Bencana; Jalan Untuk Kembali

oleh

(Refleksi Peristiwa Tsunami Aceh 2004)

Catatan Johansyah*

HARI minggu, tanggal 26 Desember 2004, paginya saya bersama seorang teman di asrama Pascasarjana UIN Ar-Raniry berencana meraton ke Alue Naga, sebauh kawasan pantai melewati Jembatan Krueng Raya. Rencana itu gagal karena kami bangun agak lambat, sekitar jam 6 pagi. Untuk pergi ke sana biasanya memang agak cepat, setelah shalat subuh sekitar jam 5 atau paling lambat jam 5.30. Akhirnya kami memutuskan untuk meraton keliling Universitas Syiah Kuala saja.

Sambil ‘sa’i’ sepanjang jalan, ada saja hal lucu yang membuat kami tertawa. Entah mengapa memang pagi itu situasinya agak berbeda. Usai keliling, seperti biasa, lalu kami berhenti di Simpang Galon untuk menikmat nasi gurih plus segelas kopi di sebuah warung kecil. Sambil duduk, kami masih menyambung cerita tentang peristiwa lucu saat meraton tadi. Pagi kian terang, matahari kelihatannya juga sudah menyapa, dan akhirnya kami pulang menuju asrama pasca.

Sesampai di asrama kami rehat melepas lelah di teras asrama sambil menyaksikan kawan-kawan bermain bulu tangkis. Sebagian ada yang masih menggogop di kamarnya karena memang hari minggu. Ada juga yang ke kamar mandi untuk ‘menabung’ sambil mandi menyegarkan diri. Kami juga sebentar lagi sebenarnya berencana mandi karena bau keringat, dan bersiap-siap menghadiri acara seminar Gayo di aula pasca dekat dengan asrama.

Lagi asyiknya rehat, tiba-tiba bumi terasa bergoyang. Beberapa detik saya bengong, demikian juga yang lain. ‘Gempa, gempa, gempa’, kawan-kawan berteriak. Akhirnya kami lari berhamburan ke lapangan asrama. Sementara yang di kamar mandi pun sontak melompat dan lari keluar, tak peduli di mulutnya odol sikat gigi atau buih sabun yang masih menempel di sekitar badan. Ada juga yang keluar hanya mengenakan anduk. Semuanya diam sambil mengucap lailahaillallah. Saya sempat berpikir mungkin ini hari kiamat, karena gempanya cukup lama dan keras seolah tidak berhenti lagi.

Akhirnya gempa berhenti, wajah yang sebelumnya ceria berubah menjadi pucat sayu dalam hitungan beberapa detik. Setelah sepuluh menit gempa berlalu, kami melihat orang-orang berlarian dari arah rukoh, mereka berteriak ‘lari, lari, gelombang laut naik’. Saya bengong dan bingung, bagaimana air laut naik, karena belum mengerti kalau itu tsunami. Semakin lama semakin ramai orang berlarian, ada juga yang menggunakan sepeda motor. Teriakan dari ujung ke ujung sama, ‘lari, lari, lari, air laut naik’. Meski tidak paham tsunami, akhirnya kami pun ikut lari menuju ke arah Blang Bintang karena kawasan ini agak tinggi. Perkiraannya air laut tidak sampai naik ke sana.

Singkat cerita, setelah beberapa jam kami kembali ke Darussalam. Saya kaget ketika berada di depan masjid Jami’ Unsyiah, ada puluhan mayat yang sudah terbujur kaku. Sebagian masih dievakuasi. Sambil berjalan ke depannya menuju asrama, saya terus menyaksikan banyak orang yang membawa mayat, ada yang di gotong, ada yang dengan mobil, dan sebagainya. Kami belum tau bahwa itu tsunami. Karena penasaran kami berjalan ke jembatan Lamreng. Tercengan dan seolah tidak percaya melihat sebagian besar bangunan rata dengan tanah. Perlahan kami terus menyusuri jalan sampai ke kawasan Jeulingke. Di sana tidak terhitung lagi berapa mayat yang bergelimpang, dan sebagian besar rumah hancur rata dengan tanah. Tau bahwa itu tsunami setelah beberapa jam pasca kejadian itu, ada yang mengatakan, inilah tsunami.

Jalan Kembali

Cerita di atas sebenarnya masih panjang, tapi saya ingin memberikan catatan dari peristiwa yang mengerikan ini. Bahwa setiap bencana akan membawa seseorang pada kesadaran kembali mengingat Allah, termasuk tsunami. Saat lewat di depan masjid Fathun Qarib IAIN, pada pagar temboknya yang pecah ada tulisan, ‘sadarlah, kiamat sudah dekat’. Ungkapan ini menunjukkan bahwa manusia berada pada jalur kembali untuk mengingat Allah.

Di satu pihak, setiap bencana merupakan fenomena alam yang terjadi oleh sebab tertentu. Di pihak lain, setiap bencana yang menimpa manusia pada hakekatnya merupakan tegur sapa Allah untuk manusia agar mereka tidak lalai dan melupakan tugas pengabdian kepada-Nya. Bencana membuat kita merenung dan sadar bahwa kita melakukan banyak kesalahan, kurang dekat dengan tempat ibadah, dan mengurangi volume nafsu kita terhadap gemerlapnya dunia.

Waktu itu memang bisa dilihat, masjid dipenuhi jama’ah. Masjid yang dulunya sepi jama’ah, kemudian tidak mampu menampung ratusan bahkan ribuan jama’ah yang sudah disadarkan oleh bencana, lalu mereka mengadu dan merendahkan diri di hadapan Allah. Bersujud mengakui dosa dan kesalahan yang selama ini ia perbuat, dan memohon dengan air mata berlinang agar bencana serupa tidak terulang lagi.

Para ustadz pun waktu itu memberikan materi ceramah yang secara umum-walaupun dengan klaim yang agak berlebihan, berisikan tentang perilaku manusia yang jauh dari tatanan syari’at sehingga bencana menimpanya. Mereka menyerukan agar masyarakat Aceh bertaubat secara kolektif karena telah jauh dari jalan Allah.

Orang-orang yang selamat dari hantaman gelombang tsunami yang begitu dahsyat, banyak yang akhirnya lebih religius. Sebelumnya mereka mungkin malas shalat, jarang mengikuti pengajian, dan seolah-olah tidak membutuhkan agama. Tetapi setelah peristiwa itu, kondisi batin dan cara hidupnya berubah total; dari jarang shalat menjadi rajin shalat, dari malas mengikuti pengajian menjadi orang yang paling rajin, bahkan dia dulu yang hadir di pengajian. Begitulah, orang sadar bahwa kehidupan itu berada dalam genggaman Allah, dia akan menyerah dan melemah ketika mengalami bencana dan berserah kepada Allah.

Ada juga sebagian orang yang tidak mau sadar, tertutup pintu hatinya. Walau telah ditimpa bencana, namun tetap tidak mau mendekatkan diri kepada Allah, tidak mau mengakui kesalahn dan dosa yang ia perbuat. Malahan ia menyalahkan Allah ketika bencana menimpanya. Katanya Allah berbuat semena-mena. Naudzubillah.

Manusia, dengan potensi kompleks yang dimilikinya bisa saja cenderung dan dekat pada Allah manakala ia menyadari bahwa keberadaannya di dunia dan alam selanjutnya bergantung pada Allah. Ada pula yang terus terseret dan menjauh dari Allah karena kekerasan hati yang tidak pernah mau bersujud dan mengakui kebesaran Allah. Untuk itu, Allah memanggilnya untuk mendekat dan kembali pada kesadaran eksistensi dirinya sebagai hamba Allah.

Setiap manusia akan bertemu dengan bencana, ujian, atau musibah. Itu semua adalah jalan-jalan menuju kembali kepada jalan yang diridhai Allah. Agar manusia mau menata diri, bertaubat, dan melakukan kebaikan sebelum ia benar-benar kembali kepada Allah, yakni mati. Saat kematian tidak ada kesempatan untuk merevisi amal, kecuali mempertanggung jawabkan segala apa yang telah di perbuat di dunia. Wallahu a’lam!

*Johansyah adalah Pemerhati sosial-keagamaan. Email: johan.arka@yahoo.co.id.

Comments

comments

No More Posts Available.

No more pages to load.