Apa Karia, Politik Harmoni dan Nalar Kita

oleh

Muhammad Hamka*

PILKADA Aceh selalu menarik untuk di cermat dan ikuti. Mulai dari orkestra politik anti nalar (politik kekerasan), janji (politik) manipulatif, hingga aneka slogan politik yang bikin nalar terkekeh.

Tentu ingatan publik belum mati. Bahkan hingga hari ini masyarakat Aceh masih menggerutu dan bersumpah serapah terkait dengan janji (politik) pembagian fulus 1 juta/KK oleh Muzakkir ‘Mualem’ Manaf dan Doto Zaini Abdullah, di mana hingga hari ini janji tersebut hanya tinggal kenangan, seturut dengan pecah kongsi keduanya yang kini sama-sama maju kembali sebagai Calon Gubernur (Cagub) Aceh.

Rakyat Aceh sebetulnya mulai jenuh dengan kontestasi Pilkada yang ujung-ujungnya hanya memosisikan rakyat sebagai objek pengeruk suara belaka. Padahal sejatinya, rakyat merupakan subjek politik sebagaimana dengan spirit demokrasi itu sendiri yang memosisikan kesejahteraan rakyat sebagai hukum tertinggi (salus populi suprema lex). Namun faktanya, rakyat hanya jadi bulan-bulanan sebagai dagangan saat kampanye.

Lihatlah angka kemiskinan dan pengangguran di Aceh yang justru meroket. Bahkan Aceh sebagai Provinsi termiskin di Pulau Sumatera, hanya berada satu tingkat di bawah Provinsi Bengkulu sebagai jawara. Hal ini terbukti dengan rilis yang dikeluarkan oleh Badan Pusat Statistik (BPS) Aceh pada September 2015; dimana jumlah penduduk miskin di Aceh mencapai 859 ribu orang (17,11 persen), mengalami peningkatan 8 ribu orang bila dibandingkan dengan jumlah penduduk miskin pada Maret 2015 yang jumlahnya sebanyak 851 ribu orang (17,08 persen). Sementara itu, angka pengangguran juga ikut mengalami peningkatan. Data yang dikeluarkan oleh BPS Aceh pada Agustus 2015 mencapai 217 ribu orang, atau mengalami lonjakan hingga 42 ribu orang bila dibandingkan dengan kondisi bulan Februari 2015 lalu.

Bagaimana rakyat Aceh tak jenuh dengan kontestasi Pilkada, sementara harapan mereka untuk hadirnya kesejahteraan ekonomi justru ditelikung oleh libido politik para elit dalam “menyuburkan” klan kekuasaan. Namun, di tengah kejenuhan tersebut hadir sosok Zakaria Saman (Apa Karia) yang maju lewat jalur perseorangan. Ia tak datang dengan membawa retorika yang rumit, visi yang menggunung dan slogan yang mentereng, tapi Apa Karia hadir dengan pesan yang sederhana dengan bahasa orang awam; bahwa rakyat Aceh tidak boleh lapar, “kalau perut sudah kenyang, orang tidak berontak” demikian Apa Karia.” Tak ada kamuflase, tak ada manipulasi, tak ada pencitraan. Sangat kontradiktif dengan arus politikus kebanyakan yang penuh dengan retorika, kosmetika dan pencitraan.

Gerbong

Dengan narasi yang kocak, Apa Karia mengirim pesan bahwa ia memosisikan dirinya sebagai gerbong untuk “mengangkut” denyut kegelisahan dan harapan rakyat Aceh. Mantan Menteri Pertahanan GAM ini hendak menandaskan bahwa Pilkada merupakan ruang bagi rakyat dalam mendialogkan kegelisahan dan harapanya. Sehingga komunikasi politik yang ia pakai adalah bahasa rakyat yang tulus, sederhana dan tak manipulatif, sebagaimana lazimnya bangunan komunikasi politikus kebanyakan.

Narasi politik kocak yang dibangun oleh Apa Karia ini, juga menghadirkan harmoni di tengah tensi politik yang memanas. Saat debat publik yang di siarkan oleh sebuah Stasiun TV Swasta beberapa waktu yang lalu, Apa Karia menunjukan kepada khalayak umum, betapa debat politik itu tidak melulu soal strategi, retorika dan argumentasi yang panas, tapi juga bisa menjadi panggung “melucu”, sekaligus menertawakan argumentasi lawan politik yang kadang-kadang menelikung akal sehat. Dengan narasi yang kocak, Apa berhasil membangun suasana debat yang panas dan tensi tinggi menjadi harmoni yang menyejukan.

Narasi politik kocak yang digulirkan oleh Cagub yang berpasangan dengan Teuku Alaidinsyah ini hendak menegaskan bahwa politik harus bergerak dalam kanal yang harmoni. Bahwa politik yang sejatinya untuk kemanusiaan harus dialas-tumpui oleh nilai-nilai humanis yang elok, kocak dan tidak merendahkan martabat orang lain.

Bagi orang kebanyakan, konstruksi komunikasi politik Apa Karia mungkin hanya melihatnya dalam spektrum kocak an sich. Namun sejatinya, ia hadir membawa pesan yang penting dan fundamental bahwa Pilkada Aceh harus menjadi milik kita, milik seluruh rakyat Aceh. Bukan Pilkada yang hanya menyuburkan oligarki elit politik, bukan Pilkada yang hanya menuntaskan libido politik para elit, bukan Pilkada yang hanya menjadi panggung politikus mengobral janji dan slogan.

Nalar politik kita

Kehadiran Apa Karia dalam kontestasi Pilkada Aceh sejatinya mewakili nalar politik kita rakyat Aceh yang menginginkan perubahan yang substantif. Perubahan itu dapat kita lihat dari pola komunikasi politik apa Karia yang tidak elitis. Pada kehendak baik dengan memosisikan dirinya sebagai gerbong untuk “mengangkut” denyut dan kegelisahan rakyat Aceh. Juga bisa di lihat dari narasi politik kocak Apa Karia yang apa adanya; jauh dari pencitraan dan manipulasi.

Apa Karia merupakan fenomena “seksi” dan menyegarkan dalam pengapnya jagad politik Aceh. Kehadiranya merepresentasikan nalar politik rakyat luas yang apa adanya, sederhana, dan jujur mengemukakan pikiran.[]

*Analis Politik, tinggal di Takengon

Comments

comments

No More Posts Available.

No more pages to load.