
Catatan Khalisuddin
TAHUN 2016 menorehkan catatan buruk untuk kopi Gayo. Kuantitas dan kualitas panen kurang baik, bahkan turun mencapai 25-30 persen dari tahun sebelumnya. Demikian kesimpulan yang dirangkum dari berbagai sumber di Takengon.
Penyebabnya, seperti diduga banyak pihak, tentu iklim yang familier climate change, global warming. Kemarau berpanjangangan yang sangat mengganggu proses produksi kopi dari pembuahan hingga jelang panen. (baca : Global Climate Change, Ancaman Serius Pertanian dan Ketahanan Pangan)
Kondisi ini tentu secara bertahap harus diantisipasi agar dampaknya diminimalisir, baik dengan penanaman pohon naungan di kebun kopi atau di areal terbuka lainnya. (baca : Kopi Konservasi, Mengais Rezeki dari Bumi Lestari)

Beruntung, di tahun 2016 harga kopi lumayan bagus dengan kisaran 5,5 US Dollar perkilogram green bean dengan harga di tingkat petani Rp 57-60 ribu perkilogram.
Di saat yang sama, kebun-kebun kopi di Amerika Latin juga sedang panen, namun harga kopi tetap stabil. Kopi Gayo tetap diminati dengan harga diatas harga terminal New York 3,5 US Dollar atau dikisaran Rp.47 ribu perkilogramnya.
Tahun 2017, diprediksi kuantaitas dan kualitas kopi Gayo akan lebih baik, tentu dari amatan tahun-tahun sebelumnya, terlebih kopi-kopi remaja juga sudah mulai panen.
Terlepas dari itu semua, di tingkat petani diharapkan tidak berhenti mengedukasi diri tentang teknik budidaya agar produksi lebih meningkat dari rata-rata yang diklaim hanya 750 ton perhektar pertahunnya. Daerah lain bisa kenapa petani Gayo tidak, semisal petani kopi di Sumatera Utara dan daerah lainnya di Indonesia yang kuantitas produksinya mencapai lebih baik perhektar pertahunnya. (baca : Buku Statistik Kopi – Direktorat Jenderal Perkebunan – Kementerian Pertanian)
Tidak terkecuali penetapan bibit yang akan dibudidayakan, hendaknya sesuai antara kondisi lahan dengan jenis kopi yang direkomendasikan, Gayo Arabica 1 (G1) atau Gayo Arabica 2 (G2). Hal utama yang perlu diperhatikan adalah tekstur tanah dan tinggi tempat dari permukaan laut (ttdl). (baca : Berempus Enti Lelang; Kiat Sukses Petani Kopi Gayo)
Hal lainnya, pola hidup konsumtif petani kopi perlu diubah dengan penerapan manajemen ekonomi keluarga yang lebih baik. Saat panen dengan rezeki melebihi kebutuhan hendaknya di tabung untuk persiapan saat paceklik tiba. Atau penggunaan modal untuk usaha lain semisal bercocoktanam sayur-sayuran semisal cabai, tomat, kol dan lain-lain.
Bagaimanapun, perkembangan dunia perkopian di Gayo sudah sangat jauh lebih baik, dari tahun ke tahun pembodohan kopi oleh kolonialis Belanda dan kolonialis modern semakin sirna dari Gayo setidaknya sejak tahun 2012 (baca : Tahun 2012, Tahun Kebangkitan Kopi Gayo) dimana pola minum kopi warga Gayo sudah berubah, tidak mengklaim kopi robusta lebih baik untuk dikonsumsi.
(baca juga : Belanda Putar Balik Fakta Kopi)

Tahun 2016 juga sempat menorehkan catatan emas dalam sejarah bisnis kopi di Gayo. Mulai beroperasinya Sistem Resi Gudang (SRG) di Paya Ilang Takengon oleh PT. Ketiara selaku pemegang izin atas dukungan Bank Rakyat Indonesia (BRI) hingga membawa direktur PT. Ketiara. Rahmah masuk dalam 12 Jawara Usaha Kecil 2016 yang terangkum dalam buku berjudul Jurus Bisnis Rakyat yang diterbitkan oleh Bank BRI bekerjasama dengan Imaji Aksi dengan kata pengantar oleh Presiden RI, Joko Widodo dan Wakil Presiden RI, Jusuf Kalla.
Takengon ibukota kabupaten Aceh Tengah dipercayakan oleh Asosiasi Eksportir dan Industri Kopi Indonesia (AEKI) sebagai tuan rumah Kontes Kopi Spesialti Indonesia (KKSI) ke-8 tahun 2016 yang berbarengan dengan seminar internasional tentang kopi Gayo oleh Badan Ekonomi Kreatif (BeKraf), pemilihan Duta Kopi Gayo serta penyelenggaraan lelang kopi Gayo untuk pertama kalinya oleh PT. Meukat Komuditi Gayo (MKG).
Penyelenggaraan even bergengsi ini tidak lepas dari kehandalan berbisnis dan berorgabisasi para anggota AEKI yang berasal dari Gayo, Sadarsah yang dipercayakan sebagai pengurus teras AEKI pusat, Armia yang juga sebagai Ketua AEKI Aceh, Rizwan Husin, Amin, dan lain-lain.

Satu buku penting soal kopi juga diterbitkan di tahun 2016, karya putra kelahiran Takengon pengamatan dan penikmat kopi bernama Muhammad Syukri dengan buku berjudul Hikayat Negeri Kopi yang diterbitkan Grasindo Gramedia dengan kata pengantar disajikan oleh Pepih Nugraha, Chief Operational Officer (COO) Kompasiana.
Kepedulian terhadap kopi Gayo kian meluas, bahkan para penyair dari seantero nusantara berkumpul di Gayo mengikuti rangkaian acara November Kopi Gayo 2016. Mereka juga menerbitkan buku puisi kopi bertajuk Puisi Kopi 1550 MDPL.
Sejumlah prestasi ditorehkan para pelaku bisnis kopi di Gayo, Asa Coffee Cafe yang beralamat di jalan Lebe Kader Takengon berhasil meraih penghargaan Siddhakarya, sebuah penghargaan kualitas dan produkstivitas dari Balai Pengembangan Produktivitas Tenaga Kerja.
Sementara sebelumnya di tahun 2016, Koperasi Ketiara berhasil terpilih sebagai koperasi simpan pinjam terbaik se-Aceh oleh Dekopin. Begitu juga dengan koperasi Baitul Qiradh Baburrayyan, terpilih sebagai koperasi terbaik Dekopin Award di tahun 2015.
Semoga di tahun 2017, kopi Gayo akan semakin baik, pelakunya kian sejahtera, bukan saja pebisnisnya tapi juga petaninya.[]