*Kisah nyata Catatan Fathan Muhammad Taufiq

Tamat dari SMA tahun 1986 lalu, sebenarnya aku ingin bisa kuliah di universitas negeri di luar kota seperti teman-temanku, tapi kondisi ekonomi orang tuaku pada saat itu sangat tidak memungkinkan untuk membiayai kuliahku, hasil dari kebun belum seberapa karena memang kami belum lama panda dan membuka kebun di daerah ini, sementara empat adikku juga masih butuh biaya sekolah. Sebagai anak tertua aku berlapang dada untuk “mengalahkan” egoku, aku lebih memilih untuk membantu kedua orang tuaku di kebun daripada berkhayal menjadi mahasiswa di perguruan tinggi favorit yang tentu akan sangat membebani orang tuaku.
Hari-hariku kemudian kujalani di kebun yang memang saat itu masih membutuhkan perawatan ekstra, batang-batang kopi yang masih kecil itu perlu dirawat dengan baik agar nanti bisa menghasilkan buah yang banyak, sementara menunggu batang kopi itu berbuah, aku juga mencoba menanam beberapa komoditi palawija dan sayuran seperti jagung, kacang merah dan tanaman semusim lainnya yang cepat berproduksi untuk mememenuhi “kebutuhan dapur” keluarga orang tuaku.
Sudah lebih enam bulan aku berkutat di seputaran kebun orang tuaku, aku nyaris sudah melupakan ijazah SMA yang kuraih dengan susah payah itu, kebunpun sudah nampak bersih dan batang-batang kopi mulai tumbuh dengan baik. Seorang tetanggaku bernama Subandi mengajakku untuk “mencari uang” dengan bekerja di hutan menebang dan mengolah kayu menjadi bahan seperti papan, kaso, reng dan kayu olahan lainnya, kebetulan pada waktu itu hutan masih sangat lebat dan kayu-kayu berkualitas masih mudah didapatkan. Karena aku juga sangat membutuhkan uang, akupun menyambut ajakan Subandi, kebetulan dia memegang satu unit chain saw milik temannya yang ada di kota Takengon.
Kami memilih “tempat operasi” di kawasan hutan di daerah Arul Item, yang waktu itu masih merupakan hutan lebat dengan berbagai pepohonan besar, sehingga kamileluasa untuk memilih pohon mana yang bisa ditebang dan di “olah”, sudah ada beberapa operator gergaji mesin yang beroperasi disitu, waktu itu tepatnya di akhir tahun 1986, peraturan tentang penebangan dan pengolahan kayu hutan belum seketat sekarang. Kami memutuskan untuk mendirikan gubuk darurat yang sering disebut sebagai kem (camp) berupa bangunan sederhana terdiri dari lantai papan yang dibuat agak tinggi, diberi dinding di bagian belakang serta atap dari plastik hitam, sementara disamping kanan kiri serta depan sama sekali terbuka. Kem kami berada di pinggi sungai kecil yang berada di tengah belantara Arul Item yang sangat sepi, jauh dari kem teman-teman lain sesama “perambah hutan”, kami memilih tempat itu karena kayu-kayu disitu besar-besar dan bagus-bagus.
Usai mendirikan kem, kamipun segera memulai aktifitas kami, beberapa pohon besar sudah berhasil kami tumbangkan, itu kami lakukan agar besoknya kami tinggal membelah dan mengolah kayu itu menjadi bahan yang bisa langsung kami jual kepada “toke” kayu. Tapi rupanya keberuntungan belum berpihak kepada kami, baru bisa mengolah beberapa meter kubik kayu, gergaji mesin yang kami operasikan mulai “mengulah”, oli sampingnya bocor dan putaran rantainya menjadi macet, Subandi yang agak tau tentang mesin itu mencoba mengutak-atik sarana operasional kami itu, tapi seharian memperbaiki, mesin itu tak kunjung normal.
“Sepertinya ada alat yang harus diganti, aku akan mencarinya ke Takengon besok” kata Subandi setengah menyerah.
“Pergilah, aku biar nunggu disini saja, tapi usahakan sore balik kesini” sahutku.
Paginya Subandi berangkat membawa chain saw nya menuju kota Takengon yang berjarak kurang lebih 55 kilometer dari lokasi kerja kami, dengan kondisi jalan yang masih parah, waktu itu nyaris tidak ada kendaraan lewat, kalaupun ada hanya truk-truk pengangkut kayu, itupun harus “melawan” jalan becek berlumpur yang sewaktu-waktu bisa membuat kendaraan itu terpaksa “menginap” di tengah jalan. Kebetulan, ketika Subandi sampai di pinggir jalan, ada truk pengangkut kayu yang akan membawa kayu ke Takengon, Subandi akhirnya bisa menumpang truk itu menuju Takengon.
Sendirian di hutan memuat aku merasa bosan juga, aku mencoba mencari “kesibukan” dengan menangkap ikan-ikan kecil di sungai yang ada di depan kem kami, lumayan juga buat lauk makan siangku. Hari sudah menjelang malam tapi Subandi belum juga kembali, rasanya aku ingin meninggalkan kem untuk “menumpang” di kem teman lain yang letaknya cukup jauh, tapi aku kasian sama Subandi, jangan-jangan dia kembali agak malam nanti, akhirnya kuputuskan untuk menunggu saja di kem. Hari semakin gelap, aku mengumpulkan potongan-potongan kayu dan menyalakan api untuk menghangatkan badan, sambil menunggu temanku akupun menikmati makan malam dengan lauk ikan kecil hasil tangkapanku tadi, tidak lupa aku menyisakan nasi dan ikan itu untuk temanku.
Malam semakin larut, tapi tidak ada tanda-tanda Subandi kembali ke kem, akhirnya setelah menjalankan kewajiban sholat Isya, akupun merebahkan badanku di lantai kayu kem, api yang semakin membesar membuat tubuhku hangat dan rasa kantuk yang sudah tidak bisa kutahan membawaku terlelap sendirian di tengah rimba itu. Aku terbangun ketika aku “kebelet” buang air kecil.
Tapi betapa terkejutnya aku ketika kubuka mataku, ada pemandangan “menyeramkan” di depan mataku, kulihat didekat perapian ada seekor binatang besar berkulit loreng “duduk” membelakangi api unggun, jaraknya denganku sangat dekat hanya sekitar 2 atau 3 meter saja. Aku menahan nafasku, detak jantungku seakan berhenti melihat pemandangan itu, seekor harimau besar berada di dekatku, sementara aku hanya sendirian di tengah belantara itu, aku memang tidak bisa melihat muka harimau itu karena dia membelakangiku, tapi aku dapat melihat tubuh besarnya yang dibalut kulit berwarna kekuningan dengan loreng hitam itu, kuperhatikan ekornya bergerak-gerak seakan sedang “mengipasi” api agar tetap menyala.
Rasa kebeletku hilang, tubuhku menggigil seperti terserang malaria menahan rasa takut yang amat sangat, aku nyaris tidak mampu menggerakkan badanku, perlahan tanpa menimbulkan bunyi, kutarik kain sarung yang menjadi selimutku untuk menutup wajahku. Kalau saja saat itu ada yang melihat wajahku pasti wajahku sangat pucat seperti kertas, meski berada di dekat api tapi tubuhku terasa dingin. Aku coba mengatur nafasku, dari balik kain sarung itu aku tetap mengawasi gerak gerik sang “raja rimba’ itu, binatang buas itu masih dalam posisi semula. Dalam kesendirian di tengah hutan itu aku benar-benar sudah pasrah, perlahan mulutku komat-kamit memanjatkan do’a mohon keselamatan kepada sang Maha Kuasa, karena aku yakin hanya Dia yang bisa menyelamatku dari semua mara bahaya. Seluruh syarafku terasa sangat tegang, keringat dingin mulai membasahi punggungku, tapi ketegangan itu belum juga berlalu, binatang besar menyeramkan itu belum beranjak dari dekatku, meski aku hanya melihat punggung dan ekornya, tapi sudah membuatku sangat tercekam, aku hanya berharap semoga malam segera berlalu dan si “mbah” segera meninggalkan tempat itu.
Cukup lama aku dalam ketercekaman dan ketegangan itu, aku tidak bisa mengukurnya dengan jam karena aku memang tidak punya jam, ada keinginan untuk lari, tapi aku fikir berlari di kegelapan hutan bukanlah hal yang mudah bahkan bisa membuatku celaka, aku juga tidak bisa berteriak minta tolong, karena itu akan sia-sia saja, tidak akan ada yang mendengar teriakanku. Yang bisa kulakukan hanyalah diam tanpa bergerak, karena sedikit gerakan bisa saja mengejutkan sang raja dan kemungkinan terburuk bisa saja terjadi.
Keteganganku mulai mengendur ketika sayup sayup mulai kudengar suara ayam hutan bersautan, “Sudah menjelang pagi” pikirku, kuperhatikan sang harimau “bangkit” dari “duduknya”, dan tanpa menoleh ke belakang dia meninggalkan perapian didepan kem, mungkin dia tau, aku bisa pingsan kalo sempat melihat wajah seramnya. Aku bernafas lega, tapi aku belum berani bangkit dari pembaringanku, aku masih khawatir kalau-kalau sang raja kembali lagi. Mataku masih terus mengawasi kepergian harimau itu sampai dia lenyap ditelan kegelapan. Aku mencubit pipiku, terasa sakit, berarti aku tidak sedang bermimpi, apa yang aku kulihat memang benar-benar nyata. Nafasku berangsur normal, detak jantungku yang sedari tadi seakan berhenti serasa berdenyut kembali, apalagi suasana hutan mulai riuh dengan suara siamang yang besahutan, remang-remang fajar juga sudah mulai menerobos pepohonan.
Aku memberanikan diri untuk bangkit dari pembaringan, masih dengan perasaan was-was kulangkahkan kakiku menuju sungai untuk membasuh muka dan mengambil air wudhu. Selesai menunaikan sholat shubuh, perasaanku menjadi agak tenang, tidak lupa kupanjatkan rasa syukurku kepada Allah subhanahu wa ta’ala yang telah melindungiku dari mara bahaya. Aku mulai berfikir, mungkin saja kehadiran sang raja rimba tadi memang bukan untuk mengganggu atau mencelakakanku, tapi dia hanya “menemaniku” yang sendirian di tengah belantara itu. Tapi tidur sendirian di tengah rimba ditemani seekor binatang besar yang menyeramkan itu tentu bukan pengalaman yang menyenangkan, tapi aku tetap bersyukur tidak terjadi sesuatu yang buruk pada diriku.
Sinar mentari mulai menerobos sela-sela dedaunan, kegelapan telah sirna berganti semburat pagi, kicau burung di atas pepohonan seakan memecah kesunyian di tengah belantara itu. Aku memasang periuk untuk memasak air, secangkir kopi sepertinya akan sedikit menghangatkan tubuhku yang seakan membeku ini. Benar saja, setelah menyeruput beberapa teguk kopi, badanku terasa agak hangat, tapi sejujurnya aku belum bisa menghilangkan keteganganku sepenuhnya.
Suasana di hutan semakin terang, hanya satu tekadku, aku harus segera meninggalkan hutan itu, aku tidak ingin kejadian semalam terulang lagi, kubungkus beberapa pakaianku dengan kain sarung kemudian kuikat menyerupai “ransel’. Baru saja aku selesai berkemas, Subandi muncul sambil cengengesan, aku merasa kesal melihatnya,
“Sorry kawan, semalam aku nggak bisa pulang, nggak ada kendaraan lewat” ocehnya tanpa rasa bersalah, aku hanya diam saja.
“Lho mukamu kok pucat sekali” dia seperti agak terkejut begitu melihatku dari dekat
“Ya, aku seperti kurang enak badan” jawabku menyembunyikan apa yang sebenarnya telah terjadi “Kamu cari penggantiku dulu sementara, aku mau pulang, nanti kalo aku sudah sehat aku balik lagi kesini”
Subandi tidak bisa menahanku, akupun segera meninggalkan tempat yang “tidak mengenakkan” itu, butuh waktu sekitar setengah jam untuk mencapai pinggir jalan, kebetulan sebuah truk yang akan mengambil kayu melintas, akupun bisa menumpang truk itu sampai rumah.
Pengalaman “tidak menyenangkan” itu cukup membuatku trauma untuk kembali bekerja di tengah hutan, janjiku untuk kembali bekerja dengan Subandi hanya alasanku saja, aku benar-benar sudah kapok bertemu dengan “penguasa” rimba itu. Meski sedikitpun dia tidak mengganggu atau mencelakakanku, tapi itu sudah cukup menjadi “warning” bagiku untuk tidak mengusik, mengganggu atau bahkan merusak habitat sang raja rimba.
Sejak saat itu aku tidak pernah kembali lagi untuk “mengusik” hutan dan pepohonannya, aku lebih memilih untuk kembali “merantau” ke kota untuk mencoba “merubah” nasibku. Hanya bermodal ijazah SMA, memang tidak mudah untuk mendapatkan pekerjaan yang “layak”, tapi aku mencoba menjalaninya dengan tabah, berbagai pekerjaan “kasar” pernah kujalani, mulai dari pekerja di proyek jalan dan drainase, petugas cleaning service tidak tetap di lapangan tennis, berjualan kain kain keliling sampai menjadi pekerja di pabrik penggilingan padi sampai akhirnya Tuhan “membukakan” pintu rejeki bagiku, seperti lolos dari “lubang jarum”, dengan bermodal Ijazah SMA, akhirnya aku bisa di angkat menjadi pegawai negeri. Meski pengalaman menegangkan itu telah berlalu hampir tiga puluh tahun, tapi sampai sekarang aku masih tetap selalu mengingatnya, apalagi sekarang ada sinetron di tivi yang menyajikan cerita tentang harimau, membuatku selalu teringat pengalaman “tak menyenangkan” yang tidak terlupakan itu.