[OPINI] Pilkada dan Keretakan Silaturahmi

oleh
Muslim Ibnu Zulkarnain

Oleh: Muslim Ibnu Zulkarnain

UNDANG-Undang nomor 8 tahun 2015 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota menyebutkan bahwa Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) dilakukan setiap lima tahun sekali. Siklus lima tahunan itu kini sudah diambang mata. Dalam waktu dekat Aceh akan menylenggarakan kembali  pilkada secara serentak pada level provinsi dan 20 Kabupaten/Kota. Bagi Aceh ini adalah Pilkada yang ketiga, dan khusus Kabupaten Gayo Lues merupakan pilkada ke-4.

Layaknya sebuah kompetisi, pilkada sudah tentu menyediakan pihak yang menang dan kalah, karena hanya perebutan satu kursi, sementara peminatnya bisa lebih dari satu orang. Guna menjadi kontestan terunggul, maka para kandidat harus mampu mengerahkan segenap potensi dan sumberdaya, baik berupa finansial maupun non-finansial. Pengerahan ini berkonsekuensi pada investasi logistik, artinya mereka yang memiliki kekuatan finansial maka bisa mengerahkan sumberdaya secara lebih maksimal.

Ciri khas kompetitifnya sebuah pilkada bisa terbaca dari adanya rivalitas yang terbangun secara natural dalam setiap tahapan kontestasi. Rivalitas tersebut tidak berhenti hanya pada level kandidat tetapi meluas hingga ke sel-sel jaringan timses yang dibangun di bawahnya. Artinya pada tingkatan timses juga ada potensi kompetisi yang bermuara pada potensi meretakkan hubungan silaturahmi.

Pengalaman pilkada Gayo Lues sebelumnya menunjukkan adanya fenomena keretakan silaturrahmi diantara sesama warga masyarakat yang memiliki pilihan calon yang berbeda. Hal ini berawal dari sikap saling hina antar sesama pendukung yang bermuara pada aksi balas dendam hingga terjadinya perselisihan. Menulis tulisan ini saya ingin berbagi tentang hal tersebut secara lebih elaboratif.

Silaturahmi yang Retak

Beberapa hal yang menyebabkan terjadinya keretakan silaturahmi diantaranya adalah sikap timses atau relawan yang terlalu sentimentil dalam membaca rivalitas dan kompetisi pilkada. Massa pendukung terlalu membawa perasaan (baper), dan gagal mengendalikan rasionalitasnya dalam melihat sifat kompetitifnya sebuah Pilkada. Karena terlalu menjagokan kandidatnya, mereka meyakini hanya kandidatnya saja yang benar, dan menutup mata
terhadap prestasi kandidat lain.

Beberapa faktor penjelas yang bisa kita jadikan alasan untuk memahami sikap sentimentil tersebut adalah, pertama, faktor rendahnya tingkat pendidikan massa pendukung sehingga mereka mudah terpengaruh oleh berita-berita yang terkesan provokatif dan menghasut. Padahal bila mereka mau mencerna lebih jauh, boleh jadi berita tersebut adalah fitnah belaka (hoax).

Kedua, faktor kondisi ekonomi dimana masyarakat merasa termakan budi atas bantuan yang diberikan oleh para kandidat, maka timbul rasa hendak membela kandidatnya secara gelap mata. Misalnya ada TimSes yang memberi bantuan sembako, lalu masyarakat yang menerima bantuan tersebut merasa risih bila tidak membela kepentingan figur yang telah memberikan syafaat kepadanya.

Ketiga, faktor agama dimana masyarakat awam yang tidak memilih berlandaskan agama akan cenderung menggunakan hak pilihnya berdasarkan kebutuhan pragmatis, seperti janji-janji jabatan, proyek-proyek infrastruktur, dan benefit-benefit lain yang bersifat langsung.

Ketiga variabel diatas begitu efektif mempengaruhi seseorang hingga tidak jarang kita temukan, hatta dalam satu keluarga kandung-pun bisa terjadi keretakan hubungan hanya karena berbeda pilihan politik. Hal ini banyak terjadi di Gayo Lues, termasuk juga di beberapa kabupaten di pesisir barat, sejauh hasil observasi penulis. Keretakan hubungan ini terjadi melintas waktu, mulai dari satu musim pilkada, hingga ke musim pilkada selanjutnya. Anehnya, pemimpin daerah telah berganti, namun sikap bermusuhan akibat perbedaan sikap politik masih saja hidup diantara hati anak manusia tersebut.

Pilkada Gayo Lues

Dalam waktu dekat masyarakat Gayo lues akan memilih satu pasangan calon (paslon) dari tiga paslon untuk dijadikan orang nomor satu di Gayo Lues. Rakyat berharap agar komunikasi antar kandidat, dan seluruh timsesnya dapat berjalan dengan baik, tanpa saling menjatuhkan, dan tanpa saling menjelek-jelekan pasangan lain. Apa lagi dengan  adanya penambahan pasukan pengamanan dari unsur kepolisian, rakyat berharap tidak ada lagi kecurangan-kecurangan dalam pemungutan suara nantinya. (mediaaceh.co- 23/09/2016).

Adalah fakta, masyarakat Gayo Lues semakin maju dalam berpolitik, mereka juga dapat mengakses pengetahuan dari berbagai sumber-sumber dan media komunikasi, baik media cetak maupun dunia maya. Masyarakat sudah memahami nilai-nilai demokrasi sehingga masyarakat mampu memilih bukan karena faktor kekerabatan, intimidasi, dan money politics.

Kita berharap penyelenggara pilkada juga harus jujur dan profesional guna memimalisir konflik dan bisa menghasilkan pemimpin yang berkualitas dan amanah. Pemimpin yang amanah dengan sendirinya akan menghilangkan semua potensi ketidakpuasan yang muncul di tengah-tengah masyarakat. Semoga Aceh yang sejahtera segera terwujud. Amin ya rabbal alamin.[]

Penulis adalah Mahasiswa Ilmu Politik FISIP UIN Ar-Raniry,  Banda Aceh

Comments

comments

No More Posts Available.

No more pages to load.