[Cerpen]
Zack Arya
RASA itu datang pada sebuah ruang dan waktu saat aku mengenalnya dan dia belum mengenal diriku. Namanya sering muncul dalam obrolan rahasia para perempuan. Lelaki yang dibicarakan itu berada di sebuah podium mini pada ruangan kecil yang hanya memuat dua puluhan peserta rapat. Aku salah satunya. Sebuah kesempatan indah, bila aku dapat menyapanya saat rapat selesai. Aku benar-benar menyapanya. Percakapan terjadi tidak kurang dari 2 menit. Selesai. Perkenalan singkat dan nomor HP yang ditukar menjadi awal gelora hati bersemi.
Perasaan cinta muncul saat pelataran Benteng Indrapatra menyapa kami pada siang kerontang. Hasrat hati menjanjikan sebuah perkenalan lahiriah dan batiniah. Benar, ada rasa yang saling ingin diperhatikan dan dimiliki. Arah hati menginginkan penjajakan sebelum nantinya memantapkan hasrat hidup bersama. Kemudian, hari-hari yang terlewati bersama adalah putaran jam yang menggairahkan. Malam-malam yang menyongsong adalah gundukan rindu penuh seluruh. Memadu rindu adalah tampilan gairah hidup dan jantung selalu berdegup saat berjumpa. Kemudian perpisahan di setiap akhir hari membuat mata sayu dan hati berharap untuk bertemu kembali.
Bayakbajungku dan Rinu denemku (kekasih hatiku dan rindu dendamku) adalah sepasang sapaan cinta disematkan untuk dirinya dan diriku. Dan hanya kami yang tahu. Selebihnya hanya sapaan cinta itu terdengar dalam kelengangan malam serta menghadirkan kalimat itu dengan intonasi yang menawan. Setelahnya, sapaan pengiriman pesan handphone, menghiasi setiap awal dan akhir pesan: antara diriku dan dirinya.
Semua jalan di Kuta Raja telah dilalui dengan perjalanan cinta dan keagungan rindu. Canda tawa selalu terdengar, susunan perencanaan setelah bersama, seakan menjadi sebuah hafalan yang wajib untuk terus diucapkan dan diingatkan. Setelahnya keangkuhan cinta sering membisikkan bahwa kurang bermakna perjalanan Qays dan Layla, karena terlalu berliku dan tanpa hasil. Cintanya Jack Dawson dan Rose de Witt Bukatter dalam bahtera Titanic terlalu vulgar. Semuanya kalah makna bila dibandingkan dengan perjalanan cinta selama dua tahun, yang dicatat dengan lebih dari 20.000 KM pada speedometer sepeda motornya. Ia mengatakan:
“Jika tali kasih kita direntang, kita telah menjalani separuh lingkaran bumi, Kekasihku. Apakah kita membutuhkan separuh lagi, agar bila direntang, akan menyamai lingkaran bumi? Setelah itu menunaikan janji hidup bersama?”. Aku tertawa dan dia tersenyum.
Maka demi keagungan perjalanan hati kami, kami ubah semua nama jalan di Kuta Raja ini. Mulai dari arah Kota Banda Aceh ke Darussalam, kami ganti dengan nama ‘Jalan Cinta’. Kemudian, dari arah Banda Aceh ke Pelabuhan Ulee Lhee kami ganti dengan nama ‘Jalan Rindu’. Kemudian jalan dari Arah Banda Aceh ke Lamno, kami ganti dengan nama jalan ‘Asmara’.
Namun, kedekatan tubuh kami, hanyalah genggaman jemari dan pegangan tangan di balik sarung tangan merahku. Dirinya belum bergairah terhadap tubuh kasarku karena cinta yang dimilikinya adalah sesuatu yang sejauh kumengerti tanpa gairah hewani. Demikian juga diriku, perasaan kasih yang meledak-ledak, adalah karena persetujuannya bahwa hubungan cinta kami adalah di luar keintiman fisik. Kami begitu menjunjung tinggi prinsip ini.
Lalu kami membaca sejarah dan menapak tilas kembali kisah cinta Iskandar Muda dengan Putroe Phang, dengan mengunjungi taman cinta mereka di ‘Medan Khayali’, dengan harapan, ilham kekekalan cinta dan rindu mereka membarut cinta kami. Tak terhitung langkah kaki kami mengitari ‘Gunongan’. Tak terhitung jari, munajat cinta kami di ‘Benteng Indra Patra’ agar hubungan ini dikokohkan. Serta memandangi ‘Krueng Daroy’ yang membelah sebagian Kuta Raja bila senja menjelang.
Terakhir, aku meninggalkannya di sebuah senja sore di Taman Sari, taman cintanya Iskandar Muda. Kukatakan kepadanya
“Aku harus pulang kekasihku. Ibuku sakit”
Dia memegang jemariku yang tersaput sarung tangan warna merah, hanya saat itu tanganmu tergetar menahan semburan rindu dan harap yang sangat. Matanya menunjukkan ketidakikhlasan melepaskan senarai tali cinta kami meskipun sekejap. Lalu aku menjauh dan menghilang di keramaian manusia. Itulah awal perpisahan yang sepertinya untuk selamanya. Setidaknya sampai saat ini.
Dia hilang arah dalam pencariannya terhadapku; ketidak setujuan orang tuanya, ketidakjelasan pekerjaannya, kejauhan dan jarak yang menjadi batas. Aku mengalami kebuntuan langkah dalam menantikannya; ketidakadaan pegangan janji yang harus dipenuhi, permasalahan ekonomi yang membelit keluarga, keharusan menjaga orang tuaku yang sakit-sakitan dan terakhir, aku adalah punggung ekonomi keluarga.
Jarum jam terus berputar tanpa ada dirinya dan diriku. Aku hanya meminum rindu dari mabuknya penantian. Sepertinya dia juga hanya memakan remah-remah kenangan yang mulai sirna dan hambar. Kedua prilaku kami itu menghempaskan semua rasa cinta, membuatnya babak belur dan memar. Hari-hari tetap dilalui meski perasaan telah layu dan sekarat. Juga angin serta ketenangan malam hanya sebagai pencabut rindu yang datang dengan merayap dengan pasti.
Guliran hari menjadi kafan bagi cinta yang melemah dan perlahan-lahan mati. Aku tak mengingatnya lagi. Seperti dia melupakanku juga. Semua kenangan dan cinta sepenuhnya menjadi bagian kelam dalam sanubari. Begitu terasa, menyesakkan, menusuk dan menikam. Hidup menjadi tertatih. Kegigihan cinta tak lagi mampu diteruskan. Hilang bersama putaran hari, minggu dan bulan.
***
Rasa itu datang pada sebuah ruang dan waktu saat aku melihatnya dan dia mungkin menginginkan diriku di ruang itu. Namanya muncul pada sebuah papan seminar yang diadakan di kotaku. Benar. Lelaki itu berada di sebuah jejeran meja representasi yang besar di ruangan yang mampu memuat lima ratus peserta seminar. Aku salah satunya. Sebuah kesempatan indah, bila aku dapat menyapanya saat seminar selesai. Aku memperhatikan dirinya dengan penuh seluruh. Dirinyakah lelaki yang kukenal dan akhirnya pergi itu? Lelaki itukah yang menyertaiku dalam putaran roda waktu silam? Dia tak berubah, hanya sedikit lebih berisi.
Lalu aku benar-benar menyapanya setelah acara seminar selesai. Aku mencoba untuk dapat berjalan bersisian dengannya di kerumunan itu. Kusapa dia dengan sapaan cinta terdahulu dengan bergumam :”Bayakbajungku..?”. lelaki itu tersentak, sepertinya ia mengingat sapaan itu, ia berpaling sebentar. Memandangku. Saat mata bertemu, sejuta perasaan mengalir deras dan melimpah. Lutut bergetar dengan perasaan campur aduk. Percakapan terjadi tidak kurang dari 3 menit. Selesai. Kemudian ia menyodorkan sesuatu dalam amplop. Aku dan dia tersenyum kemudian ia berlalu. Ada sesuatu yang bangkit dan menyeruak dari hati. Hatiku berteriak.
“Aku masih mencintaimu”
Aku kemudian membuka amplop. Sebuah undangan pernikahan. Tertulis namanya dan nama seorang perempuan yang kukenal. Serasa langit, bulan bintang, luluh menimpaku. Sedangkan perasaan cinta yang baru saja tumbuh kembali, menggelepar, hangus, meregang nyawa dan terkapar mati. Sedangkan punggung lelaki itu menjauh dan adalah sia-sia bila mengharapkannya kembali lagi. [SY]
Zack Arya nama pena dari Zakaria Nur Elyasy, adalah putra Gayo kelahiran Kute Tanyung Kab. Bener Meriah 19 April 1984. Novel pertamanya terbit pada tahun 2010 dengan judul “El-Masiyä”, sebuah novel yang berkisah dengan latarbelakang konflik antara Gerakan Aceh Merdeka (GAM) dan Tentara Indonesia yang berimbas pada kesengsaraan rakyat dengan tokoh utama sepasang kekasih bernama Kamal dan Arnati. Novel setebal 221 halaman itu di endesor-i oleh Salman Yoga S dan Herman RN. Saat ini Zack Arya tinggal di Banda Aceh dan bekerja di LIPIA serta dosen di beberapa perguruan tinggi.