(Saran Untuk Kelestarian Hutan Gayo)
Oleh : Fathan Muhammad Taufiq
Apa itu Agroforestry?
Sampai dengan saat ini belum ada kesatuan pendapat di antara para ahli tentang definisi “agroforestri”. Hampir setiap ahli mengusulkan definisi yang berbeda satu dari yang lain. Mendefinisikan agroforestri sama sulitnya dengan mendefinisikan hutan. Dalam jurnal “Agroforestry Systems” Volume 1 No.1, halaman 7-12 Tahun 1982 ditampilkan tidak kurang dari 12 definisi antara lain, bahwa Agroforestri adalah :
a. Sistem penggunaan lahan terpadu, yang memiliki aspek sosial dan ekologi, dilaksanakan melalui pengkombinasian pepohonan dengan tanaman pertanian dan/atau ternak (hewan), baik secara bersama-sama atau bergiliran, sehingga dari satu unit lahan tercapai hasil total nabati atau hewan yang optimal dalam arti berkesinambungan (P.K.R. Nair).
b. Sistem pengelolaan lahan berkelanjutan dan mampu meningkatkan produksi lahan secara keseluruhan, merupakan kombinasi produksi tanaman pertanian (termasuk tanaman tahunan) dengan tanaman hutan dan/atau hewan (ternak), baik secara bersama atau bergiliran, dilaksanakan pada satu bidang lahan dengan menerapkan teknik pengelolaan praktis yang sesuai dengan budaya masyarakat setempat (K.F.S. King dan M.T. Chandler)
c. Penanaman pepohonan secara bersamaan atau berurutan dengan tanaman pertanian dan/atau peternakan, baik dalam lingkup keluarga kecil ataupun perusahaan besar. Agroforestri tidak sama dengan hutan kemasyarakatan (community forestry), akan tetapi seringkali tepat untuk pelaksanaan proyek- proyek hutan kemasyarakatan” (L. Roche)
Beberapa definisi agroforestri yang digunakan oleh lembaga penelitian agroforestri internasional (ICRAF = International Centre for Research in Agroforestry) adalah (Huxley, 1999) :
a) Sistem penggunaan lahan yang mengkombinasikan tanaman berkayu (pepohonan, perdu, bambu, rotan dan lainnya) dengan tanaman tidak berkayu atau dapat pula dengan rerumputan (pasture), kadang-kadang ada komponen ternak atau hewan lainnya (lebah, ikan) sehingga terbentuk interaksi ekologis dan ekonomis antara tanaman berkayu dengan komponen lainnya.
b) Sistem pengunaan lahan yang mengkombinasikan tanaman berkayu dengan tanaman tidak berkayu (kadang-kadang dengan hewan) yang tumbuh bersamaan atau bergiliran pada suatu lahan, untuk memperoleh berbagai produk dan jasa (services) sehingga terbentuk interaksi ekologis dan ekonomis antar komponen tanaman.
c) Sistem pengeloloaan sumber daya alam yang dinamis secara ekologi dengan penanaman pepohonan di lahan pertanian atau padang penggembalaan untuk memperoleh berbagai produk secara berkelanjutan sehingga dapat meningkatkan keuntungan sosial, ekonomi dan lingkungan bagi semua pengguna lahan
Selanjutnya Lundgren dan Raintree (1982) mengajukan ringkasan banyak definisi agroforestri dengan rumusan sebagai berikut:
“Agroforestri adalah istilah kolektif untuk sistem-sistem dan teknologi-teknologi penggunaan lahan, yang secara terencana dilaksanakan pada satu unit lahan dengan mengkombinasikan tumbuhan berkayu (pohon, perdu, palem, bambu dll.) dengan tanaman pertanian dan/atau hewan (ternak) dan/atau ikan, yang dilakukan pada waktu yang bersamaan atau bergiliran sehingga terbentuk interaksi ekologis dan ekonomis antar berbagai komponen yang ada.”
Dari beberapa definisi yang telah dikutip secara lengkap tersebut, agroforestri merupakan suatu istilah baru dari praktek-praktek pemanfaatan lahan tradisional yang memiliki unsur-unsur :
· Penggunaan lahan atau sistem penggunaan lahan oleh manusia
· Penerapan teknologi
· Komponen tanaman semusim, tanaman tahunan dan/atau ternak atau hewan
· Waktu bisa bersamaan atau bergiliran dalam suatu periode tertentu
· Ada interaksi ekologi, sosial, ekonomi
Agroforestri telah menarik perhatian peneliti-peneliti teknis dan sosial akan pentingnya pengetahuan dasar pengkombinasian antara pepohonan dengan tanaman tidak berkayu pada lahan yang sama, serta segala keuntungan dan kendalanya.
Masyarakat tidak akan perduli siapa dirinya, apakah mereka orang pertanian, kehutanan atau agroforestri. Mereka juga tidak akan memperdulikan nama praktek pertanian yang dilakukan, yang penting bagi mereka adalah informasi dan binaan teknis yang memberikan keuntungan sosial dan ekonomi.
Penyebarluasan agroforestri diharapkan bermanfaat selain untuk mencegah perluasan tanah terdegradasi, melestarikan sumber daya hutan, dan meningkatkan mutu pertanian serta menyempurnakan intensifikasi dan diversifikasi silvikultur.
Implementasi Sistem Agroforestri
Agroforestry yang kemudian berkembang sebagai sebuah system pengelolaan lahan kemudian diarahkan melalui suatu kebijakan pemerintah atau status kepemilikan lahan, bukan sebagai sistem penggunaan lahan. Implementasi agroforestri kemudian berkembang di masyarakat dalam bentuk:
1. Perhutanan Sosial (Social-Forestry)
Perhutanan sosial (social forestry) adalah upaya/kebijakan kehutanan yang ditujukan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat, khususnya yang tinggal di sekitar hutan. Produk utama dari perhutanan sosial berupa kayu dan non-kayu. Oleh karena itu dalam prakteknya dapat berupa pembangunan hutan tanaman (man-made forest) atau penanaman pohon-pohon pada lahan milik masyarakat yang dimanfaatkan bagi industri besar.
Kegiatan perhutanan sosial, kadang-kadang menerapkan agroforestri, yaitu apabila penanaman pohon-pohon harus dilaksanakan bersama-sama dengan komponen pertanian dan/atau peternakan. Walaupun demikian perhutanan sosial adalah tetap merupakan kegiatan kehutanan, karena pada intinya kehadiran komponen pertanian sebagai kombinasi tidak mutlak harus dilakukan. Istilah social-forestry sebenarnya dipopulerkan di India pada tahun 70-an dan dalam kegiatannya FAO memberikan istilah “Forestry for Rural Community Development”.
2. Hutan Kemasyarakatan (Community-Forestry) dan Hutan Rakyat (Farm-Forestry)
Kedua istilah ini merupakan bagian dari perhutanan sosial (social-forestry). Hutan kemasyarakatan (community forestry) adalah hutan yang perencanaan, pembangunan, pengelolaan, dan pemungutan hasil hutan serta pemasarannya dilakukan sendiri oleh masyarakat yang tinggal di sekitar hutan. Pelaksanaannya dapat pula dilakukan oleh pihak kehutanan yang membantu masyarakat dengan mengutamakan keuntungan bagi seluruh masyarakat, bukan untuk individu.
Hutan rakyat (farm-forestry) adalah hutan di mana petani/pemilik lahan menanam pepohonan di lahannya sendiri. Mereka biasanya telah mengikuti pendidikan, latihan dan penyuluhan kehutanan ataupun memperoleh bantuan untuk kegiatan kehutanan.
Bentuk agroforestri mungkin dipilih dan diterapkan pada kedua kegiatan tersebut bila pepohonan ditanam bersama dengan tanaman pertanian. Dengan demikian hutan kemasyarakatan dan hutan rakyat tidak selalu identik dengan agroforestri, karena agroforestri adalah pemanfaatan lahan terpadu tanpa batasan kepemilikan lahan.
3. Hutan Serba-Guna (Multiple Use Forestry)
Hutan serba-guna adalah praktek kehutanan yang mempunyai dua atau lebih tujuan pengelolaan, meliputi produksi, jasa atau keuntungan lainnya. Dalam penerapan dan pelaksanaannya bisa menyertakan tanaman pertanian atau kegiatan peternakan. Walaupun demikian hutan serba guna tetap merupakan kehutanan (dalam arti penekanannya pada aspek pohon, hasil hutan dan lahan hutan), dan bukan merupakan bentuk pemanfaatan lahan terpadu sebagaimana agroforestri yang secara terencana diarahkan pada pengkombinasian kehutanan dan pertanian untuk mencapai beberapa tujuan yang terkait dengan degradasi lingkungan serta problema masyarakat di pedesaan.
4. Forest Farming
Istilah Forest farming sebenarnya mirip dengan multiple use forestry, yang digunakan untuk upaya peningkatan produksi lahan hutan, yaitu tidak melulu produk kayu, tetapi juga mencakup berbagai bahan pangan dan hijauan. Praktek ini juga sering disebut “Dreidimensionale Forstwirtschaft” atau kehutanan dengan tiga dimensi. Di Amerika, istilah forest farming digunakan untuk menyatakan upaya pembangunan hutan tanaman oleh petani-petani kecil.
5. Ecofarming
Ecofarming adalah bentuk budidaya pertanian yang mengusahakan sedapat mungkin tercapainya keharmonisan dengan lingkungannya. Dalam hal tertentu dalam ecofarming bisa saja memasukkan komponen pepohonan atau tumbuhan berkayu lainnya sehingga dapat disebut agroforestri. Dalam eco-farming tidak selalu dijumpai unsur kehutanan dalam kombinasinya, sehingga dalam hal ini ecofarming merupakan kegiatan pertanian.
Ada berbagai bentuk sistem atau praktek agroforestri, baik yang bersifat tradisional atau modern (lihat Bahan Ajaran 2, dan Bahan Latihan), yang tersebar di wilayah tropis dan sub-tropis. Berbagai contoh tersebut menunjukkan betapa luasnya rentang agroforestri, sehingga para ahli kehutanan dan pertanian konvensional sulit untuk menerimanya.
Dari uraian di atas dapat diketahui bahwa definisi agroforestri dapat meliputi rentang yang luas dari sistem-sistem pemanfaatan lahan primitif, tradisional maupun modern. Oleh sebab itu, diperlukan adanya batasan yang jelas kapan atau bilamana suatu sistem dapat dikategorikan sebagai agroforestri. Batasan semacam ini diperlukan untuk menghindari timbulnya pendapat bahwa setiap kombinasi komponen kehutanan, pertanian dan/atau peternakan selalu dapat diklasifikasikan sebagai suatu sistem agroforestri.
Implementasi Sistem Agroforestry dalam masyarakat
Ada beberapa cara klasifikasi agroforestry diantaranya : berdasarkan kombinasi komponen pohon, tanaman, padang rumput/makanan ternak dan komponen lain yang ditemukan dalam agroforestry :
1. Agrosilviculture :
Campuran tanaman dan pohon, dimana penggunaan lahan secara sadar untuk memproduksi hasil-hasil pertanian dan kehutanan.
2. Silvopastoral :
Padang rumput/makanan ternak dan pohon, pengelolaan lahan hutan untuk memproduksi hasil kayu dan sekaligus memelihara ternak.
3. Agrosilvopastoral :
Tanaman, padang rumput/makanan ternak dan pohon, pengelolaan lahan hutan untuk memproduksi hasil pertanian dan kehutanan secara bersamaan dan sekaligus memelihara hewan ternak.
4. Sistem lain , yang meliputi :
Sistem agroforestry yang berbasis pelestarian lingkungan yaitu ;
a) Riperian Buffer Forest (Hutan Penyangga tepi sungai) ; fungsinya menjaga kondisi alami di sepanjang sungai, menjaga erosi dan meningkatkan biodiversitas. Sistim penyangga tidak hanya untuk ekosistim tepi sungai, namun juga memberikan perlindungan terhadap pengeolahan tanah disekitarnya.
b) Windbreaks
Fungsinya untuk melindungi tanaman-tanaman pertanian yang sensitive terhadap angina seperti gandum dan sayuran (gambar.5). Pola-pola ini hampir menyerupai pola penanaman dalam agroforestry yaitu trees along border yaitu penanaman tanaman kehutanan di sekitar tanama pertanian.
Agroforestry dalam upaya Konservasi Tanah dan Air.
Menurut Guru Besar Fakultas Teknologi Pertanian UGM, Prof Dr. Ir. Muhjidin Mawardi MEng, bahwa terdapat paling tidak empat faktor utama yang menentukan keberhasilan rekayasa konservasi tanah dan air, yaitu sifat-sifat fisik tanah dan lahan, sifat hujan, interaksi antara hujan dengan tanah dan lahan yang menghasilkan air limpasan permukaan dan infiltrasi, serta simpanan air dalam tanah. (Ujianto,2006).
Agroforestry dalam konservasi tanah dan air adalah bagaimana pengaruh kondisi vegetasi suatu hamparan lahan didalam mengatur tata air memperbaiki kesuburan lahan. Bagaimana perpaduan pola tanam dan kolaborasi antar macam kegiatan ekonomi yang berbasis agroforestry yang mengarah perbaikan kondisi lingkungan, sehingga manfaat multi fungsi dapat dirasakan. Pengaruh tutupan pohon terhadap aliran air adalah dalam bentuk (Noordwijk, et al. 2004 ) :
a) Intersepsi air hujan. Selama kejadian hujan, tajuk pohon dapat mengintersepsi dan menyimpan sejumlah air hujan dalam bentuk lapisan tipis air.
b) Waterfilm pada permukaan daun dan batang yang selanjutnya akan mengalami evaporasi sebelum jatuh ke tanah. Banyaknya air yang dapat diintersepsi dan dievaporasi tergantung pada indeks luas daun (LAI), karakteristik permukaan daun, dan karakteristik hujan. Intersepsi merupakan komponen penting jika jumlah curah hujan rendah, tetapi dapat diabaikan jika curah hujan tinggi. Apabila curah hujan tinggi, peran intersepsi pohon penting dalam kaitannya dengan pengurangan banjir.
c) Daya pukul air hujan. Vegetasi dan lapisan seresah melindungi permukaan tanah dari pukulan langsung tetesan air hujan yang dapat menghancurkan agregat tanah, sehingga terjadi pemadatan tanah. Hancuran partikel tanah akan menyebabkan penyumbatan pori tanah makro sehingga menghambat infiltrasi air tanah, akibatnya limpasan permukaan akan meningkat. Peran lapisan seresah dalam melindungi permukaan tanah sangat dipengaruhi oleh ketahanannya terhadap pelapukan; seresah berkualitas tinggi (mengandung hara, terutama N tinggi) akan mudah melapuk sehingga fungsi penutupan permukaan tanah tidak bertahan lama.
d) Infiltrasi air. Proses infiltrasi tergantung pada struktur tanah pada lapisan permukaan dan berbagai lapisan dalam profil tanah. Struktur tanah juga dipengaruhi oleh aktivitas biota yang sumber energinya tergantung kepada bahan organic (seresah di permukaan, eksudasi organik oleh akar, dan akar-akar yang mati). Ketersediaan makanan bagi biota (terutama cacing tanah), penting untuk mengantisipasi adanya proses peluruhan dan penyumbatan pori makro tanah.
e) Serapan air. Sepanjang tahun tanaman menyerap air dari berbagai lapisan tanah untuk mendukung proses transpirasi pada permukaan daun. Faktor– faktor yang mempengaruhi jumlah serapan air oleh pohon adalah fenologi pohon, distribusi akar dan respon fisiologi pohon terhadap cekaman parsial air tersedia. Serapan air oleh pohon diantara kejadian hujan akan mempengaruhi jumlah air yang dapat disimpan dari kejadian hujan berikutnya, sehingga selanjutnya akan mempengaruhi proses infiltrasi dan aliran permukaan. Serapan air pada musim kemarau, khususnya dari lapisan tanah bawah akan mempengaruhi jumlah air tersedia untuk ‘aliran lambat’ (slow flow).
f) Drainase lansekap. Besarnya drainase suatu lansekap (bentang lahan) dipengaruhi oleh beberapa faktor antara lain kekasaran permukaan tanah, relief permukaan tanah yang memungkinkan air tinggal di permukaan tanah lebih lama sehingga mendorong terjadinya infiltrasi, tipe saluran yang terbentuk akibat aliran permukaan yang dapat memicu terjadinya ‘aliran cepat air tanah’ (quick flow).
Peran Agroforestry dalam konteks hidrologi lebih pada skala Lansekap :
Manfaat Sistem Agroforestry
Manfaat Lingkungan yang dapat diperoleh dari sistem Agroforestry antara lain :
1. Mengurangi tekanan terhadap hutan, sehingga fungsi kawasan hutan tidak terganggu (tata air, keanekaragaman hayati dll);
2. Lebih efisien dalam reciclyng unsur hara melalui pohon berakar dalam di lokasi tsb.
3. Perlindungan yang lebih baik terhadap sistem ekologi daerah hulu DAS;
4. Mengurangi aliran permukaan, pencucian hara dan erosi tanah;
5. Memperbaiki iklim mikro, mengurangi suhu permukaan tanah, mengurangi evapotranspirasi karena kombinasi mulsa dari tanaman setahun/semusim dan naungan pohon;
6. Meningkatkan hara tanah dan struktur tanah melalui penambahan yang kontinyu hasil proses dekomposisi bahan organik .
Pemanfaatan Agroforestri oleh masyarakat
Sebagaimana pemanfaatan lahan lainnya, agroforestri dikembangkan untuk memberi manfaat kepada manusia atau meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Agroforestri diharapkan dapat memecahkan berbagai masalah pengembangan pedesaan dan seringkali sifatnya mendesak. Agroforestri utamanya diharapkan dapat membantu mengoptimalkan hasil suatu bentuk penggunaan lahan secara berkelanjutan guna menjamin dan memperbaiki kebutuhan hidup masyarakat. Sistem berkelanjutan ini dicirikan antara lain oleh tidak adanya penurunan produksi tanaman dari waktu ke waktu dan tidak adanya pencemaran lingkungan. Kondisi tersebut merupakan refleksi dari adanya konservasi sumber daya alam yang optimal oleh sistem penggunaan lahan yang diadopsi.
Dalam mewujudkan sasaran ini, agroforestri diharapkan lebih banyak memanfaatkan tenaga ataupun sumber daya sendiri (internal) dibandingkan sumber-sumber dari luar. Di samping itu agroforestri diharapkan dapat meningkatkan daya dukung ekologi manusia, khususnya di daerah pedesaan. Untuk daerah tropis, beberapa masalah (ekonomi dan ekologi) berikut menjadi mandat agroforestri dalam pemecahannya:
a. Menjamin dan memperbaiki kebutuhan bahan pangan:
b. Memperbaiki penyediaan energi lokal, khususnya produksi kayu bakar:
c. Meningkatkan, memperbaiki secara kualitatif dan diversifikasi produksi bahan mentah kehutanan maupun pertanian:
d. Memperbaiki kualitas hidup daerah pedesaan, khususnya pada daerah dengan persyaratan hidup yang sulit di mana masyarakat miskin banyak dijumpai:
e. Memelihara dan bila mungkin memperbaiki kemampuan produksi dan jasa lingkungan setempat:
Tujuan tersebut diharapkan dapat dicapai dengan cara mengoptimalkan interaksi positif antara berbagai komponen penyusunnya (pohon, produksi tanaman pertanian, ternak/hewan) atau interaksi antara komponen-komponen tersebut dengan lingkungannya. Dalam kaitan ini ada beberapa keunggulan agroforestri dibandingkan sistem penggunaan lahan lainnya, yaitu dalam hal:
1. Produktivitas (Productivity): Dari hasil penelitian dibuktikan bahwa produk total sistem campuran dalam agroforestri jauh lebih tinggi dibandingkan pada monokultur. Hal tersebut disebabkan bukan saja keluaran (output) dari satu bidang lahan yang beragam, akan tetapi juga dapat merata sepanjang tahun. Adanya tanaman campuran memberikan keuntungan, karena kegagalan satu komponen/jenis tanaman akan dapat ditutup oleh keberhasilan komponen/jenis tanaman lainnya.
2. Diversitas (Diversity): Adanya pengkombinasian dua komponen atau lebih daripada sistem agroforestri menghasilkan diversitas yang tinggi, baik menyangkut produk maupun jasa. Dengan demikian dari segi ekonomi dapat mengurangi risiko kerugian akibat fluktuasi harga pasar. Sedangkan dari segi ekologi dapat menghindarkan kegagalan fatal pemanen sebagaimana dapat terjadi pada budidaya tunggal (monokultur).
3. Kemandirian (Self-regulation): Diversifikasi yang tinggi dalam agroforestri diharapkan mampu memenuhi kebutuhan pokok masyarakat, dan petani kecil dan sekaligus melepaskannya dari ketergantungan terhadap produk- produk luar. Kemandirian sistem untuk berfungsi akan lebih baik dalam arti tidak memerlukan banyak input dari luar (a.l. pupuk, pestisida), dengan diversitas yang lebih tinggi daripada sistem monokultur
4. Stabilitas (Stability): Praktek agroforestri yang memiliki diversitas dan produktivitas yang optimal mampu memberikan hasil yang seimbang sepanjang pengusahaan lahan, sehingga dapat menjamin stabilitas (dan kesinambungan) pendapatan petani.
H. Penerapan dan Implementasi Agroforestri di Kabupaten Aceh Tengah.
Aceh Tengah merupakan kabupaten dengan potensi lahan hutan yang masih sangat luas, hampir 70% luas wilayah kabupaten ini merupakan kawasan hutan baik hutan Lindung, Hutan Konversi maupun Hutan Produksi. Kawasan hutan di kabupaten Aceh Tengah yang memungkinkan diterapkan Agroforestri adalah kawasan hutan produksi yang luasnya mencapai 123.433 Ha.
Banyak cara atau system pengelolaan hutan berbasis pertanian yang dapat dilaksanakan di kabupaten Aceh Tengah dengan penerapan agro forestry ini. Dengan cara ini, masyarakat dapat memanfaatkan kawasan hutan sebagai lahan untuk berusaha tani tanpa merusak kelestarian hutan itu sendiri. Bahkan melalui kegiatan agro forenstri, masyarakat juga akan “diajari” bagaimana menjaga kelestarian hutan, karena tanpa merusak atau merambah hutan pun, mereka sudah bisa mengambil manfaat ekonomis.
Beberapa alternative dibawah ini, mungkin bisa menjadi bahan pertimbangan bagi para pihak terkait dalam penerapan Agro forestri di wilayah kabupaten Aceh Tengah dapat dilakukan melalui penerapan kebijakan pertanian dan kehutanan antara lain : :
a. Pengembangan Kawasan Ternak Terpadu di kawasan hutan produksi, yaitu pengembangan ternak yang dilakukan tanpa merusak kelestarian hutan produksi itu sendiri. Pola ini dapat diterapkan di kecamatan Linge, Jagong Jeget, Bintang dan Rusip Antara.
b. Pengembangan Usaha Tani Palawija sistem Tumpang Sari, yaitu memanfaatkan lahan pada kawasan hutan produksi untuk pengembangan tanaman Palawija yang dapat di budidayakan dengan sistem tuumpangsari pada kawasan hutan Pinus seperti Jagung, Kedelai, Kacang Merah, Kacang Hijau dll. Pola ini dapat diterpakan di kecamatan yang mei;lki kawasan hutan Pinus seperti wilayah kecamatan Bintang dan Linge.
c. Pemanfaatan Hasil Hutan Non Kayu seperti Rotan, Getah Pinus, Getah Jernang dll. Sistem ini dapat dilakukan tanpa merusak kelestraian hutan khususnya tanaman hutan.
d. Pemanfaatan Kawasan Daerah Aliran Sungai sebagai kawasan reservat dan budidaya ikan air tawar. Dengan pola ini, selain hutan disepanjang DAS akan lestari, masyarakat juga akan memiliki cadangan ikan di sungai-sungai yang bisa dijadikan sumber pencaharian. Selain bisa menjadi sumber pencaharian masyarakat, pemanfaatan DAS dengan pola seperti ini, juga bisa menjadi daya tarik wisata fishing atau mancing mania. Namun demikian pemanfaatan aliran sungai sebagai kawasan reservat juga harus diiringi dengan pengawasan yang ketat terhadap penangkapan ikan secara ilegel seperti penggunaan strum, racun dan bom ikan.
e. Pemanfaatan Kawasan Hutan sebagai Lahan Pembibitan, kawasan hutan merupakan kawasan teduh dan terlindung dari sinar matahari langsung, kondisi seperti ini sangat sesuai untuk usaha pembibitan tanaman seperti Jeruk, Kopi, Durian dan sebagainya. Dengan mengusahakan pembibitan tanaman di kawasan hutan, tidak perlu lagi naungan atau penutup, karena hutan sudah menjadi pelindung dan penutup bibit secara alami. Kelembaban disekitar hutan juga sangat membantu pertumbuhan bibit.
f. Pemanfaatan Kawasan Hutan sebagai Lokasi Wisata. Keindahan kawasan hutan di wilayah kabupaten Aceh Tengah, bisa menjadi daya tarik bagi wisatawan yang menggemari wisata petualangan maupun pecinta lingkungan. Kawasan hutan pinus sepanjang pinggiran jalan dari Takengon sampai ke perbatasan kabupaten Gayo Lues, merupakan lokasi Out Bound yang sangat menarik, dan jika dipromosikan secara proporsional, akan banyak dikunjungi para wisatawan dari luar daerah bahkan luar negeri. Begitu juga aliran sungai-sungai besar yang banyak terdapat di kawasan hutan di daerah ini juga bisa “ditawarkan” sebagai lokasi arung jeram atau rafting yang tentu akan banyak diminati para penggemar wisata petualangan, karena lokasinya masih alami dan sangat menantang. Pengembangan wisata alam seperti ini, tentu akan mendongkrak perekonomian daerah maupun masyarakat, karena akan melibatkan banyak pihak yang dapat memanfaatkan peluang ini.
Dengan pola-pola tersebut, diharapkan kesejahteraan masyarakat disekitar kawasan hutan dapat meningkat, namun tetap memperhatikan kelestarian kawasan hutan. Konsep dan implementasi agroforestri sekaligus secara perlahan akan “menghapus” asumsi bahwa memanfaatkan hutan itu identik dengan menebang kayu atau merambah hutan.
Demikan sekedar sumbang saran penulis yang mungkin ada manfaatnya bagi para pembuat dan penentu kebijakan di daerah ini dalam menerapkan strategi penyelamatan dan pelestarian kawasan hutan, namun tetap mampu memberi manfaat bagi peningkatan kesejahteraan masyarakat.






