengan perbuatan orang-orang mukallaf berupa perintah (untuk mengerjakan dan juga perintah untuk meninggalkan), keizinan untuk memilih antara mengerjakan dan tidak mengerjakan serta pengkondisian.

Bila kita pahami definisi Hukum Syar’i tersebut maka kita dapat katakan bahwa firman Allah termasuk hadis Nabi yang mengandung perintah, keizinan dan pengkondisian adalah hukum. Seperti ayat tentang shalat, puasa, zakat, haji menuntut ilmu dan ayat lain yang mengandung perintah maka itulah yang disebut dengan ayat hukum. Demikian juga dengan ayat-ayat yang menyebutkan bahwa jual beli ada halal, melakukan hubungan suami dengan isteri pada malam hari di bulan ramadhan adalah boleh, kebolehan untuk melakukan qashar shalat pada saat melakukan perjalanan jauh, kebolehan memakan daging binatang peliharaan.

Demikian juga dengan ayat-ayat yang mengandung informasi kesempurnaan dan ketidak sempurnaan perbuatan. Seperti perbuatan dikatakan shah apabila perbuatan tersebut memenuhi syarat dan rukun yang dilakukan oleh orang yang telah mukallaf (dewasa), tidak ada hal-hal yang melarangnya untuk melakukan perbuatan tersebut. Ditambah lagi bahwa perbuatan tersebut sesuai dengan waktu yang diperintahkan, sehingga tidak shah apabila perbuatan yang dilakukan tidak sesuai dengan waktu yang ditentukan.

Pemahaman

Dari definisi yang telah disebutkan di atas bisa kita pahami bahwa antara Syari’at, ushul fiqh dan hukum tidak dapat dipisahkan. Namun juga tidaklah sejak awalnya ketiga istilah ini menyatu. Pada masa Nabi tidak ada yang namanya pemahaman, yang ada hanyalah wahyu yaitu al-Qur’an dan Hadis, pada masa Nabi ini adalah masa turunya ayat-ayat dan masa datangnya hadis Nabi. Semua permasalahan yang dihadapahi oleh para sahabat ditanyakan kepada Rasul, bila mampu Rasul menjawab maka langsung dijawab dan bila tidak biasanya Rasul menunggu datangnya ayat, sehingga jawaban yang diberikan oleh Rasul dan jawaban yang datang dari Allah dinamakan dengan wahyu.
Apa yang datang secara langsung dari Allah dinamakan dengan wahyu semua sepakat tentang itu dengan idak ada perbedaan pendapat dikalangan ulama, apakah ayat yang bersifat qath’i atau bersifat zhanni.

Ulama juga sepakat dengan kewahyuan ungkapan dan apa yang berasal dari Nabi, ini didasarkan kepada ayat al-Qur’an :
وما ينطق عن الهوى ان هو الا وحى اليوحى
(Nabi Muhammad tidak berbicara berdasarkan keinginan kecuali berdasarkan wahyu).

Ini menunjukkan bahwa pada diri Nabi semuanya Wahyu, karenanya tidak pernah salah sehingga peiode hidupnya Nabi disebut dengan priode wahyu dan buka priode akal. Dengan demikian pada masa Nabi tidak ada akal, karena akal pada saat itu berdasar pada wahyu yang kalau salah langsung diperbaiki oleh wahyu dan juga kalau tidak salah mendapat pengakua wahyu. Jadi Ushul Fiqh dan Hukum dalam makna ilmu pada masa Nabi belum ada tetapi ushul fiqh dan hukum dalah syari’at itu sudah ada. Sehingga sebagian ulama berpendapat bahwa hukum dalam makna hukum syara’ belum ada, yang ada hanyalah sumber hukum syara’.

Lalu kapan adanya hukum syara’ ?

Sesuai dengan definisi ushul fiqh, yaitu mengistinbathkan (mengeluarkan) hukum syara’ dari dalil maka hukum syara’ belum ada sebelum adanya ushul fiqh, sedangkan ushul fiqh adalah upaya yang dilakukan setelah wahyu itu tidak turun lagi, karena Nabi sebagai penerima wahyu telah wafat.

Comments

comments

No More Posts Available.

No more pages to load.