Kita Cermin Pemimpin

oleh

(coretan untuk tanggal 15 Februari 2017)

Oleh : Isma Arsyani*

HINGGA se-jumat, tujuh hari, seratus enam puluh delapan jam, sepuluh ribu delapan puluh menit, dan enam ratus empat ribu delapan ratus detak, sebelum tanggal 15 bulan kedua warsa 2017, Pang Ujen masih daif akan siapa yang harus dia pilih. Wajah yang tampil menggunakan pesona lama yang bakal memberi pekasih dengan rumus yang sama tak jauh dengan wajah lama. Pang Ujen sadar sesadar-sadarnya dengan tatanan pemilhahan imam seperti ini, rupa dan citra apa pun yang unjuk diri tetap memakai jurus yang sama dalam menarik simpati rakyat untuk dipilih menjadi pemimpin. Seidealis apa pun sang calon saat ingin menjadi pemimpin dan mengunjukkan diri dalam sebuah plakat, pasti akan asali gaya, desain dan modus operandi yang diperi.  Pang Ujen merasa kandas kalbunya saat teruna seperti Khalisuddin, Oji Ramadhan, dan angkatan muda lainnya urung bertarung. Setidaknya Pang Ujen damba muncul pautan akan rona pada deretan wajah kandidat yang ada. Namun apa boleh bikin lipuran tetap akan datar, tak ada aksi kocak yang dapat menghibur rakyat baik sebagai pemilih juga pirsawan.

Uraian akan Pang Ujen di atas merupakan sketsa sebagian kecil jiwa yang ingin adanya pembaruan “wajah” para pasangan calon kepala daerah. Tak hadirnya potret kejutan yang kuasa menjadi bidak hitam untuk memberi corak yang beda dalam peta siyasat pemilihan kepala daerah menjadikan episode pemilihan imam menjadi sedikit tak berbumbu. Dengan kaidah yang ditentukan oleh negara, memang “potret kejutan” yang diinginkan akan jarang terjadi, apalagi dengan tatanan yang membutuhkan keahlian mengumpulkan logistik berkarung-karung untuk dibagikan menjadi kotak-kotak bekal kepada para pengusung. Absurd.

Opini ini hadir saat saya mendengar ceramah dari salah satu bakal calon yang tak jadi ikut dalam percaturan ini. Beliau mengatakan rezim buruk buruk muncul akibat rakyat juga berperangai sama. Pernyataan yang jauh sebelum hadir di matan dialog kami juga sudah pernah jauh hadir di serebrum saya. Otak saya tak secara instan bisa menerima barisan kata di atas, namun telah saya baca dari perkataan salah satu Khulafaur Rasyidun, sepupu sekaligus menantu Rasulullah shallallah alaihi wa sallam, Ali ibnu Abu Thalib radhiya allah anh. Beliau pernah ditanya oleh seorang khawarij akan recoknya keadaan rakyat saat berada di bawah kendalinya dan di bawah Usman ibnu Affan, Dzun Nurain, (menantu Nabi), dibandingkan dengan di saat Abdullah ibnu Abu Quhafah dan Abu Hafsah radhiya allau anhuma, (keduanya mertua Nabi sekaligus dua sahabat yang paling mulia). Ia menangkis dengan berujar: “Saat Abu Bakar dan Umar ibnu Khattab, radhiya allau anhuma, menjadi pemimpin, aku lah rakyatnya. Namun saat ini kau lah tipe rakyat yang aku pimpin”. Armi Arija juga pernah menukilkan kisah yang tertera pada Syarah Adz Dzahab ini di artikelnya pada rubrik opini pada hari ke-11 candra ke-8 warsa 2016 tentu di media daring https://lintasgayo.co ini.

Nukilan bernada serupa juga diutarakan oleh ulama yang juga seorang tabib atau dokter yang berlipat coretannya tertampung di dalam kitab-kitabnya, Ibnu Qyyim Al Jauziyyah. Beliau juga menggambarkan bagaimana hubungan antara warga negara dan penguasa. “…Apabila rakyat di dalam negeri tersebut komitmen dalam menjalankan syari’at, maka tentu penguasanya pun demikian. Apabila mereka berlaku adil, maka para penguasa akan berlaku adil kepada mereka. Apabila mereka suka berbuat kemaksiatan, maka para penguasa juga akan senantiasa berbuat maksiat…” Pernyataan beliau di atas adalah sedikit dari beberapa kalimat yang dia utarakan pada kitab Miftah Darus Saadah.

Opini tak akan elok bila tak menyertai dalil untuk berhujah. Konon lagi saya adalah seorang muslim. Sila kita jenguk dan melawati mushaf kita di kamar dan kita kaji kalam Allah pada ayat-Nya yang mulia pada Surat Al-An’aam ayat 129. “Dan demikianlah Kami jadikan sebahagian orang-orang yang zalim itu menjadi penguasa bagi sebahagian yang lain disebabkan apa yang mereka usahakan.”

Pang Ujen dan jiwa yang kalbunya resah kiranya bisa maklum bila merujuk pada dalil dan dua atsar di atas. Mari lihat rumah tempat kita berpijak dan atap di mana kita junjung. Lihat segala pojok. Bagaimana persona kita di ruang itu. Lihat lah menasah, selain maghrib juga tarawih di Ramadhan, tak ayal kita lafal, shaf pertama tak kunjung penuh. Shaf masih punya ruang untuk diisi kucing hitam. Lihat lah pojok lain dari ruang hidup kita, di lampu merah. Seberapa besar nyali kita berhenti di lampu yang berwarna ahmar saat joki acap membunyikan klakson dari balik kaca yang aswad. Perempatan dengan sinyal lalu lintas hanya jadi ajang siapa lekas dia laju, persetan dengan orang lain. Lain di pojok sana, saat kita peri akan helat, kita menutup jalan. Padahal Rasulullah shallallah alaihi wa sallam pelihara laku kita dengan hadits, jalan itu punya hak.

Di pelosok lain dalam tanah kita pijak ini, saat bayar upeti tunggangan, kaum kita enggan antri dan menulis isian wajib upeti. Dengan hujah, buang-buang waktu. Rasuah subur. Terbilang ragam akan laku kita yang menjadi cermin bagi siapa yang akan jadi rais kita ke depan.

Bukan kita tak punya langkah lepas buat mencari pemimpin yang ideal.

Berdasarkan dalil – dalil di atas jelas solusi yang harus kita perankan sebagai kaum dan warga negara adalah Tauhid. Pengejawantahan mau pun praktik yang kerap kita lakoni akan tauhid adalah dua jumlah syahadat. Syahadataian ini punya konsekuensi atau buah, bahwa kita siap mendengar dan taat akan perintah Allah dan Rasul. Dari sekian banyak (semua) matan dari risalah Allah yang dibawa Nabi shallallah alaihi wa sallam untuk kita, umat dengan agama yang sudah sempurna, Islam, adalah taat lah pada pemimpin atau pun penguasa kita. Taatilah pada aturan yang sudah dituliskan. Tak ada ruang bagi kita untuk enggan akan semua amarannya. Selain aba-aba mereka untuk melanggar syariat, patuhilah. Bila pun mereka membuat kecewa, sabarlah. Itulah titah dari baginda kita Rasulullah shallallah alaihi wa sallam. Sabda Rasul adalah wahyu Allah. Itu yang harus kita yakini dan imani.

Riwayat masa lalu sudah beri kita ajaran, saat masyarakat dengan sabar dan ikhlas menjalankan amaran dari para rais-nya yang punya rezim yang lalim. Takdir menjadikan ke depannya Imam yang adli. Lihat lah sebelum Umar bin Abdul Aziz menjadi khalifah. Bagaimana keadaan umat di saat itu, mereka merana. Namun karena wejangan dari ulama agar mereka sabar, berdasarkan risalah, Allah gantikan pemimpin yang adil yang menjalankan risalah. Mengapa, karena rakyat sudah menjalankan risalah terlebih dahulu.

Hitungan detik sudah berubah. Pun dengan menit. Hari akan juga berganti. Pang Ujen siap memedomani isi risalah Allah yang dibawa Nabi-nya untuk senantiasa berdoa, munajat, dan berpikir jernih buat hadapi beberapa saat ke depan. Setiap an-nidaa’ mengumandang dari mersah, dia harus isi shaf terdepan dan mengajak sahabat agar merapatkan shaf di setiap waktu agar kucing hitam tak seenaknya nyelonong.  Pang Ujen siap saat ada sinyal misbah lalu-lintas berwarna biram, dia akan segera berhenti. Tak peduli pluit berderu-deru di belakang. Pun sebaliknya, pluit tunggangan kita tak seenaknya berbunyi saat ada orang di depan kita menghalangi. Pang Ujen harus siap lelah antri saat beri upeti, tak perlu rasuah.  Walau ber kuda motor, tak lah damba susuri jalan searah dengan berlawan arah, agar hak jalan tetap ada. Khanduri tak lah perlu menyebabkan khalayak ramai kesusahan harus memutar kemudi hindari sendat arus rute-marga.

Bila pun tak bisa mengubah hasil pada datum 15 Februari ini, moga kebiasaan rakyat ini bisa mengubah pimpinan kita ke depan. Pang harus optimis akan hal ini. Sayup -sayup Pang dilintasi Ar -Ra’du ayat 11, “Sesungguhnya Allah tidak akan merubah keadaan suatu kaum sehingga mereka merubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri”[]

*Warga Aceh Tengah

Comments

comments

No More Posts Available.

No more pages to load.