Uji Publik Bagi Calon Kepala Sekolah

oleh
Para calon siswa baru MTsN Jagong mendapat arahan dari Kepala Madrasah, Ahmad Ardiri,S.Ag.MA sebelum mengikuti TUK.(LGco-Mahbub Fauzie)

Oleh Johansyah*

KEPALA sekolah memiliki peran penting dalam mewujudkan visi misi pendidikan. Sebagai manajer, kepala sekolah bahkan menjadi salah satu faktor penentu maju-mundurnya pendidikan di sekolah yang dia pimpin. Kepala sekolah yang memiliki integritas, dedikasi tinggi, dan profesional akan memberikan warna tersendiri bagi perkembangan dan situasi sekolah ke arah yang lebih baik. Sementara kepala sekolah yang tidak berintegritas dan profesional pastinya akan menggiring pendidikan sekolah pada jurang kehancuran.

Oleh sebab itu, rekrutmen dan penempatan kepala sekolah harus benar-benar profesional pula. Dalam hal ini pemerintah harus serius menyusun regulasi terkait hal ini. Artinya regulasi rekrutmen dan penempatan kepala sekolah dilakukan semaksimal mungkin dan harus berdasarkan regulasi yang betul-betul mampu menampilkan manajer pendidikan yang beritegritas, dedikasi tinggi, dan profesional.

Dalam Peraturan Menteri Pendidikan Nasional (Permendiknas) Nomor 13 tahun 2007 tentang standar kepala sekolah/madrasah memang telah disusun sedemikian rinci bahwa ada kualifikasi umum dan khusus kepala sekolah. Kualifikasi umum meliputi; (1) memiliki kualifikasi akademik (S1) atau diploma IV (D-IV) kependidikan atau non kependidikan pada perguruan tinggi terakreditasi; (2) pada waktu diangkat sebagai kepala sekolah usia setinggi-tingginya 56 tahun; (3) memiliki pengalaman mengajar sekurang-kurangnya 5 (lima) tahun sesuai dengan jenjang sekolah masing-masing, kecuali guru di taman kanak-kanak/raudhatul athfal (TK/RA) memiliki pengalaman mengajar sekurang-kurangnya 3 (tiga) tahun di TK/RA; dan (4) memiliki pangkat sekurang-kurangnya III/c bagi pegawai negeri sipil (PNS) dan bagi non-PNS disetarakan dengan kepangkatan yang dikeluarkan oleh yayasan atau lembaga yang berwenang.  

Dalam permendiknas tersebut juga telah diatur kualifikasi khusus kepala sekolah, mulai dari jenjang pendidikan usia dini sampai jenjang pendidikan sekolah menengah atas. Intinya bahwa kepala sekolah harus memiliki kualifikasi dan kompetensi, yakni kompetensi kepribadian, kompetensi manajerial, kompetensi kewirausahaan, kompetensi supervisi, dan kompetensi sosial.

Dalam implementasinya, rekrutmen kepemimpinan pendidikan saat ini belum sepenuhnya mampu mengidentifikasi secara nyata sesuai dengan poin-poin kualifikasi di atas. Malah rekrutmen kepala sekolah masih sarat kepentingan-politik balas jasa, dan terkait dengan jaringan tim sukses (timses) salah satu calon yang dijagokan saat pilkada. Selain itu, untuk menjadi kepala sekolah, salah satu syarat yang diajukan hanya sertifikat kepala sekolah yang dikeluarkan oleh salah satu lembaga yang telah dipercaya oleh pemerintah.

Rilnya, rekrutmen kepala sekolah belum berorientasi pada profesionalisme, tapi lebih didasarkan pada kedekatan dan jaringan politis. Tidak hanya itu, disinyalir jabatan kepala sekolah menjadi ‘barang dagang’ yang diperjual belikan. Kalau ada yang ingin menjadi kepala sekolah, maka harus ada ‘mahar’ untuk melamar jabatan tersebut. Berarti rekrutmen kepala sekolah masih jauh dari konsep idealnya.

Akibatnya banyak kepala sekolah yang pada hakikatnya tidak layak menjadi manajer pendidikan, tapi karena dia memiliki kedekatan dengan pejabat atasan dan bersedia mengisi ATM atasan, maka dia memperoleh jabatan tersebut. Kalau disurvey ke publik dan para guru di sekitarnya, maka mayoritas mempertanyakan kenapa dia sampai menjadi kepala sekolah? Menurut penilaian publik dan para guru, dia sebenarnya tidak layak.

Kalau demikian, ada masalah serius dalam sistem rekrutmen kepala sekolah yang sudah ada selama ini. Artinya harus ada regulasi lain yang lebih memungkinkan untuk melahirkan sosok kepala sekolah yang betul-betul mampu mengorbitkan manajer pendidikan sesuai dengan kompetensi kepala sekolah. Salah satu regulasi yang memungkinkan untuk diwacanakan dan diimplementasikan adalah rekrutmen kepala sekolah dengan berbasis pada uji publik.

Apa itu uji Publik?

Uji publik dapat diartikan sebagai suatu proses pengujian atau sosialisasi kepada pemangku kepentingan internal dan/atau eksternal dari draf standar sebelum ditetapkan sebagai standar. Kegiatan uji publik ini biasanya merupakan penyempurnaan gagasan yang sudah lama dihimpun dan ditelaah. Dengan adanya uji publik, masyarakat dapat mengetahui struktur draft dari sesuatu yang diuji publik dan juga dapat memberi saran atau kritik, tentunya yang bersifat konstruktif (sumber: www.megasitus.com/2012/12/definisi-uji-publik.html).

Secara filosofis uji publik dimaksudkan untuk memberi ruang partisipasi kepada rakyat untuk dapat mengetahui, mengukur dan menilai kualitas pengetahuan, integritas dan moralitas calon kepala pemerintahan, oleh karena publik atau rakyat yang menjadi subjek (pemegang) kedaulatan dalam pemerintahan terutama bagi RI yang menganut bentuk pemerintahan republik. Secara sosiologis uji publik dimaksudkan untuk memberi ruang partisipasi kepada publik untuk mengetahui, mengukur dan nilai kualitas pengetahuan, integritas dan moralitas calon kepala pemerintahan sebagai leader atau pemimpin oleh karena publik menjadi objek dari pemerintahan negara atau daerah (sumber: http://rakyatsulsel.com).

Lebih sepesifik, terkait dengan rekrutmen kepala sekolah, maka uji publik dimaksudkan untuk mengetahui kualitas calon kepala sekolah secara langsung. Kualifikasi dan kualitas kepala sekolah tidak cukup hanya dilihat dari catatan-catatan administrasi saja, tetapi perlu pembuktian. Uji publik inilah yang dimanfaatkan sebagai ajang pembuktian.

Untuk tujuan ini, maka dinas pendidikan dan kebudayaan kabupaten/kota dan provinsi dapat menjadi lembaga penyelenggara uji publik ini. Adapun komponen yang dilibatkan adalah stakeholders pendidikan. Lebih rilnya unsur yang dilibatkan dalam uji publik tersebut adalah akademisi di bidang pendidikan, perwakilan guru, komite sekolah, serta dari dinas pendidikan sendiri.

Kelebihan uji publik ini antara lain adalah adanya unsur transparansi tentang kelayakan calon kepala sekolah. Uji publik akan menghilangkan asumsi bahwa ada permainan di tingkat pejabat untuk penentuan kepala sekolah. Selain itu diyakini bahwa sistem seperti ini akan mengorbitkan kepala sekolah yang berkualitas.

Terakhir, kita berharap kepada kepala daerah, baik di tingkat kabupaten/kota, maupun tingkat provinsi untuk mau dan mampu melakukan terobosan semacam ini dalam rangka meningkatkan kualitas kepemimpinan pendidikan. Harapan kita, kepala sekolah sebagai manajer dari hasil uji publik ini mampu menjadi teladan bagi para warga sekolah, inspirator, motivator, dan berorientasi pada peningkatan kualitas pendidikan. Semoga!

*Johansyah, Pemerhati Pendidikan, dan Pegawai Dinas Syariat Islam dan Pendidikan Dayah Aceh Tengah. Email: johan.arka@yahoo.co.id.

Comments

comments

No More Posts Available.

No more pages to load.