Ketika Cinta Tak Mengenal Suku

oleh

[Cerpen]

Jusnaini Hasni

Sudah Sampai di mana rombongan? Tanya sang Imam
“Aku tidak tahu” jawabku dengan penuh kegundahan.

NINA, itulah namaku. Ya, dan malam ini adalah malam pernikahanku. Layaknya gadis biasa lainnya, semua ingin menikah di usia yang ideal ketika usia sudah berada antara 24 atau 25 tahun. Kalau menurut perkiraan itu, usiaku sekarang termasuk sangat ideal untuk menikah pada umur 24 tahun. Ternyata, bukan hal yang mudah untuk melangkah kejenjang ini juga tidak terlalu sulit, namun ia akan indah pada waktunya.

Aku berkenalan dengan seorang pria yang berasal dari suku lain di daerahku namun masih dalam satu provinsi.  Akan tetapi, kami memerlukan waktu sekitar 12 jam untuk mencapai kampung kami masing-masing. Persis seperti kata pepatah bahwa cinta tak mengenal jarak dan waktu, jadi begitulah hingga kami sampai kejenjang ini.

Menjelang dilaksanakan akad nikah, tiba-tiba bangun salah seorang perangkat Kampung seraya bertanya, Jadi bagaimana ini? Sudah sampai dimana rombongan? tamu-tamu sudah banyak yang berdatangan, jangan sampai kita malu dengan tamu karena terlambat mulai dan Kepala Kantor urusan Agama (KUA)-nya juga sudah hadir”. Segudang pertanyaan dari tetua kampung yang menyadarkanku dari lamunan dan rasa  deg-degkan.

Iya pak, mereka sudah sampai di kota”, jawabku sekedar. Antara gundah dan berbagai rasa masih mengintai pikiranku. Begitulah hingga 15 menit kemudian, akhirnya rombongan sampai dan akad nikah pun berjalan lancer sesuai rencana. Agak aneh menurut para tamu itu, karena di tempat mereka mungkin tidak terbiasa dengan proses akad nikah di malam hari.

Di daerah mereka, biasanya akad dilangsungkan pada pagi hari dan walimah atau pesta perayaannya beberapa hari setelahnya. Tak bisa disangkal lagi, bisik-bisik tak sedappun menghampiri telinga kami, tapi kami hanya tersenyum dan menanggapinya santai, inilah indahnya perbedaan.

Perbedaan adat kami tidak hanya berhenti sampai disitu saja, keesokan harinya sebelum acara resmi dimulai di kampungku ada acara yang namanya man edet atau biasa disebut beguru. Acara ini diisi dengan tepung tawar pengantin dan acara doa juga makan-makan para bapak-bapak. Setelah itu baru masuk ke acaraintiya itu sanding, keyboard dan lain-lain. Kira-kira jam menunjukkan pukul 10 para tamu mulai berdatangan, disana muncul lagi perbedaan budaya yang lebih besar lagi, sehingga terjadi sedikit miscommunication aantara keduabelah pihak.

Dalam adat mereka,  mahbai atau intatlinto dilangsungkan dengan mengarak pengantin pria dalam rombongan yang diikuti para rombongan yang membawa hantaran dan sebagainya. Sementara di daerahku, mahbai terhitung saat rombongan pengantin pria tiba pertama sekali saat sebelum akad nikah dilangsungkan.  Jadi, setelah man edet, tidak ada acara arak-arak pengantin karena pengantin akan langsung disandingkan di pelaminan.

Bagaimana ini? Kita sudah bawa rombongan banyak-banyak mengapa sampai disini tidak ada acara arak-arak? Protes salah seorang dari mereka. Aku dan suamiku saling pandang dan tersenyum mencoba untuk saling menguatkan. Tidak apa-apa. Kita ikuti saja adat disini bagaimana”, ujar yang lainnya lagi.

Tamu-tamu terus berdatangan, berfoto dan bersalaman hingga acara selesai menjelang sore. Kebingungan, rupanya belum bersedia meninggalkan kami berdua. Setelah acara pesta usai adalagi edet munyerahi. Adat ini dari pihak keluarga ibu mempelai wanita yang dalam istilah i juelen. Jadi sekiranya yang menikah adalah anak perempuan, maka yang munyerahi adalah dari pihak abang atau adik laki-laki ibunya/paman. Atau kalau tidak ada paman, maka bisa jadi dari keluarga nenek pihak ibunya. Acara ini dimulai dengan mengarak kedua mempelai dari rumah pamannya, kedua mempelai akan menunggang kuda dan rombongan mengikuti di belakangnya. Acara ini diadakan sebagai symbol sayangnya keluarga terhadap anak perempuannya yang telah mengakhiri masa lajang dan memasuki jenjang kehidupan yang baru serta mereka mendoakan kebahagiaan putrinya bersama keluarganya yang baru.

Gimanani dek? Naik kuda kita ya?” Tanya suamiku sembari memandangku khawatir. Iya” jawabku. Abang belum pernah” katanya mengakui.

Sama bang” ujarku menanggapi.

Kami pun tertawa membayangkan bagaimana nantinya edet naik kuda ini. Serangkaian acara tepung tawar kembali kami lalui. Hingga akhirnya tibalah saat yang kami tunggu-tunggu. Kami harus naik kuda terpisah, dan yang menjadi masalah adalah kudanya kuda yang baru menang pacuan, dan lengkaplah sudah kepanikan kami.

Ayo..naik saja..tidak apa-apa”, ujar empunya kuda.

Kami pun naik dan merasakan kuda mulai berjalan. Sungguh sensasi yang aneh. Perasaan takut, seru, senang dan malu bercampur jadi satu. Ah ternyata setelah dilalui, perbedaan itu indah rasanya. Kami pun di arak seraya menunggang kuda. Benar-benar seperti raja dan ratu yang di arak rakyatnya. Kami terharu merasakan perhatian keluarga yang ingin kami terus bahagia.  Terharu membayangkan mereka rela mengeluarkan biaya dan tenaga yang tidak sedikit untuk acara ini.

Dek, seru juga ya naik kuda” ujar suamiku.

Di kampung abang gak ada adat kek gini”, tambahnya.

Iya bang makanya serukan nikah sama orang Gayo”, jawabku berbisik.

Kami terus tersenyum bahagia sepanjang acara munyerahi, merasakan berbagai rasa yang bercampur aduk. Tertawa ketika ada yang menggoda, menitikkan air mata haru ketika orang tua member nasehat. Hari itu benar-benar special bagi kami dan perasaan bahagia seakan kesejukan negeri seribu bukit betul terasa. Hingga hari ini, tahun keempat pernikahan kami, momen bahagia itu tidak pernah lekat dari ingatan. Yah, semoga selalu dan selamanya begini. Indah semakin terasa ketika Gayo dan Aceh bersatu dalam cinta sama seperti indah mencintai perbedaan karena cinta telah bersatu.[SY]

Jusnaini Hasni. Lahir di Kuta Panjang, 20 Juni 1988, warga Rema Kabupaten Gayo Lues.

Comments

comments

No More Posts Available.

No more pages to load.