Oleh : Win Wan Nur
#Kapal Mariner of The Seas

SEPULANG dari kampung halaman, tanggal 20 Februari 2017, kami sekelurga liburan bersama. Kali ini kami memilih berlibur dengan Kapal Pesiar “Mariner of The Seas” milik perusahaan kapal “The Royal Carribean” dalam perjalanan selama lima hari empat malam, mulai dari Singapura, kemudian singgah Port Klang di Malaysia dan terakhir singgah di Phuket, Thailand sebelum kembali ke Singapura.
Kapal akan bertolak dari Singapura pada pukul 17.00 waktu setempat yang juga sama dengan waktu bagian Indonesia Tengah. Untuk itu kami sekeluarga berangkat dari Bali menggunakan pesawat pertama yang berangkat pukul 7.00 pagi dengan menempuh perjalanan selama hampir tiga jam sebelum mendarat di Changi.
Karena kami sekeluarga lebih menyukai alam dan keunikan budaya lokal, tak ada kunjungan apapun di Singapura, sebab Singapura memang cuma kota. Kecuali ada niat belanja, baru Singapura menarik. Saya melihat Singapura itu seperti Lippo Karawaci atau Lippo Cikarang yang ukurannya diperbesar. Kebetulan dulu kami sempat tinggal di Lippo Karawaci. Jadi dari Changi, kami segera menuju ke Marina Bay, tempat “Mariner of The Seas” bersandar. Tiba di sana, calon penumpang sudah ramai. Mereka datang dari berbagai negara. Segala macam makanan yang dibawa, diperiksa dan harus ditinggalkan.
Selesai dengan semua proses, kami masuk ke kapal yang ukurannya lebih besar daripada gedung pelabuhannya sendiri. Ya bayanGkan saja, kapal “Mariner of The Seas” ini memiliki panjang 311 meter, lebih dari tiga kali panjang lapangan bola. Deknya terdiri dari 14 lantai dengan tinggi total 48 meter, lebih dari tiga kali pohon kelapa yang paling tinggi.
Kami tiba di dalam kapal sekitar pukul 15.00. Kapal buatan Finlandia yang memiliki berat total 138.279 ton ini mampu menampung penumpang sebanyak 3200 orang yang dilayani oleh 1200 pekerja. Yang kalau dijumlahkan, hampir sebanding dengan jumlah penduduk kecamatan Atu Lintang. Semua kebutuhan air untuk penumpang dan kru, diproduksi sendiri oleh kapal ini dengan cara menyuling air laut. Kapal ini mampu memproduksi lebih dari dua juta liter air bersih per hari.
Anak-anak sangat senang berada di dalam kapal karena segala fasilitas yang mereka sukai ada di sana, mulai dari dinding panjat setinggi 15 meter, lalu ada lapangan basket, lapangan golf mini, lapangan seluncur es, bioskop, perpustakaan dan tentu saja kolam renang dan kolam jacuzzi. Ada dua kolam renang dan lima kolam Jacuzzi di kapal ini. Tapi yang paling heboh menurut anak-anak adalah makanan yang tidak ada habis-habisnya, tersedia 24 jam tanpa jeda. Kata Lintang, salah satu dari anak kembar saya yang paling suka makan, kapal ini seperti Surga yang diceritakan gurunya.
Segala makanan yang mereka suka, mulai dari daging domba panggang, kentang goreng, segala masakan ala Indonesia, buah-buahan mulai dari buah lokal seperti pisang dan semangka sampai anggur, buah persik dan plum yang biasanya cuma bisa mereka hemat-hemat karena sangat mahal, di kapal ini tersedia dalam jumlah melimpah dan bisa diambil semaunya, sebanyak apapun yang dia suka.
Tapi sayangnya, jaringan Wi Fi di kapal ini harus bayar, 1,5 juta untuk tiga hari untuk satu perangkat. Karena alasan pekerjaan, kami memilih gadget milik istri saya yang menerima Wi Fi, karena itulah sepanjang perjalanan ini saya nyaris putus hubungan total dengan dunia luar. Meski sesekali memantau perkembangan dengan menggunakan gadget milik istri saya.
Pukul 17.00 kapal berangkat meninggalkan Singapura dengan kecepatan 22 knot (41 km/jam). Tapi kita yang di dalam sama sekali tidak merasakan kapal ini sedang bergerak. Kita serasa berada di dalam sebuah mall saja, atau seperti di hotel kalau sedang berada di dalam kamar.
Pagi harinya, kami tiba di Malaysia dan kapal bersandar di Port Klang. Sebagian besar penumpang turun untuk berjalan-jalan ke Kuala Lumpur, tapi anak-anak saya tak ada satupun yang berminat turun. Alasannya sama seperti di Singapura. Tidak ada sesuatu yang khas dan menarik untuk dilihat di Malaysia. Anak-anak lebih memilih menikmati fasilitas kapal, melakukan panjat tebing, bermain seluncur es (ice skating) dan tentu saja makan dan berenang. Baru keesokan harinya, ketika kami tiba di Phuket, Thailand. Kami semua turun ke darat dan melakukan tur.
Kami turun di Phuket karena nama pulau ini begitu terkenal, lagi pula budaya Thailand dengan bangunan-bangunannya cukup unik dan layak untuk dikunjungi. Anak-anak juga penasaran dengan Thailand karena mendengar cerita saya. Ya saya sebelumnya memang sudah pernah ke Thailand, tapi saya waktu itu berkunjung ke Bangkok dan Thailand Utara.[]