Oleh : Fauzan Azima (Ama Gajah) Panglima Linge saat Darurat Militer
Pertengahan Tahun 2004 Muallim Muzakkir Manaf dengan 17 pasukannya terkepung di Wilayah Pasee dan Bateeilek, untuk keamanan Muallim tidak ada pilihan kecuali menuju Bukit Rebol, Kec. Bandar, Bener Meriah. Di antara pasukan setia Muallim pada waktu itu termasuk Fadli Abdullah atau yang dikenal Bang Petrus mengawal beliau. Kami jemput pasukan Muallim di daerah Pantan Antara, kec. Permata.
Entah siapa yang keramat di antara Muallim dan pasukannya, bekas-bekas mereka ditutupi oleh kawanan gajah sehingga musuh pada waktu itu tidak bisa mengendus ke arah mana Muallim dan pasukannya mengarah.
Singkat cerita, selama di Bukit Rebol hanya tiga bulan kami aman. Bulan berikutnya, kami sering mengalami penyergapan oleh TNI/Polri, tapi kami berputar-putar daerah yang sekarang banyak ditanami kentang yang dulunya ditanami tembakau masyarakat. Kadang-kadang kami harus menerobos di antara pasukan musuh karena didukung alam yang selalu diselimuti kabut. Hanya kekuatan mata bathin yang menuntun kami berjalan di kegelapan kabut.
Kurang lebih lima bulan kami bersama mengalami perang yang sesungguhnya; ditembaki, dibom dengan meriam kodok, dibom dengan pesawat Sukhoi dan Bronko sudah menjadi biasa.
Segenting apapun situasi berbagi makanan adalah kebiasaan kami yang menunjukkan kami adalah keluarga dan sahabat sejati yang jika kelak merdeka dan damai kita adalah tetap keluarga dan sahabat sejati.
Keikhlasan membagi dan menerima sepotong roti dibagi empat adalah peristiwa sangat mengharukan.
Berjaga-jaga adalah penting untuk kelangsungan hidup pada waktu itu, apalagi menjaga pimpinan adalah kebanggaan, anugerah dan sekali gus bencana karena begitu musuh waktu itu tahu pimpinan militer GAM di sana seluruh pasukan dikerahkan untuk memburunya.
Namun di saat damai sekarang, ke 17 belas pasukan Muallim pada waktu itu tidak ada satupun yang bersama atau dibina Muallim saat ini. Sesungguhnya kami rindu seperti “saat2 indah” di Bukit Rebol bersama Muallim, tapi rasanya tidak mungkin karena kami ini apalah, kami pelengkap penderita, hilang tidak perlu dicari, terlambat tidak usah ditunggu.
Bang Petrus mungkin begitulah kehidupan, kadang2 kita harus merasa malu karena telah bersama dalam perang yang penuh duka, darah dan air mata tapi dalam damai kita tidak bisa merasa sebagai saudara, sebagai keluarga saat ini.
Bang Petrus yang mulia, padahal kehilangan istri atau suami bisa dicari gantinya, tapi kehilangan saudara kemana hendak dicari.
Demikianlah sekelumit cerita untuk Bang Petrus sebagai jalan pengingat para Syuhada.
Bukit Rebol, 24 Desember 2016
(Sumber : Ajnn.net)