Jangan Remehkan Pendidikan Keluarga

oleh

Oleh : Dr. Johansyah*

Belum lama ini salah satu media cetak di Aceh menyorot persoalan tindak kejahatan yang dilakukan oleh bocah yang baru berumur 12 tahun. Mereka adalah dua murid sekolah dasar (SD) yang diamankan polisi, setelah tertangkap mencuri tas milik jamaah Masjid Besar Pahlawan, Gampong Peuniti, Kecamatan Baiturrahman, Banda Aceh dengan cara memecahkan kaca mobil pada beberapa waktu yang lalu.

Kejadian seperti ini merupakan petaka generasi muda kita dan isyarat bahwa ada banyak masalah dalam sistem pendidikan kita, baik pendidikan formal maupun pendidikan informal. Umumnya respon orang mengarah kepada pendidikan formal, bahwa kurikulum harus direformasi, mempersoalkan profesionalisme guru, dan sebagainya sehingga pemerintah membuat kebijakan baru untuk pendidikan formal. Saya melihat masalah utamanya justru bukan pada pendidikan formal, tetapi pendidikan informal, yaitu keluarga.

Sekiranya ditanya mengapa anak tersebut jahat, maka sesungguhnya ada pertanyaan lanjutan yang lebih mendasar, yaitu siapa orangtuanya, bagaimana pola pendidikan yang diterapkan dalam keluarganya, apakah orangtuanya super sibuk, apakah kedua bapak dan ibunya bercerai? Dan seterusnya. Bagaimana pun jahatnya anak, pasti berjalin kelindan dengan keluarga.

Tentu, pendidikan keluarga sangat berperan dalam membentuk kepribadian anak. Kondisi keluarga dan sistem pendidikannya akan menentukan bagaimana karakter anak. Dalam salah satu hadits ditegaskan bahwa pada hakikatnya anak lahir dalam kondisi suci dan memiliki beragam potensi. Maka sistem pendidikan yang dibangun orangtualah nanti yang akan menentukan watak anak. Mereka bisa berkarakter Yahudi, Nasrani, Majusi, dan lain-lainnya. Semuanya tergantung kepada bagaimana sistem pendidikan yang diselenggarakan dalam keluarga.

Ketika ada seorang anak berakhlak baik dan berprestasi, pertanyaan orang-orang tidak lain, itu anak siapa atau siapa orangtuanya? Anak nakal atau jahat juga begitu, yang ditanyakan orang umumnya adalah dia anak siapa, bukan dia sekolah di mana, atau gurunya siapa? Ini menandakan bahwa pada umumnya orang berkeyakinan bahwa keluarga sangat dominan dalam memberi warna karakter anak di bandingkan institusi pendidikan lainnya.

Anak nakal? Itu pertanda ada yang tidak beres dengan keluarga. Secara umum persoalan keluarga yang berdampak negatif terhadap perilaku anak yaitu; pertama, percekcokan dan perceraian yang mengakibatkan perhatian kepada anak berkurang. Anak yang merasa kurang diperhatikan akhirnya melakukan hal-hal yang menyimpang dan mencari ketenangan semu. Kedua, anak terlalu dimanja. Orangtua yang memenuhi segala keinginan anak dengan dalih sayang anak, itu adalah salah. Pemenuhan segala keinginan anak justru sangat fatal bagi pembentukan karakter anak. Dia tidak akan mampu mandiri, akan tumbuh menjadi pribadi egois, dan tidak mampu berpikir aktif, kreatif, apalagi solutif.

Ketiga, penyebab kenakalan anak adalah karena orangtua terlalu sibuk dengan pekerjaannya. Pergi pagi pulang sore, bahkan malam. Waktu tatap muka dengan anak-anaknya sangat minim. Si anak akhirnya banyak memperoleh muatan nilai dari tontonan dan pengaruh teman-teman. Sejatinya, sesibuk apapun orangtua, haruslah meluangkan waktu untuk memberikan perhatian kepada anak-anaknya; bercerita seputar kegiatan di sekolah, apa kebutuhannya, apa masalahnya, dan persoalan-persoalan lainnya yang perlu untuk diperbincangkan.

Pada era persaingan materi sekarang ini, banyak orangtua yang berfungsi hanya sebagai ATM. Mereka hanya menyanggupi kebutuhan materi dan fisik anak; jajan, baju, mainan, handphone, laptop, dan lain-lain. Padahal yang paling mereka butuhkan adalah perhatian, kasih sayang, bimbingan, dan keteladanan. Urusan uang mudah, berapa diminta lalu orangtua memberikannya. Tapi bagaimana dengan perkembangan jiwa anak? Itu semua tidak mereka peroleh kecuali orangtua sebagai pendidik dalam keluarga harus terus menanamkan nilai-nilai kebaikan melalui keteladanan dan pembiasaan di rumah secara konsisten.

Dengan peran keluarga yang begitu strategis, sejatinya kebijakan-kebijakan yang dilahirkan pemerintah tidak mengarah kepada pelemahan peran keluarga sebagai salah satu institusi pendidikan utama. Contohnya kebijakan lima hari kerja bagi Pegawai Negeri Sipil (PNS) dengan durasi waktu mulai jam 08.00 sampai jam 16 sore yang berlaku merata bagi semua PNS, baik laki-laki maupun perempuan. Dampak positifnya tentu ada, bahwa semua dapat bekerja maksimal dan profesional sesuai tuntutan negara. Namun, di pihak lain aturan ini justru menjadi penyebab lemahnya sistem pendidikan keluarga. Kalau pun kebijakan ini diberlakukan, seharusnya jam kerja untuk kaum perempuan lebih sedikit dibandingkan laki-laki, sehingga mereka dapat meluangkan sisa untuk memberi perhatian kepada anak-anaknya.

Apa sih negara itu? Negara adalah kumpulan dari keluarga sebagai unit terkecil masyarakat. Maka membangun keluarga berkualitas itu sebenarnya modal utama untuk membangun negara yang tangguh. Jadi, membangun negara itu bukan saja di pemerintahan, tapi juga dalam masyarakat, yaitu keluarga. Omong kosong membangun negara bagi abdi negara kalau peran keluarga sebagai salah satu pusat pendidikan justru dilemahkan dengan dalih mengabdi kepada negara.

Solusi utama

Terkait dengan persoalan kenakalan anak, salah satu solusi utamanya adalah penguatan pendidikan keluarga dengan beberapa langkah strategis yaitu; pertama, pemerintah harus mengevaluasi kembali kebijakan-kebijakan yang mengarah kepada pelemahan peran keluarga, terutama terkait dengan jam kerja perempuan, baik di instansi pemerintahan maupun swasta. Kalau bisa kaum perempuan memiliki waktu luang untuk memberikan perhatian kepada anak-anak mereka, terutama anak usia pendidikan dasar. Selanjutnya, pemerintah tidak boleh hanya fokus memberikan perhatian kepada pendidikan formal, tapi juga memperhatikan keberadaan lembaga pendidikan informal. Artinya ada kebijakan-kebijakan yang mengarah kepada penguatan pendidikan informal.

Kedua, tanpa menunggu kebijakan pemerintah, sejatinya orangtua dengan profesi dan sesibuk apapun, harus menyadari betul bahwa dalam keluarga dia adalah sosok pendidik dan pembimbing bagi anak-anaknya. Orangtua harus menjadi teladan baik bagi anaknya, membangun komunikasi, menjalin kedekatan dengan mereka, dan bersabar dalam menghadapi perubahan perilaku mereka.

Orangtua juga harus berperan aktif dalam program masyarakat maghrib mengaji. Kalau bisa orangtua yang langsung menjadi guru mengaji bagi anak-anaknya. Tontonan dan permainan anak juga perlu kontrol yang rutin. Jangan sampai anak kita menonton siaran untuk orang dewasa dan bermain game yang sebenarnya bukan untuk usianya. Ketahuilah, tidak ada anak yang ingin tumbuh menjadi pribadi yang nakal. Maka kalau anak nakal, tunggu dulu untuk menyalahkan dan menghukum mereka. Lakukan evaluasi terhadap pola pendidikan yang telah kita lakukan selama ini. Saya yakin kalau pendidikan keluarga dilakukan dengan baik dan maksimal, maka anak akan tumbuh menjadi sosok yang berakhlak baik.

* Pemerhati Pendidikan, tinggal di Bener Meriah. Email; johan.arka@yahoo.co.id

Comments

comments

No More Posts Available.

No more pages to load.